Teori Pemberdayaan
Masyarakat
Pengertian
Pemberdayaan
berasal dari kata bahasa Inggris “empowerment” yang biasa diartikan sebagai
pemberkuasaan. Dalam artian pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power)
kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (Mustika & Hendradewi,
2019). Zuliyah (2010), mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah “suatu proses
yang berjalan terus-menerus untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian
masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya”.
Dalam
teori pemikiran Sumodiningrat (1997), ia berasumsi bahwa pemberdayaan
masyarakat adalah
“Upaya untuk memandirikan masyarakat lewat
perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat
senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat
sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak
yang membedayakan. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada
pengembangan sumber daya manusia di pedesaan, menciptakan peluang berusaha yang
sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi
wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem pelayanan
dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini
kemudian diarahkan pada pemberdayaan ekonomi rakyat” (Sumodiningrat, 1997).
Lebih lanjut bahwa
pemberdayaan masyarakat adalah proses partisipatif yang memberi kepercayaan dan
kesempatan kepada masyarakat untuk mengkaji tantangan utama pembangunan mereka
dan mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah
tersebut. Kegiatan ini kemudian menjadi basis program daerah, regional dan
bahkan program nasional. Pemahaman ini menunjukan bawa program pemberdayaan
masyarakat ditentukan oleh masyarakat, dimana lembaga pendukung hanya memiliki
peran sebagai fasilitator. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada sumber
daya eksternal atau yang tidak berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat merupakan
unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan dalam pengertian
yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan.
2.1.2 Tujuan
Pemberdaaan Masyarakat
Suryo
(2017), mengemukakan bahwa “tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan
masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri”.
Kemandirian itu sendiri meliputi kemandirian berpikir, kemandirian bertindak
dan kemandirian mengendalikan apa yang sedang mereka lakukan.
Menurut
Febrianti dan Suprojo (2019), pemberdayaan masyarakat hendaklah
“Mengarah pada pembentukan kognitif
masyarakat yang lebih baik. Kondisi kognitif pada dasarnya merupakan kemampuan
berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang atau masyarakat
dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif
merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada
perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan.
Kondisi afektif merupakan sense (nalar) yang dimiliki oleh masyarakat
yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan
perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kemampuan keterampilan yang dimiliki
masyarakat sebagai upaya pendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas
pembangunan dan pemberdayaan”.
Lebih lanjut
terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, afektif,
dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian
masyarakat yang dicita-citakan, karena dengan demikian dalam masyarakat akan
terjadi kecukupan wawasan yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang
memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan
kebutuhannya tersebut, untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan suatu
tindakan atau proses, yaitu pemberdayaan pada masyarakat itu sendiri.
2.1.3 Prinsip-Prinsip
Pemberdayaan Masyarakat
Beberapa
prinsip dalam keberlangsungan pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Kesetaraan
Dalam
proses pemberdayaan masyarakat harus adanya kesetaraan atau kesejajaran
kedudukan antara masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-program
pemberdayaan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Dinamika yang
dibangun adalah hubungan kesetaraan dengan mengembangkan mekanisme berbagai
pengetahuan, pengalaman, serta keahlian satu sama lain.
2. Partisipasi
Umanailo
(2019), mengemukakan bahwa program pemberdayaan yang dapat menstimulasi
kemandirian masyarakat adalah “program yang sifatnya partisipatif,
direncanakan, dilaksanakan, diawasi, dan dievaluasi oleh masyarakat”. Sehingga
memerlukan waktu dan proses pendampingan yang melibatkan pendamping yang
berkomitmen tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat untuk mencapai tingkat
tersebut.
3. Keswadayaan
atau Kemandirian
Iryanam
(2018), mengemukakan bahwa prinsip keswadayaan adalah “menghargai dan
mengedepankan kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain”. Dalam prinsip
keswadayaan tidak memandang orang miskin sebagai objek yang tidak berkemampuan
“the have not”, melainkan sebagai subjek yang memiliki kemampuan sedikit
“the have little”.
