Jumat, Desember 09, 2022

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA MELALUI PENGEMBANGAN BADAN USAHA MILIK DESA

 



Teori Pemberdayaan Masyarakat

    Pengertian

Pemberdayaan berasal dari kata bahasa Inggris “empowerment” yang biasa diartikan sebagai pemberkuasaan. Dalam artian pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (Mustika & Hendradewi, 2019). Zuliyah (2010), mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah “suatu proses yang berjalan terus-menerus untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya”.

Dalam teori pemikiran Sumodiningrat (1997), ia berasumsi bahwa pemberdayaan masyarakat adalah

“Upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang membedayakan. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumber daya manusia di pedesaan, menciptakan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini kemudian diarahkan pada pemberdayaan ekonomi rakyat” (Sumodiningrat, 1997).

 

Lebih lanjut bahwa pemberdayaan masyarakat adalah proses partisipatif yang memberi kepercayaan dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengkaji tantangan utama pembangunan mereka dan mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah tersebut. Kegiatan ini kemudian menjadi basis program daerah, regional dan bahkan program nasional. Pemahaman ini menunjukan bawa program pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh masyarakat, dimana lembaga pendukung hanya memiliki peran sebagai fasilitator. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada sumber daya eksternal atau yang tidak berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan.

 2.1.2    Tujuan Pemberdaaan Masyarakat

Suryo (2017), mengemukakan bahwa “tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri”. Kemandirian itu sendiri meliputi kemandirian berpikir, kemandirian bertindak dan kemandirian mengendalikan apa yang sedang mereka lakukan.

Menurut Febrianti dan Suprojo (2019), pemberdayaan masyarakat hendaklah

“Mengarah pada pembentukan kognitif masyarakat yang lebih baik. Kondisi kognitif pada dasarnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang atau masyarakat dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan. Kondisi afektif merupakan sense (nalar) yang dimiliki oleh masyarakat yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kemampuan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya pendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan dan pemberdayaan”.

 

Lebih lanjut terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, afektif, dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan, karena dengan demikian dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya tersebut, untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan suatu tindakan atau proses, yaitu pemberdayaan pada masyarakat itu sendiri.

 2.1.3    Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

Beberapa prinsip dalam keberlangsungan pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:

1.      Kesetaraan

Dalam proses pemberdayaan masyarakat harus adanya kesetaraan atau kesejajaran kedudukan antara masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-program pemberdayaan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Dinamika yang dibangun adalah hubungan kesetaraan dengan mengembangkan mekanisme berbagai pengetahuan, pengalaman, serta keahlian satu sama lain.

2.      Partisipasi

Umanailo (2019), mengemukakan bahwa program pemberdayaan yang dapat menstimulasi kemandirian masyarakat adalah “program yang sifatnya partisipatif, direncanakan, dilaksanakan, diawasi, dan dievaluasi oleh masyarakat”. Sehingga memerlukan waktu dan proses pendampingan yang melibatkan pendamping yang berkomitmen tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat untuk mencapai tingkat tersebut.

3.      Keswadayaan atau Kemandirian

Iryanam (2018), mengemukakan bahwa prinsip keswadayaan adalah “menghargai dan mengedepankan kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain”. Dalam prinsip keswadayaan tidak memandang orang miskin sebagai objek yang tidak berkemampuan “the have not”, melainkan sebagai subjek yang memiliki kemampuan sedikit “the have little”.

4.      Berkelanjutan

Rinawati (2006), mengemukakan bahwa “program pemberdayaan masyarakat perlu dirancang untuk berkelanjutan, sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan dibanding masyarakat sendiri”. Tapi secara perlahan dan pasti, peran pendamping akan semakin berkurang, bahkan dihapus karena masyarakat sudah mandiri dengan mampu mengelola kegiatannya sendiri

 2.1.4    Model Pemberdayaan Masyarakat

Model pemberdayaan masyarakat merupakan metode, pola, tahap atau langkah yang dibuat, dikembangkan dan digunakan dalam praktik atau implementasinya dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Model yang digunakan Fujikake dalam Tukasno (2013) dalam pemberdayaan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu mencoba memahami pencapaian pemberdayaan dari pandangan masyarakat sebagai pelaksana program. Pendekatan ini mencoba memahami hubungan antara tanggapan masyarakat dengan tujuan pemberdayaan yang hendak dicapai untuk kemudian dituangkan dalam gambar dan model konsep tertentu. Fujikake mengembangkan langkah dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu:

·         Melihat perubahan masyarakat dari tingkat kesadarannya

Hasil dari analisis perubahan tingkat kesadaran ini dituangkan dalam grafik yang menggambarkan tingkat perubahan kesadaran yang diklasifikasi menjadi tiga (3), yaitu “sangat baik”, “telah berubah”, dan “tidak seperti sebelumnya”.

 

(Sumber: Fujikake dalam Tukasno, 2013)

 2.1.5    Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat

     Menurut United States Department of Health and Human Service atau HHS (2014), indikator keberhasilan adalah “diartikan sebagai statistik dari berbagai hal yang bersifat normatif yang menjadi perhatian utama kita yang bisa membantu kita dalam membuat berbagai penilaian ringkas, komperehensif, dan berimbang terhadap berbagai macam kondisi dan juga berbagai macam ospek penting yang ada dalam kehidupan masyarakat”.

Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dengan indikator-indikator yang dapat menunjukan seseorang atau komunitas berdaya atau tidak. Fujikake dalam Tukasno (2013) mengemukakan beberapa indikator keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat, antara lain:

1.      Partisipasi

Keberdayaan dalam konteks ini adalah masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan lembaga yang ada didalamnya.

2.      Pengemukaan Pendapat

Masyarakat mampu mengemukakan gagasan atau menyampaikan ide atau mengeluarkan pikiran.

3.      Pengambilan Tindakan

Masyarakat mampu memilih alternatif yang tepat yang akan dijadikan sebuah keputusan yang berkaitan dengan tindakan kedepan.

4.      Kepedulian dan Kerjasama

Masyarakat memiliki rasa kepedulian antar sesama dan keinginan atau sedang atau telah bekerja sama atau melakukan usaha demi kepentingan bersama.

5.      Kreativitas

Masyarakat mampu melahirkan suatu gagasan yang baru dari pemahaman atas kesenjangan yang terjadi sebelumnya.

6.      Kepercayaan Diri

Masyarakat memilik rasa percaya dan keyakinan terhadap kemampuan yang ada dalam dirinya.

7.      Kemampuan Manajerial

Masyarakat memiliki penegetahuan, keterampilan dan sikap atau perilaku sebagai pemimpin.

8.      Kepuasan

Pendapat atau penilaian terhadap kinerja dan hasil usaha yang sesuai dengan kriteria dan target pencapaian.

 

Gambar 2. 2  Indikator Pemberdayaan Fujikake (Tukasno, 2013)

Sumber: Fujikake dalam Tukasno (2013)

 

Alasan penulis memilih teori pemberdayaan dalam penelitian ini adalah untuk melihat apakah pemberdayaan masyarakat sebagaimana dikonsepkan oleh para ahli yang berasumsi bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujutan potensi kemampuan yang mereka miliki sudah atau belum sejalan dengan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan BUMDesa di Desa Dalisodo, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Dengan cara pandang yang demikian maka dalam analisis berikutnya akan ditemukan titik keselarasan teori tersebut dan prakteknya dalam kehidupan masyarakat desa.

2. 2 Teori Partisipasi

Partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu “participation” yang dapat diartikan suatu kegiatan untuk membangkitkan perasaan dan diikut sertakan atau ambil bagian dalam kegiatan suatu organisasi. Sehubungan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, partisipasi merupakan keterlibatan aktif masyarakat atau partisipasi tersebut dapat berarti keterlibatan proses penentuan arah dari strategi kebijaksanaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.  Dalam pelaksanaan pembangunan harus ada sebuah rangsangan dari pemerintah agar masyarakat dalam keikutsertaannya memiliki motivasi.