4. Berkelanjutan
Rinawati (2006),
mengemukakan bahwa “program pemberdayaan masyarakat perlu dirancang untuk
berkelanjutan, sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan dibanding
masyarakat sendiri”. Tapi secara perlahan dan pasti, peran pendamping akan
semakin berkurang, bahkan dihapus karena masyarakat sudah mandiri dengan mampu
mengelola kegiatannya sendiri
2.1.4 Model
Pemberdayaan Masyarakat
Model
pemberdayaan masyarakat merupakan metode, pola, tahap atau langkah yang dibuat,
dikembangkan dan digunakan dalam praktik atau implementasinya dalam pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat. Model yang digunakan Fujikake dalam Tukasno (2013)
dalam pemberdayaan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu
mencoba memahami pencapaian pemberdayaan dari pandangan masyarakat sebagai
pelaksana program. Pendekatan ini mencoba memahami hubungan antara tanggapan
masyarakat dengan tujuan pemberdayaan yang hendak dicapai untuk kemudian
dituangkan dalam gambar dan model konsep tertentu. Fujikake mengembangkan langkah
dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu:
·
Melihat perubahan masyarakat dari tingkat
kesadarannya
Hasil dari
analisis perubahan tingkat kesadaran ini dituangkan dalam grafik yang
menggambarkan tingkat perubahan kesadaran yang diklasifikasi menjadi tiga (3),
yaitu “sangat baik”, “telah berubah”, dan “tidak seperti sebelumnya”.
(Sumber:
Fujikake dalam Tukasno, 2013)
2.1.5 Indikator
Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat
Menurut
United States Department of Health and Human Service atau HHS (2014),
indikator keberhasilan adalah “diartikan sebagai statistik dari berbagai hal
yang bersifat normatif yang menjadi perhatian utama kita yang bisa membantu
kita dalam membuat berbagai penilaian ringkas, komperehensif, dan berimbang
terhadap berbagai macam kondisi dan juga berbagai macam ospek penting yang ada
dalam kehidupan masyarakat”.
Keberhasilan
pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dengan indikator-indikator yang dapat
menunjukan seseorang atau komunitas berdaya atau tidak. Fujikake dalam Tukasno
(2013) mengemukakan beberapa indikator keberhasilan dalam pemberdayaan
masyarakat, antara lain:
1.
Partisipasi
Keberdayaan dalam konteks ini adalah
masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan lembaga yang ada didalamnya.
2.
Pengemukaan
Pendapat
Masyarakat mampu mengemukakan gagasan atau
menyampaikan ide atau mengeluarkan pikiran.
3.
Pengambilan
Tindakan
Masyarakat mampu memilih alternatif yang
tepat yang akan dijadikan sebuah keputusan yang berkaitan dengan tindakan
kedepan.
4.
Kepedulian
dan Kerjasama
Masyarakat memiliki rasa kepedulian antar
sesama dan keinginan atau sedang atau telah bekerja sama atau melakukan usaha
demi kepentingan bersama.
5.
Kreativitas
Masyarakat mampu melahirkan suatu gagasan
yang baru dari pemahaman atas kesenjangan yang terjadi sebelumnya.
6.
Kepercayaan
Diri
Masyarakat memilik rasa percaya dan
keyakinan terhadap kemampuan yang ada dalam dirinya.
7.
Kemampuan
Manajerial
Masyarakat memiliki penegetahuan,
keterampilan dan sikap atau perilaku sebagai pemimpin.
8.
Kepuasan
Pendapat atau penilaian terhadap kinerja dan hasil
usaha yang sesuai dengan kriteria dan target pencapaian.
Gambar 2. 2 Indikator Pemberdayaan Fujikake (Tukasno, 2013)
Alasan penulis
memilih teori pemberdayaan dalam penelitian ini adalah untuk melihat apakah
pemberdayaan masyarakat sebagaimana dikonsepkan oleh para ahli yang berasumsi
bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memandirikan masyarakat lewat
perwujutan potensi kemampuan yang mereka miliki sudah atau belum sejalan dengan
pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan BUMDesa di Desa Dalisodo, Kecamatan
Wagir, Kabupaten Malang. Dengan cara pandang yang demikian maka dalam analisis
berikutnya akan ditemukan titik keselarasan teori tersebut dan prakteknya dalam
kehidupan masyarakat desa.
2. 2 Teori Partisipasi
Partisipasi
berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu “participation” yang dapat
diartikan suatu kegiatan untuk membangkitkan perasaan dan diikut sertakan atau
ambil bagian dalam kegiatan suatu organisasi. Sehubungan dengan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan, partisipasi merupakan keterlibatan aktif
masyarakat atau partisipasi tersebut dapat berarti keterlibatan proses
penentuan arah dari strategi kebijaksanaan pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah. Dalam pelaksanaan
pembangunan harus ada sebuah rangsangan dari pemerintah agar masyarakat dalam
keikutsertaannya memiliki motivasi.