Rincian tentang partisipasi menurut Simatupang (dalam Yuwono, 2001:124) sebagai berikut:

a.       Partisipasi berarti apa yang kita jalankan adalah bagian dari usaha bersama yang dijalankan bahu-membahu dengan saudara kita sebangsa dan setanah air untuk membangun masa depan bersama.

b.      Partisipasi berarti pula sebagai kerja untuk mencapai tujuan bersama diantara semua warga negara yang mempunyai latar belakang kepercayaan yang beraneka ragam dalam negara pancasila kita, atau dasar hak dan kewajiban yang sama untuk memberikan sumbangan demi terbinanya masa depan yang baru dari bangsa kita.

c.       Partisipasi tidak hanya berarti mengambil bagian dalam pelaksanaan-pelaksanaan, perencanaan pembangunan. Partisipasi berarti memberikan sumbangan agar dalam pengertian kita mengenai pembangunan kita nilai-nilai kemanusiaan dan cita-cita mengenai keadilan sosial tetap dijunjung tinggi.

d.      Partisipasi dalam pembangunan berarti mendorong ke arah pembangunan yang serasi dengan martabat manusia. Keadilan sosial dan keadilan Nasional dan yang memelihara alam sebagai lingkungan hidup manusia juga untuk generasi yang akan datang.

 

Menurut Suryono (2001:124), partisipasi merupakan

“Ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan pembangunan dan ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan, inisiatif dan kreatifitas dari anggota masyarakat yang lahir dari kesadaran dan tanggung jawab sebagai manusia yang hidup bermasyarakat dan diharapkan tumbuh berkembang sebagai suatu partisipasi”

 

Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat secara aktif. Masyarakat dapat juga terlibat dalam proses penentuan arah serta strategi kebijaksanaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. Hal ini terutama berlangsung dalam proses politik dan juga proses sosial, serta hubungan antara kelompok kepentingan dalam masyarakat sehingga demikian mendapat dukungan dalam pelaksanaannya.

Konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan sudah mulai dikenalkan oleh pemerintah sejak awal tahun 1980-an melalui istilah pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diharapkan untuk dapat berpartisipasi dalam membangun serta menjaga lingkungan dimana mereka berada. Untuk mensukseskan gerakan pemberdayaan masyarakat tersebut kemudian pemerintah membentuk beberapa lembaga-lembaga PKK, LKMD, dan karang taruna sebagai wadah dalam mendorong komunitas lokal untuk berpartisipasi dan menjunjung solidaritas Bersama.

Mengingat pemberdayaan masyarakat kebanyakan adalah staf pemerintah atau yang ditunjukan oleh pemerintah yang bekerja sebagai penghubung antara kebijakan serta agenda pembangunan dengan apa yang harus dilakukan oleh komunitas. Partisipasi dalam memerima hasil pembangunan dan menilai hasil partisipasi masyarakat menurut Isbandi adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternative solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan ketertiban masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Usaha pemberdayaan masyarakat, dalam arti pengelolaan pembangunan desa harus dibangun dengan berorientasi pada potensi viskal, perlibatan masyarakat serta adanya usaha yang mengarah pada kemandirian masyarakat desa.

Keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan secara aktif baik pada pembuatan rencana pelaksanaan maupun penilaian pembangunan menjadi demikian penting sebagai tolak ukur kemampuan masyarakat untuk berinisiatif dan menikmati hasil pembangunan yang telah dilakukan. Dalam meningkatkan dan mendorong munculnya sikap partisipasi, maka yang perlu dipahami oleh pengembang masyarakat adalah kebutuhan-kebutuhan nyata yang dirasakan oleh individu maupun masyarakat. Partisipasi lebih pada alat sehingga dimaknai partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat secara aktif dalam keseluruhan proses kegiatan, sebagai media penumbuhan kohesifitas antar masyarakat, masyarakat dengan pemerintah juga menggalang tumbuhnya rasa memiliki dan tanggung jawab pada program yang dilakukan. Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat, seolah-olah menjadi “model baru” yang harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek.