Rincian
tentang partisipasi menurut Simatupang (dalam Yuwono, 2001:124) sebagai
berikut:
a.
Partisipasi
berarti apa yang kita jalankan adalah bagian dari usaha bersama yang dijalankan
bahu-membahu dengan saudara kita sebangsa dan setanah air untuk membangun masa
depan bersama.
b.
Partisipasi
berarti pula sebagai kerja untuk mencapai tujuan bersama diantara semua warga
negara yang mempunyai latar belakang kepercayaan yang beraneka ragam dalam
negara pancasila kita, atau dasar hak dan kewajiban yang sama untuk memberikan
sumbangan demi terbinanya masa depan yang baru dari bangsa kita.
c.
Partisipasi
tidak hanya berarti mengambil bagian dalam pelaksanaan-pelaksanaan, perencanaan
pembangunan. Partisipasi berarti memberikan sumbangan agar dalam pengertian
kita mengenai pembangunan kita nilai-nilai kemanusiaan dan cita-cita mengenai
keadilan sosial tetap dijunjung tinggi.
d.
Partisipasi
dalam pembangunan berarti mendorong ke arah pembangunan yang serasi dengan
martabat manusia. Keadilan sosial dan keadilan Nasional dan yang memelihara
alam sebagai lingkungan hidup manusia juga untuk generasi yang akan datang.
Menurut
Suryono (2001:124), partisipasi merupakan
“Ikut sertanya
masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan pembangunan dan ikut
memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Untuk mewujudkan
keberhasilan pembangunan, inisiatif dan kreatifitas dari anggota masyarakat
yang lahir dari kesadaran dan tanggung jawab sebagai manusia yang hidup
bermasyarakat dan diharapkan tumbuh berkembang sebagai suatu partisipasi”
Partisipasi
merupakan keterlibatan masyarakat secara aktif. Masyarakat dapat juga terlibat
dalam proses penentuan arah serta strategi kebijaksanaan pembangunan yang
dilaksanakan pemerintah. Hal ini terutama berlangsung dalam proses politik dan
juga proses sosial, serta hubungan antara kelompok kepentingan dalam masyarakat
sehingga demikian mendapat dukungan dalam pelaksanaannya.
Konsep
partisipasi masyarakat dalam pembangunan sudah mulai dikenalkan oleh pemerintah
sejak awal tahun 1980-an melalui istilah pemberdayaan masyarakat. Masyarakat
diharapkan untuk dapat berpartisipasi dalam membangun serta menjaga lingkungan
dimana mereka berada. Untuk mensukseskan gerakan pemberdayaan masyarakat
tersebut kemudian pemerintah membentuk beberapa lembaga-lembaga PKK, LKMD, dan
karang taruna sebagai wadah dalam mendorong komunitas lokal untuk
berpartisipasi dan menjunjung solidaritas Bersama.
Mengingat
pemberdayaan masyarakat kebanyakan adalah staf pemerintah atau yang ditunjukan
oleh pemerintah yang bekerja sebagai penghubung antara kebijakan serta agenda
pembangunan dengan apa yang harus dilakukan oleh komunitas. Partisipasi dalam
memerima hasil pembangunan dan menilai hasil partisipasi masyarakat menurut
Isbandi adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah
dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang
alternative solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi
masalah, dan ketertiban masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang
terjadi. Usaha pemberdayaan masyarakat, dalam arti pengelolaan pembangunan desa
harus dibangun dengan berorientasi pada potensi viskal, perlibatan masyarakat
serta adanya usaha yang mengarah pada kemandirian masyarakat desa.
Keikutsertaan
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan secara aktif baik pada pembuatan
rencana pelaksanaan maupun penilaian pembangunan menjadi demikian penting
sebagai tolak ukur kemampuan masyarakat untuk berinisiatif dan menikmati hasil
pembangunan yang telah dilakukan. Dalam meningkatkan dan mendorong munculnya
sikap partisipasi, maka yang perlu dipahami oleh pengembang masyarakat adalah
kebutuhan-kebutuhan nyata yang dirasakan oleh individu maupun masyarakat.
Partisipasi lebih pada alat sehingga dimaknai partisipasi sebagai keterlibatan
masyarakat secara aktif dalam keseluruhan proses kegiatan, sebagai media penumbuhan
kohesifitas antar masyarakat, masyarakat dengan pemerintah juga menggalang
tumbuhnya rasa memiliki dan tanggung jawab pada program yang dilakukan. Istilah
partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pengembangan
masyarakat, seolah-olah menjadi “model baru” yang harus melekat pada setiap
rumusan kebijakan dan proposal proyek.