Menurut Slamet (2003:8) menyatakan bahwa, partisipasi Valderama dalam Arsito mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis, yaitu:

1.      Partisipasi politik (political participation) lebih berorientasi pada “mempengaruhi” dan “mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintah ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.

2.      Partisipasi sosial (social participation) partisipasi ditempatkan sebagai beneficiary atau pihak diluar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, pemantauan, evaluasi dan implementasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.

3.      Partisipasi warga (citizen participation/citizenship) menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses pemerintahan. Partisipasi warga telah mengalih konsep partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap penerima derma atau kaum tersisih menuju suatu keperdulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambil keputusan diberbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik.

 

2. 3 Badan Usaha Milik Desa

2.3.1        Pengertian Badan Usaha Milik Desa

Dalam buku panduan BUMDesa yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional (2007), BUMDesa merupakan “badan usaha milik desa yang didirikan atas dasar kebutuhan dan potensi desa sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat”

Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya, BUMDesa dibangun atas prakarsa dan partisipasi masyarakat. BUMDesa juga merupakan perwudan partisipasi masyarakat desa secara keseluruhan, sehingga tidak menciptakan model usaha yang dihegemoni oleh kelompok tertentu di tingkat desa. Artinya tata aturan ini terwujud dalam mekanisme kelembagaan yang solid, penguatan kapasitas kelembagaan akan terarah pada adanya tata aturan yang mengikat seluruh anggota (one for all).

2.3.2        Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Desa

Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) didirikan berdasarkan tujuan:

a.       Meningkatkan perekonomian desa;

b.      Mengoptimalkan aset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa;

c.       Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa;

d.      Mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga;

e.       Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga;

f.        Membuka lapangan kerja;

g.      Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa;

h.      Meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa.

 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa, didirikan berdasarkan tujuan:

a.       Melakukan kegiatan usaha ekonomi melalui pengelolaan usaha, serta pengembangan investasi dan produktivitas perekonomian, dan potensi Desa;

b.      Melakukan kegiatan pelayanan umum melalui penyediaan barang dan/atau jasa serta pemenuhan kebutuhan umummasyarakat Desa, dan mengelola lumbung pangan Desa;

c.       Memperoleh keuntungan atau laba bersih bagi peningkatan pendapatan asli Desa serta mengembangkan sebesar-besarnya manfaat atas sumber daya ekonomi masyarakat Desa;

d.      Pemanfaatan aset Desa guna menciptakan nilai tambah atas aset Desa; dan

e.       Mengembangkan ekosistem ekonomi digital Desa.

 

Pada dasarnya pengelolaan dan pendirian BUMDesa merupakan salah satu upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat yang wujudnya sebagai Lembaga ekonomi produktif sehingga pengelolaan badan usahanya berjalan secara efektif, efisien, profesionalisme, dan mandiri. Pendirian BUMDesa sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa dan membawa manfaat tersendiri bagi desa yang mendirikannya. Selain yuntuk peningkatan pendapatan asli desa, BUMDesa juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Lebih lanjut, bahwa pada dasarnya adanya pembentukan BUMDesa dipertimbangkan juga oleh beberapa hal, yaitu adanya gagasan/inisiatif dari pemerintah atau masyarakat desa dalam pengelolaan BUMDesa berdasarkan pada potensi dan sumber daya alam yang dimiliki oleh desa tersebut, terdapat sumber daya manusia yang nantinya akan mengelola BUMDesa, terdapat penyertaan modal dari pemerintah desa dalam bentuk pembiayaan demi kelancaran pelaksanaan BUMDesa itu sendiri, serta penyerahan kekayaan desa untuk dikelola sebagai bagian dari usaha BUMDesa.