Menurut
Slamet (2003:8) menyatakan bahwa, partisipasi Valderama dalam Arsito mencatat
ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan
masyarakat yang demokratis, yaitu:
1.
Partisipasi
politik (political participation) lebih berorientasi pada “mempengaruhi”
dan “mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintah ketimbang
partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.
2.
Partisipasi
sosial (social participation) partisipasi ditempatkan sebagai
beneficiary atau pihak diluar proses pembangunan dalam konsultasi atau
pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari
evaluasi kebutuhan sampai penilaian, pemantauan, evaluasi dan implementasi.
Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran
dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses sosial
sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan
komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana
pembelajaran dan mobilisasi sosial.
3.
Partisipasi
warga (citizen participation/citizenship) menekankan pada partisipasi
langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses
pemerintahan. Partisipasi warga telah mengalih konsep partisipasi “dari sekedar
kepedulian terhadap penerima derma atau kaum tersisih menuju suatu keperdulian dengan
berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambil
keputusan diberbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka. Maka
berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang berorientasi pada
agenda penentuan kebijakan publik.
2. 3 Badan Usaha Milik Desa
2.3.1
Pengertian Badan Usaha Milik Desa
Dalam
buku panduan BUMDesa yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional (2007),
BUMDesa merupakan “badan usaha milik desa yang didirikan atas dasar kebutuhan
dan potensi desa sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat”
Berkenaan dengan
perencanaan dan pendiriannya, BUMDesa dibangun atas prakarsa dan partisipasi
masyarakat. BUMDesa juga merupakan perwudan partisipasi masyarakat desa secara
keseluruhan, sehingga tidak menciptakan model usaha yang dihegemoni oleh
kelompok tertentu di tingkat desa. Artinya tata aturan ini terwujud dalam
mekanisme kelembagaan yang solid, penguatan kapasitas kelembagaan akan terarah
pada adanya tata aturan yang mengikat seluruh anggota (one for all).
2.3.2
Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Desa
Berdasarkan
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4
Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan
Usaha Milik Desa (BUMDesa) didirikan berdasarkan tujuan:
a.
Meningkatkan
perekonomian desa;
b.
Mengoptimalkan
aset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa;
c.
Meningkatkan
usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa;
d.
Mengembangkan
rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga;
e.
Menciptakan
peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga;
f.
Membuka
lapangan kerja;
g.
Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan
pemerataan ekonomi desa;
h.
Meningkatkan
pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha
Milik Desa, didirikan berdasarkan tujuan:
a.
Melakukan
kegiatan usaha ekonomi melalui pengelolaan usaha, serta pengembangan investasi
dan produktivitas perekonomian, dan potensi Desa;
b.
Melakukan
kegiatan pelayanan umum melalui penyediaan barang dan/atau jasa serta pemenuhan
kebutuhan umummasyarakat Desa, dan mengelola lumbung pangan Desa;
c.
Memperoleh
keuntungan atau laba bersih bagi peningkatan pendapatan asli Desa serta
mengembangkan sebesar-besarnya manfaat atas sumber daya ekonomi masyarakat
Desa;
d.
Pemanfaatan
aset Desa guna menciptakan nilai tambah atas aset Desa; dan
e.
Mengembangkan
ekosistem ekonomi digital Desa.
Pada
dasarnya pengelolaan dan pendirian BUMDesa merupakan salah satu upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat yang wujudnya sebagai Lembaga ekonomi produktif sehingga
pengelolaan badan usahanya berjalan secara efektif, efisien, profesionalisme,
dan mandiri. Pendirian BUMDesa sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa
dan membawa manfaat tersendiri bagi desa yang mendirikannya. Selain yuntuk
peningkatan pendapatan asli desa, BUMDesa juga bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Lebih lanjut,
bahwa pada dasarnya adanya pembentukan BUMDesa dipertimbangkan juga oleh
beberapa hal, yaitu adanya gagasan/inisiatif dari pemerintah atau masyarakat
desa dalam pengelolaan BUMDesa berdasarkan pada potensi dan sumber daya alam
yang dimiliki oleh desa tersebut, terdapat sumber daya manusia yang nantinya
akan mengelola BUMDesa, terdapat penyertaan modal dari pemerintah desa dalam
bentuk pembiayaan demi kelancaran pelaksanaan BUMDesa itu sendiri, serta
penyerahan kekayaan desa untuk dikelola sebagai bagian dari usaha BUMDesa.
2.3.3
Fungsi Badan Usaha Milik Desa
Berdasarkan
Pasal (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Badan Usaha Milik Desa, fungsi BUMDesa meliputi:
a.
Konsolidasi
produk barang dan/atau jasa masyarakat Desa;
b.
Produksi
barang dan/atau jasa;
c.
Penampung,
pembeli, pemasaran produk masyarakat Desa;
d.
Inkubasi
usaha masyarakat Desa;
e.
Stimulasi
dan dinamisasi usaha ekonomi masyarakat Desa;
f.
Pelayanan
kebutuhan dasar dan umum bagi masyarakat Desa;
g.
Peningkatan
kemanfaatan dan nilai ekonomi kekayaan budaya, religiositas, dan sumber daya
alam; dan
h.
Peningkatan
nilai tambah atas aset Desa dan pendapatan asli daerah.
2.3.4
Landasan Hukum Badan Usaha Milik Desa
a. Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa.
b. Peraturan
Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pendataan, dan
Pemeringkatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Pengadaan Barang dan/atau Jasa
BUMDesa/BUMDesa Bersama.
c. Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 117 Tentang Badan Usaha Milik
Desa.
d. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, BAB X Pasal 87-90 Tentang Badan Usaha Milik
Desa.
e. Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa, BAB VII Pasal 132-142 Tentang
Badan Usaha Milik Desa.
f.
Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berkelas
Desa.
g. Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata
Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa.
h. Peraturan
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran
Badan Usaha Milik Desa
2.3.5
Prinsip-Prinsip BUMDesa
Berdasarkan
buku pedoman Badan Usaha Milik Desa (2007:13), terdapat 6 (enam) prinsip dalam
mengelola BUMDesa, yaitu:
a.
Kooperatif, segala bagian terdapat di BUMDesa harus
bisa melaksanakan kerja sama yang baik demi kelangsungan hidup usahanya.
b.
Partisipatif, setiap komponen yang terdapat di dalam
BUMDesa harus bersedia diminta memberikan dukungan dan kontribusi untuk
mendorong kemajuan usaha BUMDesa.
c.
Emansipatif, setiap komponen yang terlibat di dalam
BUMDesa diperlakukan adil tanpa memandang agama, suku, golongan.
d.
Transportasi, kegiatan yang berpengaruh terhadap
kepentingan masyarakat harus dapat diketahui oleh masyarakat.
e.
Akuntabel, seluruh kegiatan usaha harus dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis maupun administrasi.
f.
Sustainable, kegiatan usaha harus dapat dikembangkan
dan dilestarikan oleh masyarakat dalam wadah BUMDesa.
Menurut
Herry Kamaroesid (2016), perbedaan BUMDesa dan Lembaga lainnya adalah:
a.
Badan
usaha dimiliki oleh desa dan dikelola secara Bersama;
b.
Modal
usaha yang ada bersumber dari desa (51%) dan dari warga (49%) melalui
penyeretan modal;
c.
Operasionalisasinya
menerapkan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal;
d.
Bidang
usaha yang ada dikelola sesuai dengan potensi dan hasil informasi dari pasar;
e.
Keuntungan
yang didapat ditjukan berdasarkan pada potensi dan hasil informasi dari pasar;
f.
Keuntungan
yang didapat diperuntukkan untuk meningkatkan kesejahteraan (penyerta modal)
dan masyarakat melalui kebijakan desa;
g.
Difasilitasi
oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota,
pemerintah desa;
h.
Pelaksanaan
operasionalisasi diawasi Bersama pemdes, BPD, dan anggota.
Berdasarkan
Pasal (4) huruf (a,b,c,d dan e) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang
Badan Usaha Milik Desa, dilaksanakan berdasarkan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan dengan prinsip:
a. Professional;
b. Terbuka
dan bertanggung jawab;
c. Partisipatif;
d. Prioritas
sumber daya lokal; dan
e. Berkelanjutan.
2.3.6
Alur Pemberdayaan Masyarakat BUMDesa Makmur
Sejati
Dari wawancara bersama Ibu Ida Nur Lestari, selaku direktur BUMDesa Makmur Sejati, dalam memberdayakan masyarakat desa, BUMDesa Makmur Sejati memiliki beberapa tahap pengupayaan sebagai alur dalam menjalankan proses pemberdayaan terhadap masyarakat, yaitu sosialisasi, perekrutan, pendataan, pelatihan dan pembinaan, dan kontrol.
0 komentar:
Posting Komentar