2.3.3        Fungsi Badan Usaha Milik Desa

Berdasarkan Pasal (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa, fungsi BUMDesa meliputi:

a.       Konsolidasi produk barang dan/atau jasa masyarakat Desa;

b.      Produksi barang dan/atau jasa;

c.       Penampung, pembeli, pemasaran produk masyarakat Desa;

d.      Inkubasi usaha masyarakat Desa;

e.       Stimulasi dan dinamisasi usaha ekonomi masyarakat Desa;

f.        Pelayanan kebutuhan dasar dan umum bagi masyarakat Desa;

g.      Peningkatan kemanfaatan dan nilai ekonomi kekayaan budaya, religiositas, dan sumber daya alam; dan

h.      Peningkatan nilai tambah atas aset Desa dan pendapatan asli daerah.

 

2.3.4        Landasan Hukum Badan Usaha Milik Desa

a.       Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa.

b.      Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pendataan, dan Pemeringkatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Pengadaan Barang dan/atau Jasa BUMDesa/BUMDesa Bersama.

c.       Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 117 Tentang Badan Usaha Milik Desa.

d.      Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, BAB X Pasal 87-90 Tentang Badan Usaha Milik Desa.

e.       Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa, BAB VII Pasal 132-142 Tentang Badan Usaha Milik Desa.

f.        Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berkelas Desa.

g.      Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa.

h.      Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa

2.3.5        Prinsip-Prinsip BUMDesa

Berdasarkan buku pedoman Badan Usaha Milik Desa (2007:13), terdapat 6 (enam) prinsip dalam mengelola BUMDesa, yaitu:

a.       Kooperatif, segala bagian terdapat di BUMDesa harus bisa melaksanakan kerja sama yang baik demi kelangsungan hidup usahanya.

b.      Partisipatif, setiap komponen yang terdapat di dalam BUMDesa harus bersedia diminta memberikan dukungan dan kontribusi untuk mendorong kemajuan usaha BUMDesa.

c.       Emansipatif, setiap komponen yang terlibat di dalam BUMDesa diperlakukan adil tanpa memandang agama, suku, golongan.

d.      Transportasi, kegiatan yang berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat harus dapat diketahui oleh masyarakat.

e.       Akuntabel, seluruh kegiatan usaha harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun administrasi.

f.        Sustainable, kegiatan usaha harus dapat dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat dalam wadah BUMDesa.

 

Menurut Herry Kamaroesid (2016), perbedaan BUMDesa dan Lembaga lainnya adalah:

a.       Badan usaha dimiliki oleh desa dan dikelola secara Bersama;

b.      Modal usaha yang ada bersumber dari desa (51%) dan dari warga (49%) melalui penyeretan modal;

c.       Operasionalisasinya menerapkan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal;

d.      Bidang usaha yang ada dikelola sesuai dengan potensi dan hasil informasi dari pasar;

e.       Keuntungan yang didapat ditjukan berdasarkan pada potensi dan hasil informasi dari pasar;

f.        Keuntungan yang didapat diperuntukkan untuk meningkatkan kesejahteraan (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa;

g.      Difasilitasi oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah desa;

h.      Pelaksanaan operasionalisasi diawasi Bersama pemdes, BPD, dan anggota.

 

Berdasarkan Pasal (4) huruf (a,b,c,d dan e) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa, dilaksanakan berdasarkan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan dengan prinsip:

a.       Professional;

b.      Terbuka dan bertanggung jawab;

c.       Partisipatif;

d.      Prioritas sumber daya lokal; dan

e.       Berkelanjutan.

2.3.6        Alur Pemberdayaan Masyarakat BUMDesa Makmur Sejati

Dari wawancara bersama Ibu Ida Nur Lestari, selaku direktur BUMDesa Makmur Sejati, dalam memberdayakan masyarakat desa, BUMDesa Makmur Sejati memiliki beberapa tahap pengupayaan sebagai alur dalam menjalankan proses pemberdayaan terhadap masyarakat, yaitu sosialisasi, perekrutan, pendataan, pelatihan dan pembinaan, dan kontrol.

Lokasi: Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar