Jumat, Desember 09, 2022

ANALISIS POTENSI KEBANGKRUTAN MENGGUNAKAN METODE ALTMAN Z-SCORE DAN ZMIJEWSKI X-SCORE (Studi pada Perusahaan Semen yang Listing di BEI pada Tahun 2016 - 2020)

 


ANALISIS POTENSI KEBANGKRUTAN MENGGUNAKAN METODE ALTMAN Z-SCORE DAN ZMIJEWSKI X-SCORE (Studi pada Perusahaan Semen yang Listing di BEI pada Tahun 2016 - 2020)

A. Manajemen Keuangan  

Menurut Riyanto (2014) mengemukakan bahwa Manajemen keuangan  adalah segala aktivitas yang berhubungan dengan usaha suatu Perusahaan untuk  mendapatkan pendanaan yang dibutuhkan dengan syarat-syarat dan biaya  minimum, serta menggunakan dana usaha se efisien mungkin. Sedangkan  menurut Sudana (2015) manajemen keuangan merupakan suatu pengambilan  keputusan investasi jangka panjang didalam bidang manajemen fungsional  Perusahaan, keputusan pengelolaan modal kerja dan pendanaan jangka panjang  yang terdiri dari pendanaan jangka pendek Perusahaan dan investasi. Dapat  disimpulkan bahwasanya manajemen keuangan ialah suatu aktivitas yang  berkaitan dengan pengelolaan modal kerja dan pendanaan yang diperlukan  sebagai biaya minimum agar digunakan se efisien mungkin.  Menurut Fahmi (2014) ada tiga ruang lingkup yang harus dilihat oleh manajer  dalam bidang manajemen keuangan, antara lain :  

a. Bagaimana mencari dana Pada tahap mencari dana adalah langkah awal dari manajer keuangan  dan bertugas sebagai mencari sebuah Perusahaan-Perusahaan untuk mendapatkan peluang sumber dana yang dapat dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan. Secara keseluruhan modal Perusahaan bersumber dari modal asing dan modal sendiri. Modal asing didapatkan dari    hasil pinjaman ke yang lainnya dan modal sendiri merupakan modal pribadi atau pemilik yang dijadikan sebagai modal usaha.  

b. Bagaimana mengelola dana Pada tahap mengelola dana manajer keuangan yang menganalisa dan  memantau setiap tindakan dan keputusan yang diambil dari segi aspekaspek keuangan ataupun non keuangan. Karena pihak manajemen pengelola  dana  harus memilah-milah Perusahaan mana yang akan diberi dana investasi dan dianggap menguntungkan atau porduktif dalam sistem kerjanya. Secara konsep investasi dari manajer keuangan harus menghindari keputusan yang menimbulkan kerugian dengan memiliki porfit rendah juga basa disebut penghindar resiko.  

c. Bagaimana membagi laba Pada tahap membagi laba yaitu pihak dari manajemen keuangan yang  harus melakukan tindakan keputusan untuk membagi keuntungan jumlah modal kepada pemilik yang disetor. Biasanya dibicarakan saat rapat para pemegang saham yang biasa disebut dengan pembagian deviden.  

 

Dalam setiap pengelolaan Perusahaan sering terjadi persoalan seperti perbedaan pendapat dari komisaris Perusahaan dan pihak manajemen keuangan. Komisaris Perusahaan yang mempunyai modal atau pemegang saham Perusahaan. Manajemen keuangan yang menjalankan Perusahaan. Contoh sederhananya ialah pada saat komisaris menginginkan keuntungan Perusahaan dibagi dalam bentuk deviden saham, jika dana di alokasikan untuk hal lain seperti meningkatkan produk baru atau menambah cabang Perusahaan, belum tentu keuntungan didapatkan. Akan tetapi, manajemen keuangan menginginkan perolehan dari keseluruhan keuntungan disimpan sebagai dana pendukung ekspansi Perusahaan atau dijadikan cadangan dalam setahun kedepan untuk peningkatan pembangunan.   

1. Fungsi atau peranan Manajemen Keuangan  Menurut Fahmi (2014) manajemen keuangan berfungsi sebagai acuan  bagi manajer dalam pengambilan sebuah keputusan yang dilakukan dalam  kreatifitas berfikir dan melakukan trobosan. Akan tetapi, semua itu tetap  mengesampingkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam ilmu manajemen  keuangan.

Menurut Syamsuddin (2014) fungsi manajemen keuangan diantaranya adalah sebagai berikut:Merencanakan dan menganalisa pembelanjaan Perusahaan, bekenaan dengan data keuangan dari suatu Perusahaan dapat digunakan untuk memonitor keadaan finansial Perusahaan, menilai kemungkinan yang akan terjadi pada Perusahaan yang akan datang, perencanaan modal, peningkatan produktivitas dan yang paling utama yaitu membantu manajer dalam mengelola dengan baik.  

Mengatur struktur modal dan struktur finansial Perusahaan, komponen - komponen yang saling beruhubungan diantaranya :

a) Penentuan modal jangka panjang dan jenis utang lancar yang sangat menguntungkan bagi Perusahaan,

b) penentuan alokasi antara modal jangka panjang dengan utang lancar. Penentuan tersebut dapat mempengaruhi liabilitas dan profitabilitas dari Perusahaan. Sehubungan dengan penentuan modal jangka panjang, maka tekanan yang memberikan adalah struktur modal, yaitu perbandingan antara modal sendiri dengan hutang jangka panjang.  Berdasarkan uraian diatas mengenai peranan dari seorang manajemen keuangan sangat diperlukan keberadaanya untuk mengatur keadaan keuangan suatu Perusahaan. Mencoba memecahkan sebuah masalah, menemukan masalah yang dihadapi, agar tujuan dari suatu Perusahaan akan mudah dicapai.   

2. Tujuan Manajemen keuangan  Tujuan manajemen keuangan Perusahaan adalah untuk menganalisa  dalam kegiatan perencanaan dan pengendalian dari manajer keuangan  bagaimana keputusan manajer keuangan untuk mempertahankan  keberlangsungan operasional Perusahaan. Menurut Husnan dan Pudjiastuti  (2015) Tujuan manajemen keuangan secara umum adalah untuk  menghasilkan keuntungan atau laba yang maksimum dan optimal. Agar  para pemilik saham dapat menerima deviden yang lebih besar dari investasi  yang diberikan selama berjalannya Perusahaan.  

Menurut Mustofa (2017) tujuan dari manajemen keuangan dibedakan  menjadi dua yaitu :  

a. Pendekatan likuiditas dan profitabilitas  

Likuiditas yaitu menjaga agar manajemen keuangan harus selalu menyediakan uang kas untuk memenuhi kewajiban finansialnya.  

2) Profitabilitas yaitu agar manajemen keuangan berusaha untuk memperoleh laba dalam jangka panjang.  

Pendekatan resiko dan keuntungan Dalam pendekatan ini manajemen keuangan harus menciptakan  laba atau keuntungan dengan maksimal agar Perusahaan dapat memperoleh nilai tinggi yang dapat memakmurkan pemegang saham serta pemilik Perusahaan dengan meminimalisir resiko kerugian. Tingkat resiko minimal yang didapatkan Perusahaan berdampak pada target keuntungan dalam suatu periode. Misalnya setahun diharapkan dalam pencapaian target bisa terpenuhi.  

3. Keputusan Manajemen Keuangan Menurut Mardiyanto (2008) ada tiga keputusan manajemen keuangan  yang dapat diimplementasikan dalam meningkatkan kinerja Perusahaan diantaranya :  

a. Keputusan Pendanaan Keputusan pendanaan atau kebijakan struktur modal dapat  dilakukan oleh seorang manajer keuangan dalam mempertimbangkan dan menganalisa sumber dana yang digunakan untuk membelanjakan kebutuhan-kebutuhan dengan ekonomis serta kegiatan usahanya.  

b. Keputusan Investasi Pada keputusan ini adalah bagaimana manajer Perusahaan harus  mengalokasikan dana kedalam bentuk investasi yang dapat memperoleh laba atau keuntungan di masa yang akan datang. Memang dalam keputusan ini tidak dapat diperkirakan secara pasti, namun diharapkan dapat mempengaruhi dan meningkatkan komposisi tingkat keuntungan.  

c. Kebijakan Deviden Dalam kebijakan deviden ini merupakan bagian dari  penghasilan yang diharapkan oleh pemegang saham karena bagian dari keuntungan yang diperoleh dari Perusahaan.   

 

B. Kinerja Keuangan  

Menurut Rudianto (2013) pengertian dari kinerja keuangan yaitu  prestasi atau hasil yang sudah dicapai oleh sebuah manajemen Perusahaan  dalam hal mengelola aset, serta menjalankan tugas sesuai fungsinya secara  efektif selama tahun-tahun tertentu. Sedangkan menurut Jumingan (2006)  Kinerja keuangan adalah kondisi keuangan dari suatu Perusahaan dalam  beberapa periode tertentu yang berhubungan dengan penyaluran dana atau  penghimpunan dana. Dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan merupakan  suatu pencapaian dari suatu Perusahaan dalam periode tertentu untuk  memperlihatkan kondisi kesehatan keuangan. Kinerja keuangan sangat  diperlukan oleh sebuah Perusahaan kerena untuk mengevaluasi dan mengetahui  seberapa naiknya tingkat keberhasilan berdasarkan aktifitas keuangan yang  telah dicapai Perusahaan. Kinerja keuangan menjadi hal yang krusial dalam  dunia bisnis, karena memiliki peran sebagai penentu kelangsungan hidup  sebuah Perusahaan dalam beroperasi. Laporan dan detail dari seluruh kinerja  keuangan pasti terlihat dalam laporan keuangan. Sehingga jika tidak terjadi  adanya laporan keuangan, maka Perusahaan akan kesulitan dalam menentukan  operasionalnya.  

1. Pengukuran Kinerja Keuangan  Menurut Mahmudi (2019) pengukuran kinerja keuangan digunakan  dalam pengendalian aktivitas yang berhubungan dengan manajemen  Perusahaan. Setiap aktivitas harus tetap terstruktur dalam kinerjanya agar dapat  mengetahui efektivitas dan efisiensinya. Menurut Mulyadi (2007) pengukuran  atau penilaian kinerja merupakan suatu efektivitas operasional yang ditentukan  dalam organisasi, agar tugas karyawan dibagi berdasarkan kriteria, standar dan  sasaran yang telah ditetapkan. Dalam sektor publik terdapat 3E dalam  mengukuran kinerjanya yaitu : ekonomis, efektivitas dan efisiensi. Jika suatu  Perusahaan tidak memiliki pengukuran kinerja keuangan, maka sulit bagi  Perusahaan untuk menentukan apakah aktivitas tersebut berhasil atau gagal.  Ada dua macam dalam mengukur kinerja keuangan, antara lain:  

a. Ukuran kinerja tunggal  Ukuran kinerja tunggal merupakan suatu ukuran yang hanya menggunakan  satu ukuran untuk menilai kinerja manajer.  

b. Ukuran kinerja gabungan  Ukuran kinerja gabungan merupakan ukuran kinerja yang menggunakan  berbagai macam ukuran dalam menilai kinerja manajer. Tujuannya adalah  agar usahanya dapat diarahkan manajer dengan menghitung rata-ratanya  sebagai ukuran kinerja manajer.  

2. Manfaat dari Penilaian atau pengukuran Kinerja sebagai berikut:  

a. Untuk membantu dalam pengambilan keputusan yang berkaitan  

b. Untuk menilai kinerja karyawan agar menjadi pertimbangan dari atasan  mereka.  

c. Memberikan motivasi kepada karyawan agar lebih efektif dan efisien dalam  mengelola operasi organisasi.  

d. Menyediakan dasar bagi distribusi penghargaan.  

e. Menyediakan evaluasi program, kriteria seleksi pelatihan karyawan dan  mengidentifikasi pengembangan dan kebutuhan pelatihan.   

3. Tujuan Kinerja Keuangan Menurut Munawir (2012) tujuan dari kinerja keuangan adalah sebagai berikut: 

a. Mengetahui tingkat likuiditas  Likuiditas_dapat memberikan_kemampuan Perusahaan_dalam meningkatkan_dan memenuhi kewajiban keuangan_yang harus segera_dibayarkan dalam_kurun waktu yang telah_ditentukan.  

b. Mengetahui tingkat solvabilitas Solvabilitas dapat memberikan kemampuan suatu Perusahaan untuk  memenuhi kewajiban keuangan jangka pendek maupun jangka panjang setelah Perusahaan tersebut dilikuidasi.  

c. Mengetahui tingkat rentabilitas Rentabilitas atau profitabilitas dapat memberitahukan kemampuan  Perusahaan dalam memperoleh keuntungan selama tahun-tahun tertentu.

d. Mengetahui tingkat stabilitas  Stabilitas dari suatu Perusahaan adalah dapat memberikan kemampuan untuk melakukan kinerja dengan stabil dan diukur dengan mempertimbangkan Perusahaan dalam membayar beban bunga atas hutang dan membayar hutangnya dengan periode yang telah ditentukan.   

 

C. Laporan Keuangan  

Laporan Keuangan Perusahaan merupakan tahap akhir dalam proses  pencatatan transaksi keuangan yang dapat memberikan informasi tentang  konsisi keuangan dalam bentuk suatu periode tertentu sebagai gambaran  untuk menunjukkan kinerja dari suatu Perusahaan. Laporan keuangan sangat  penting bagi pihak manajemen dan pemilik Perusahaan, karena mencakup  informasi yang dapat memberikan arah kebijakan dari suatu Perusahaan.  

1. Prosedur Analisis Laporan Keuangan  Menurut Prastowo (2002) ada beberapa langkah yang ditempuh dalam  tahapan analisis laporan keuangan. Berikut ini adalah langkah-langkah yang  ditempuh pada saat menganalisis laporan keuangan :  

a. Memahami latar belakang data keuangan Perusahaan  Pemahaman laporan keuangan sangat penting sebelum kita melakukan analisis laporan keuangan. Dalam tahapan awal ini, pemahaman yang dimaksud adalah mempelajari hal-hal umum ataupun data-data secara umum yang biasa terdapat dalam laporan keuangan.  

b. Memahami kondisi-kondisi yang berpengaruh pada Perusahaan yang berpengaruh terhadap Perusahaan perlu juga untuk informasi mengenai tren (kecenderungan) usaha dimana badan usaha tersebut beroperasi, perubahan pasar, perubahan tingkat bunga, perubahan pendapatan dan perubahan yang terjadi dalam badan usaha itu sendiri.  

c. Mempelajari dan Review laporan keuangan Kedua langkah pertama akan memberikan gambaran mengenai karakteristik (profil) Perusahaan. Sebelum teknik analisis diaplikasikan, perlu direview laporan keuangan secara menyeluruh. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk membandingkan apakah laporan keuangan tersebut benar dan sesuai dengan standar akuntansi keuangan.  

d. Menganalisis laporan keuangan Setelah memahami profil Perusahaan dan mereview laporan keuangan, maka dengan menggunakan berbagai metode dan teknik analisis yang ada dapat menganalisis laporan keuangan dan mengimplementasikan hasil analisis tersebut.   

2. Tujuan Analisis Laporan Keuangan  Adapun tujuan dari analisis laporan keuangan menurut Bernstein (1998)  adalah sebagai berikut:  

a. Sebagai alat screening awal dalam memilih kemungkinan investasi atau marger.  

b. Sebagai alat forecasting memprediksi kondisi dan kinerja keuangan dimasa mendatang.  

c. Sebagai proses diagnosis.

d. Sebagai alat evaluasi dimaksud untuk menilai prestasi manajemen  operasi, efisiensi, dan lain-lain.   

3. Metode dan Teknik Analisis Laporan Keuangan  Menurut Praswoto (2008) metode analisis laporan keuangan dapat  digolongkan menjadi dua golongan yaitu :  

a. Analisis Horizontal merupakan analisis dengan mengadakan perbandingan laporan keuangan untuk beberapa periode atau beberapa  saat, sehingga dapat diketahui perkembangan. Metode ini disebut juga analisis dinamis.  

b. Analisis Vertikal merupakan suatu laporan keuangan yang dinamis hanya meliputi satu periode atau satu saat saja. Dengan cara memperbandingkan antara pos yang satu dengan pos yang lainnya dalam laporan keuangan tersebut sehingga hanya akan diketahui keadaan keuangan pada saat ini saja. Metode ini disebut juga metode statis.  

Teknik analisis laporan keuangan sebagai penjabaran dari metode  analisis laporan keuangan, analisis trend (index), analisis sumber dan  penggunaan dana, analisis perubahan laba kotor. Sedangkan dalam metode  analisis vertikal, teknik analisis yang termasuk pada metode ini antara seain  teknikanalisis presentase per komponen (common size), analisis rasio dan  analisis impas.  Sedangkan pengertian dari beberapa teknik analisis laporan keuangan  diatas menurut Munawir (2012) adalah sebagai berikut:  

a. Perbandingan laporan keuangan. Metode ini dimaksudkan untuk membandingkan laporan keuangan dari Perusahaan yang sama.  

b. Trend, tujuannya adalah untuk mengetahui keadaan keuangan Perusahaan sehingga diperoleh gambaran tentang perkembangan akan tetap naik atau turun.  

c. Common Size Statement, dalam metode ini digunakan untuk mengetahui presentase masing-masing aktiva terhadap total aktiva, juga untuk mengetahui struktur permodalan dan komposisi biaya yang terjadi dihubungkan dengan jumlah penjualannya  

d. Analisis sumber dan penggunaan modal kerja merupakan suatu analisis untuk mengetahui sumber-sumber serta penggunaan modal kerja atau untuk mengetahui sebab-sebab berubahnya modal kerja dalam periode tertentu.  

e. Analisis sumber dan penggunaan kas merupakan suatu analisis untuk mengetahui sebab-sebab berubahnya jumlah uang kas atau untuk mengetahui sumber-sumber serta penggunaan kas selama periode tertentu.  

f. Analisis ratio merupakan suatu metode analisis untuk mengetahui hubungan dari pos-pos tertentu dalam neraca atau laporan laba rugi secara individu atau kombinasi dari kedua laporan tersebut.  

g. Analisis perubahan laba kotor merupakan suatu analisis untuk mengetahui sebab-sebab perubahan dari periode-periode yang lain atau perubahan laba kotor satu periode dengan laba yang di budgetkan untuk periode tersebut.  

h. Analisis break even merupakan suatu analisis untuk menentukan tingkat penjualan yang harus dicapai oleh suatu Perusahaan agar Perusahaan tersebut tidak mengalami kerugian, tetapi juga belum memperoleh keuntungan. Dengan demikian analisis break even ini juga akan diketahui berbagai tingkat penjualan.   

4. Jenis Laporan Keuangan dan Bentuk Laporan Keuangan  Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) (2009) jenis-jenis laporan  keuangan diantaranya meliputi: neraca merupakan bentuk laporan keuangan  yang sistematis tentang aktiva yaitu harta yang dimiliki oleh Perusahaan,  hutang merupakan kewajiban kepada Perusahaan lain yang belum di penuhi  serta modal yaitu bagian yang dimiliki oleh Perusahaan yang dapat  menunjukkan keadaan keuangan Perusahaan pada waktu tertentu.  

a. laporan laba rugi merupakan suatu laporan yang menunjukkan pendapatan dan biaya dari suatu unit usaha beserta laba rugi yang diperoleh oleh suatu Perusahaan dalam periode tertentu.  

b. Laporan arus kas merupakan laporan yang bertujuan untuk menyajikan informasi relevan tentang pemasukan dan pengeluaran kas suatu Perusahaan selama periode tertentu.  

c. Laporan perubahan posisi keuangan merupakan suatu laporan yang berguna untuk meringkas kegiatan-kegiatan pembelajaran dan investasi yang dilakukan oleh Perusahaan, termasuk dalam dana yang dihasilkan dari kegiatan usaha Perusahaan dalam tahun buku bersangkutan serta melengkapi penjelasan tentang perubahan-perubahan dalam posisi keuangan selama tahun buku bersangkutan.  

d. Catatan atas laporan keuangan meliputi penjelasan atas rincian jumlah yang tertera dalam neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas dan laporan perubahan ekuitas.      

 

D. Analisis Rasio Keuangan  

Menurut Munawir (2012) Analisis rasio keuangan adalah laporan  laba/rugi dengan neraca yang menghubungkan satu dengan yang lainnya,  dengan memberikan suatu penjelasan dan gambaran kepada pelaku analisa  tentang posisi keuangan Perusahaan serta penilaian apakah memiliki rapor yang  baik/buruk terutama angka rasio terhadap keadaan suatu Perusahaan tertentu.  Analisis rasio keuangan memungkinkan manajer keuangan memprediksi para  calon dan juga kreditor serta dapat ditempuh untuk memperoleh tambahan  dana. Tujuannya adalah untuk menentukan efisiensi kinerja dari manajer  Perusahaan dengan pencatatan keuangan dan laporan keuangan. Manfaatnya  tidak hanya bagi kepentingan Perusahaan itu sendiri namun juga pihak luar.  Seperti halnya membantu manajemen untuk membuat evaluasi mengenai hasil- hasil, menghindari keadaan yang dapt menyebabkan kesulitan keuangan, dan  memperbaiki jika ada kesalahan. Rasio dapat dikelompokkan menjadi lima  kategori, antara lain :  

1. Rasio Solvabilitas (Laverage Ratio)  Rasio Solvabilitas adalah rasio yang dapat digunakan untuk mengukur  sejauh mana aktiva suatu Perusahaan dibiayai dengan utang atau mengukur  kemampuan Perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjang . Rasio  Solvabilitas digunakan untuk mengukur berapa besar beban utang dibanding  aktivanya yang harus ditanggung Perusahaan. Beberapa rasio Solvabilitas  menurut Kasmir (2016) antara lain :  

a. Rasio Hutang (Dept Ratio) Rasio hutang menghitung kemampuan Perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka panjangnya.  Rasio Hutang = Total Hutang    Total Aktiva    

b. Times Interest Earned (TIE)  Rasio ini menghitung seberapa besar laba sebelum bunga dan pajak yang tersedia untuk menutupi beban bunga. Rasio yang tinggi bisa menunjukkan posisi yang “aman” meskipun terlalu rendahnya penggunaan hutang Perusahaan. Namun, jika rasio rendah maka harus ada perbaikan dari pihak manajemen.  TIE = Laba Operasi Beban Bunga Pertahanan    

c. Rasio kewajiban terhadap modal (Dept to Equity ratio)  Rasio ini merupakan rasio hutang terhadap ekuitas atau biasa disebut rasio hutang modal. Ekuitas dan jumlah hutang yang digunakan untuk operasional Perusahaan harus berada dalam jumlah yang proposional. Dept to Equity Ratio disingkat DER menunjukkan kemampuan suatu Perusahaan dalam memenuhi total kewajiabannya dengan menggunakan modal sendiri.  DER = Total Hutang Ekuitas(Modal sendiri)    

2. Rasio Likuiditas atau Liquidity Ratio  Rasio Likuitas adalah rasio yang menggambarkan kemampuan Perusahaan  dalam memenuhi kewajibannya yang akan jatuh tempo. Rasio ini mengukur  kemampuan dari suatu Perusahaan dengan cara melihat aktiva lancar relatif  terhadap hutang lancarnya. Rasio Likuiditas yang sering digunakan menurut  Kasmir (2016) antara lain:  

a. Rasio Lancar (Cirrent Ratio) Rasio lancar adalah ukuran yang sering digunakan dalam suatu  Perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya karena dapat menunjukkan seberapa jauh aktiva yang dipenuhi dari jangka pendek atas tuntutan kreditor, yang diperkirakan menjadi keuntungan dalam periode  yang sama dengan jatuh tempo. Rasio ini dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan utang lancar.  𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 = Aktiva Lancar    Utang Lancar   

b. Rasio Cepat (Quick Ratio) Rasio cepat adalah alat ukur untuk mengukur tingkat likuiditas dari  suatu Perusahaan dalam tingkatan yang lebih akurat. Rasio ini dihitung dengan menguragi persediaan dari aktiva lancar kemudian membagi hasilnya dengan utang lancar.  𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐶𝑒𝑝𝑎𝑡 = Aktiva Lancar - Persediaan Utang Lancar   

3. Rasio Aktivitas atau Activity Ratio  Rasio Aktivitas adalah rasio yang digunakan untuk menilai kemampuan  Perusahaan dan mengukur tingkat efisiensi Perusahaan dalam mengelola. Rasio  aktivitas dapat diukur dengan enam rasio menurut Ibid (2017) Antara lain :  

a. Perputaran Piutang Perputaran piutang adalah efektifitas dalam mengelola piutang,  sehingga semakin cepat perputarannya berarti semakin efektif piutang Perusahaan dalam mengelolanya. Perputaran piutang dapat digunakan untuk mengghitung berapa kali dalam satu tahun. Posisi piutang dan taksiran waktu pengumpulannya dapat dinilai dengan menghitung tingkat perputaran piutangnya dengan membagi total penjualan kredit dengan piutang rata-rata.  Perputaran Piutang = Penjualan Kredit Piutang Rata - rata    

b. Perputaran Aktiva  PerputaranAktiva adalah ukuran efektifitas pemanfaatan total aktiva dalam menghasilkan penjualan. Cara perputaran dilihat dari semua aktiva atau aset Perusahaan dihitung dengan membagi penjualan dengan aktiva.  Perputaran Aktiva = Penjualan Total Aktiva    

c. Perputaran Aktiva Tetap (Fixed assets turnover)  Menurut munawir (2012) menyatakan bahwa perputaran aktiva tetap, yaitu antara penjualan denganaktiva tetap. Biasanya digunakan untuk mengukur penggunaan aktivitas tetap sebagai sarana untuk mendapatkan penghasilan dan barang yang dijual.  Perputaran Aktiva Tetap = Penjualan    Aktiva Tetap    

d. Perputaran Persediaan (Inventory Turnover)  perputaran persediaan adalah rasio yang digunakan untuk mengukur berapa kali perputaran dalam satu periode dana yang ditanam dalam persediaan.  Perputaran Persediaan = Harga Pokok Penjualan Rata - rata Persediaan    

e. Rasio Perputaran modal kerja  Rasio Perputaran modal kerja adalah perbandingan dari penjualan dan modal kerja bersih. Modal kerja bersih merupakan aktiva lancar dikurangi utang lancar. Rumus dari perputaran modal kerja, sebagai berikut:  𝑃𝑒𝑟𝑝𝑢𝑡𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 𝐾 = Penjualan Modal Kerja Bersih = Penjualan Aktiva Lancar - Utang Lancar  

f. Rata-rata umur piutang  Rata-rata umur piutang dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah piutang dengan penjualan perhari. Rumus dari Rata-rata umur piutang adalah sebagai berikut: 𝐷𝑎𝑦, 𝑠 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 𝑂𝑢𝑡𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 = Piutang Penjuaan 360 h𝑎𝑟𝑖  

4. Rasio Profitabilitas atau Profitability Ratio  Rasio Profitabilitas adalah kemampuan suatu Perusahaan untuk  mendapatkan profit atau laba dari pendapatan terkait penjualan, aset dan ekuitas  berdasarkan pengukuran. Ada tiga Rasio menurut Ibid (2017), antara lain :  

a. Margin Laba Kotor (Gross Profit Margin) Margin Laba Kotor adalah rasio yang digunakan untuk mengukur  persentase laba kotor terhadap pendapatan dari penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan (HPP) dengan tingkat penjualan. Rumusnya adalah sebagai berikut:  Margin Laba Kotor= Laba kotor Penjualan Bersih

b. Return On Total Asset (ROA)  Rasio ini untuk mengukur kemampuan suatu Perusahaan dalam menghasilkan laba bersih dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan (netto). ROA juga sering disebut ROI (Return On Investment). Rumus ROA adalah sebagai berikut:  ROA= Laba Sebelum Pajak Total Aktiva

c. Pengembalian atas ekuitas atau Return On Total Equity (ROE)  Rasio ini digunakan oleh Perusahaan untuk mengukur kemampuan menghasilkan laba berdasarkan modal saham tertentu. Biasanya diukur dari sudut pandang pemegang saham, baik saham biasa maupun saham preferen.  ROE= Laba Setelah Pajak Ekuitas Pemegang Saham    

d. Margin Laba Bersih (Net Profit margin)  Rasio ini merupakan kemampuan suatu Perusahaan untuk menekan biayabiaya pada periode  tertentu, dapat dihitung dari laba bersih pada tingkat penjualan Perusahaan dan bisa dilihat pada analisis Common-size pada laporan laba rugi.  Margin Laba Bersih = Laba Setelah Pajak Penjualan Bersih    

5. Rasio Penilaian Pasar  Rasio penilaian pasar merupakan rasio yang mahal murahnya suatu saham  yang digunakan para investor dalam mencari potensi keuntungan dividen  sebelum penanaman modal berupa saham. Rasio ini mampu memberi  pemahaman bagi pihak manajemen Perusahaan terharap kondisi penerapan  yang akan dilaksanakan dan dampaknya pada masa yang akan datang. Rasio  penilaian pasar yang umum digunakan adalah :  

a) Rasio harga pasar terhadap nilai buku (market to book ratio) Rasio harga terhadap nilai buku = Harga per saham Niai buku per saham

b) Rasio harga pasar terhadap arus kas Rasio harga terharap arus kas =    Harga per saham Arus kas per saham  

c) Rasio harga terhadap laba atau (Price to Earnings Ratio) PER  Rasio harga per saham terhadap laba per saham Rasio Harga terhadap laba = Harga per saham Laba per saham  

 

E. Financial Distress  

Kegiatan operasional Perusahaan tidak selalu berjalan sesuai rencana.  Ada beberapa Perusahaan mungkin akan mengalami financial distress atau  kesulitan keuangan contoh kecil tidak bisa menggaji karyawannya, bunga utang  bertambah. Jika kesulitan ringan tidak segera teratasi dan tidak diselesaikan  dengan benar, maka kesulitan kecil bisa menjadi besar yang berakibat  kebangkrutan. Hapsari (2012) Financial distress merupakan keadaan dimana  suatu Perusahaan tidak mewadahi untuk melunasi kewajiban lancar (seperti  halnya hutang dagang atau beban bunga) sedangkan Perusahaan harus  melakukan sebuah perbaikan. Pada kondisi seperti ini kegagalan suatu  perusahan dapat digolongkan menjadi empat istilah menurut Altman dalam  Patunrui dan Yati (2017) :  

1) Legal Bankruptcy Sebuah Perusahaan belum dikatakan bangkrut ataupun pailit secara hukum, sebelum Perusahaan yang bersangkutan dinyatakan bangkrut oleh putusan pengadilan.  

2) Insolvency  Insolvency dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu

a) technical Insolvency merupakan suatu kondisi Perusahaan yang gagal dalam memenuhi kewajiban jatuh tempo yang ditentukan walaupun total aktivanya melebihi total hutangnya dan

b) Insolvency in Bankruptcy Sense merupakan suatu kondisi Perusahaan bila kekayaan bersih negatif dalam  nilai sekarang atau neraca konvensional dan arus kas yang diharapkan lebih kecil hari hutangnya.  

3) Kegagalan Ekonomi (Economic Distressed) Economic Failure yaitu suatu kondisi dimana Perusahaan kehilangan pendapatan atau uang yang berakibat tidak mampu menutupi biayanya sendiri, dapat dikatakan nilai sekarang dari arus kas Perusahaan lebih kecil dari kewajiban atau tingkat laba lebih kecil dari biaya modal. Kegagalan terjadi karena arus kas perbandingannya sangat jauh dengan arus kas yang diharapkan Perusahaan.  

4) Kegagalan Keuangan (Business Distressed)  Business Failure adalah suatu kondisi dimana ketika bisnis sudah tidak lagi menguntungkan dalam beroperasi dan bisa mengarah kepada penutupan bisnis tersebut. Perusahaan tidak dapat menghasilkan uang karena pendapatan tidak bida menutupi biaya.  

Menurut Fachrudin (2008) ada 3 alasan Perusahaan mengalami Financial Distress diantaranya adalah:  

1) Neoclassical model  Dalam teori model neo klasik ini financial distress bisa saja terjadi jika dalam suatu Perusahaan alokasi sumber dayanya tidak tepat, sehingga manajemen kurang dalam mengelola aset untuk kegiatan operasional Perusahaan.  

2) Financial model Sistem keuangan dalam model ini terkendala pada likuiditas struktur keuangan, namun pada percampuran asetnya baik. Hal ini dikarenakan bahwa Perusahaan mampu bertahan dalam jangka panjang akan tetapi harus menanggung resiko bangkrut dalam jangka pendek.  

3) Corporate governance model Pada model tata kelola Perusahaan ini kebangkrutan memiliki percampuran antara struktur keuangan dan aset yang benar akan tetapi dikelola dengan buruk. Ketidak efisienan ini mendorong suatu Perusahaan menjadi keluar dari pasar sebagai konsekuensinya dan mengakibatkan masalah dalam tata kelola Perusahaan yang tidak dapat dipecahkan penyelesaiannya.   

1. Manfaat dari melakukan prediksi Financial Distress  Prediksi dalam menganalisis potensi Financial distress sangat penting  bagi banyak pihak, karena dapat mengetahui sejauh mana tingkat kondisi  keuangan bagi suatu Perusahaan dalam beberapa periode tertentu apakah  meningkat atau menurun. Pihak-pihak seperti investor dan kreditur dapat  mengambil keputusan dalam memberikan dana serta untuk pemilik dapat  memperbaiki keadaan jika kurang stabil keuangannya agar terhindar dari  kebangkrutan. ada berbagai metode-metode yang dapat menghitung potensi  financial distress. menurut Almilia (2006) ada berbagai pihak yang dapat  memprediksi atas kemungkinan terjadinya financial distress diantaranya :  

a. Memprediksi financial distress dalam periode tertentu dapat membantu investor untuk memutuskan investasi pada suatu Perusahaan.  

b. Bagi kreditur dapat menentukan sebuah kebijakan sebelum memberikan pinjaman kepada Perusahaan. Selain itu, digunakan untuk menilai kemungkinan masalah yang terjadi dalam Perusahaan untuk melakukan pembayaran kembali pokok dan bunga.  

c. Bagi pemerintah, prediksi ini sangat penting untuk melakukan peraturan antimonopoli.  

d. Bagi manajemen harus mengambil tindakan untuk dapat mengatasi keuangan yang terjadi dan mencegah kebangkrutan Perusahaan, karena jika suatu Perusahaan mengalami kebangkrutan,maka dampaknya adalah Perusahaan akan menanggung biaya langsung (pengacara dan fee akuntan) dan biaya tidak langsung (kerugiaan paksaan akibat tuntutan pengadilan dan kerugian penjualan).  

e. Badan regulator atau pembuat keputusan mengawasi kesanggupan dalam membayar hutang dan menstabilkan perushaan individu dan harus mempunyai tanggungjawab. Hal ini menyebabkan pihak pembuat keputusan perlu untuk mengetahui kesanggupan Perusahaan dalam menilai stabilitas Perusahaan dan membayar hutang.   

 

F. Kebangkrutan

Kebangkrutan atau yang biasa dikenal dengan sebutan Pailit. Menurut  UU no.37 Tahun 2004 pasal 1 ayat 1 kepailitan merupakan sita umum atas  semua kekayaan debitor yang pemberesan dan kepengurusannya dibawah  pengawasan hakim. Jadi apabila kreditor menagih setidaknya dua atau lebih  para debitur tidak membayar utang yang sudah jatuh tempo, maka para kreditor  berhak menagih dan dapat dinyatakan pailit atas putusan pengadilan. Baik atas  permohonan kreditor maupun permohonan sendiri. Berdasarkan pengertian  diatas maka bangkrut atau pailit merupakan habisnya seluruh aset dan sama  sekali tidak dapat membayar hutang-hutangnya. Menurut mamduh (2014)  Perusahaan yang terus menerus mengalami kerugian hinga tidak memiliki aset  untuk menutupi hutang-hutangnya.  

1. Faktor-faktor penyebab Kebangkrutan  Menurut Darsono (2005) penyebab dari Kebangkrutan dapat digolongkan  menjadi dua yaitu faktor Internal dan Eksternal. Faktor_Internal  merupakan_faktor yang berasal_dari dalam Perusahaan_itu sendiri  seperti_pengelolaan manajemen. Sedangkan faktor eksternal  merupakan^faktor dari luar^yang berhubungan^dengan perekonomian  secara^makro atau faktor^operasi perusaahan. Faktor-faktor internal^yang  menyebabkan kebangkrutan antara lain :  

a. Ketidakseimbangan antara modal yang dimiliki dengan hutang-piutang.  Jika Hutang suatu Perusahaan lebih besar maka akan mengakibatkan  banyaknya biaya bunga yang memperkecil laba sehingga bisa berakibat  kerugian.  

b. Adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak manajemen Perusahaan,  misalnya melakukan korupsi atau memberikan sebuah informasi yang salah  pada investor atau para pemegang saham.  

c. Manajemen yang tidak konsisten juga berakibat pada kerugian Perusahaan,  seperti kurangnya keahlian dan ketrampilan dalam bekerja, pemborosan  dalam pengeluaran biaya. Akhirnya menyebabkan Perusahaan tidak dapat  membayar kewajiban.  Sedangkan faktor eksternalnya yang tidak berhubungan langsung dengan  Perusahaan antara lain persaingan global, kondisi perekomoniamn secara  makro. Sedangkan faktor eksternal yang masih berhubungan langsung dengan  Perusahaan antara lain supplier, kreditor, debitor, pelanggan, pemerintah  maupun pesaing. Faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangrutan  meliputi :  

a. Supplier tidak dapat menyediakan kebutuhan bahan baku sehingga dapat  menghambat kebutuhan produksi. Untuk meminimalisir hal tersebut  Perusahaan tidak hanya bergantung pada satu supplier akan tetapi harus  menjalin hubungan baik dengan pemasok lain sehingga resiko kekurangan  bahan baku segera teratasi.  

b. Kekurangan dana dari pelanggan yang tidak diantisipasi oleh suatu  Perusahaan berakibat penurunan dalam pendapatan dan pelanggan lari dari  tanggungjawab pelunasan. Untuk mengatasi hal tersebut Perusahaan harus  meminta sebuah jaminan kepada pelanggan, akan tetapi Perusahaan harus  menciptakan sebuah produk yang sesuai.  

c. Debitor harus diantisipasi agar tidak melakukan kecurangan dalam hutang  piutang. Karena terlalu banyak piutang yang diberikan debitor dengan  jangka waktu pengembalian yang lama, maka berakibat banyak aktiva  menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga mengakibatkan  kerugian yang cukup besar bagi Perusahaan. Untuk mengantisipasi dari  kejadian tersebut, maka Perusahaan harus memonitor piutang yang dimiliki  supaya bisa melakukan perlindungan dini terhadap aktiva Perusahaan.  

d. Hubungan kreditor dengan Perusahaan yang tidak harmonis juga bisa  merusak kelangsungan hidup Perusahaan, karena dalam UUD no.4 Tahun  1998 Perusahaan bisa dipailitkan oleh pihak kreditor, Perusahaan bisa  mengantisipasi dengan pengelolaan hutang yang baik dan tetap membina  hubungan yang akrab dengan kreditor.  

e. Perusahaan harus mempu bersaing secara ketat, agar selalu memperbaiki  diri dengan memenuhi kebutuhan pelanggan dengan kualitas yang baik,  memperbaiki produk yang dihasilkan akan menjadi nilai tambah bagi  Perusahaan tersebut.  

f. Perkembangan perekonomian global juga harus diantisipasi oeh  Perusahaan, karena semakin terpadunya dengan persaingan perekonomian  dari negara-negara lain.  Berdasarkan teori yang dipaparkan diatas, maka faktor penyebab  kebangkrutan yang dialami oleh sebuah Perusahaan dengan kondisi keuangan  yang tidak sehat, baik itu faktor internal, eksternal ataupun faktor ekonomi.  

2. Metode analisis kebangkrutan  

a. Model Altman Z-Score  Menurut Hanafi dan Halim (2005) Analisis Model Altman Z-Score  merupakan model prediksi kebangkrutan yang sudah dikembangkan di  berbagai negara diantaranya Jepang, Swiss, Brasil, Inggris, Amerika  Serikat, Jerman, Kanada, Perancis, Irlandia, dan Belanda Pada Tahun  (1983-1984) Alman melakukan model-model Survei tersebut.

Berikut  Rumus Model Altman Z-Score antara Lain :  

Z = 1,2X1  + 1,4X2  + 3,3 X3 + 0,6 X4  + 1,0 X5  Dimana :  X1 = WCTA (Working Capital to Total Assets) Modal Kerja terhadap Total  Aset.  Rasio pada X1 dihitung dengan membagi modal kerja bersih dengan  total asetnya. Modal kerja didapatkan dengan cara aset lancar (aktiva  lancar) dikurangi liabilitas jangka pendek (kewajiban lancar).

Kesimpulan  dari penjabaran diatas adalah rasio ini digunakan untuk mengukur modal  kerja terhadap total seluruh aset pada Perusahaan yang dimilikinya.  

X2 = RETA (Retained Earning to Total Assets) Laba Ditahan terhadap  Total aset.  Rasio pada X2 dihitung dengan membagi laba tahun berjalan (laba  ditahan) dengan total aset (total aktiva) Perusahaan.

Laba tahun berjalan  adalah laba yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham. Kondisi  tidak sehat jika perhitungan rasio ini semakin kecil dan sangat berpengaruh  dalam kondisi keuangan perusahan. tetapi apabila rasio ini semakin besar,  maka peranan laba tahun berjalan dalam membentuk keuangan Perusahaan.  

X3 = EBITTA (Earning Before Interest and Taxes to Total Assets) Laba  usaha terhadap Total Aset.  Rasio pada X3 dihitung dari laba usaha (laba sebelum bunga dan pajak)  dibagi dengan total aset (total aktiva) didapatkan dari neraca Perusahaan.  

Rasio ini menunjukkan bagaimana Perusahaan mendapatkan keuntungan  sebelum bunga dan pajak dalam mengelola total asetnya.  

X4 = MVEBVL (Market Value of Equity to Book Value of Liabilities)  Ekuitas terhadap Liabilitas  Rasio pada X4 dihitung dengan cara membagi ekuitas (nilai pasar  sendiri) dengan total liabilitas. Rasio ini menunjukkan nilai buku ekuitas  untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dari suatu Perusahaan.

Nilai buku  dari hutang didapatkan dari penjumlahan liabilitas jangka pendek  (kewajiban lancar) dengan liabilitas jangka panjang (kewajiban jangka  panjang).  

X5 = STA (Sales to Total Assets) Penjualan terhadap Total Aset.  Rasio pada X5 dihitung dari sales atau penjualan yang dibagi dengan  total aset (total aktiva).  

Berdasarkan Rumus keterangan diatas bahwa penilaiannya adalah sebagai berikut:  

1) Jika Total keseluruhan Z-Score kurang dari 1,81 maka dapat  dikategorikan bahwa Perusahaan tersebut memiliki tingkat kesulitan  keuangan yang beresiko tinggi sehingga besar kemungkinan terhadap  potensi kebangkrutan.  

2) Jika total keseluruhan Z-Score diantara 1,81 sampai 2,99 maka dapat  dikategorikan bahwa Perusahaan tersebut berada didaerah abu-abu  (Grey area) pada titik rawan memiliki kesulitan keuangan, Namun  kemungkinan dapat dikatakan bangkrut dan kemungkinan dapat  diselamatkan dari ancaman potensi kebangkrutan. sehingga manajemen  harus lebih hati-hati dalam mengelola aset Perusahaan agar tidak  berpotensi bangkrut.  

3) Jika total keseluruhan Z-Score lebih dari 2,99 maka dapat dikategorikan  bahwa Perusahaan tersebut memiliki kondisi keuangan yang sehat dan  tidak mempunyai masalah dalam hal keuangan (non-bankrupt company).  

b. Model Zmijewski X-Score  Model X-Score yang ditemukan oleh Zmijewski pada tahun 1983  adalah riset yang diteliti selama 20 tahun dan dikaji ulang. Model ini  menggunakan analisis rasio Leverage, Likuiditas dan mengukur kinerja dari  suatu Perusahaan.

Rumusnya dihasilkan sebagai berikut:  

X = -4,3 -4,5X1  +5,7X2     -0,004X3  Yang mana :  X1  = ROA (Return on Assets) atau Net Income / Total Assets = Laba  Bersih terhadap total aset  X2  = Leverage (Dept Ratio) atau Total Liabilitas terhadap total aset  X3 =  Likuiditas (Current Ratio) atau Aset Lancar terhadap Kewajiban  Lancar.  

Berdasarkan keterangan rumus diatas jika skor yang didapatkan dari suatu Perusahaan dengan model Zmijewski X-Score kurang dari 0 maka  Perusahaan diprediksi tidak berpotensi mengalami kebangkrutan. Sebaliknya, jika suatu Perusahaan memiliki skor melebihi 0 maka Perusahaan tersebut diprediksi mengalami kebangkrutan.  

c. Model Grover  Model Grover adalah model yang dikaji dalam penilaian ulang dan  diciptakan untuk pendesainan baru terhadap model Altman Z-Score pada  tahun 1968. Dalam model Grover menambahkan 13 rasio-rasio keuangan  lain. Jeffrey S. Grover (2001) menggunakan 70 sampel Perusahaan dengan  Perusahaan yang tidak bangkrut dan Perusahaan yang bangkrut pada  tahun 1982 sampai 1996.  

Menghasilkan rumus-rumus sebagai berikut:

G Score = 1,650X1  + 3,404X2     - 0,016X3  + 0,057  

Keterangan :  

X1 = Working capital / total assets  

X2 = Earning before interest and taxes / total assets  

X3 = ROA (net income/total assets)  

Pada model Grover mengkategorikan suatu Perusahaan jika tidak  mengalami kebangkrutan maka hasil dari perhitungan lebih atau sama  dengan 0,01. Sedangkan Perusahaan yang dikategorikan mengalami  kebangkrutan jika skor kurang dari atau sama dengan -0,02.  

d. Model Flumer  Flumer (1984) dalam analisis kebangkrutannya menggunakan analisis  step wise multiple discriminant menggunakan 70 sampel Perusahaan  dengan 30 tidak mengalami kebangkrutan dan 30 mengalami kebangkrutan.  

Dalam model Flumer mengevauasi 40 rasio keuangan yang dilakukan  menghasilkan rumus-rumus sebagai berikut:  

H-Score = 5,52X11 + 0,212X21 + 0,073X31 + 1,27X41 – 0,12X51 +2,335X1   + 0,575X7  + 1,082X81 + 0,894X91  – 6,0751  

Keterangan :  

X1 = Retained_Earning_ / Total_ Assets1   

X2 = Revenue / Total_Assets.  

X3 = EBT / Total_Equity.    

X4 = Cash_Flow_from_Operation_/ Total_Liabilities.  

X5 = Total_Liabilities_/ Total_Equity.  

X6 = Current_Liabilities_ / Total_Assets.  

X7 = Log_(Fixed Assets).  

X8 = Working_ Capital_/ Total_Liabilities.  

X9 = Log_EBIT_/ Interest_Expense.  

Pada model Flumer mengkategorikan suatu Perusahaan jika tidak  mengalami kebangkrutan maka hasil dari analisisnya adalah H › 0. Sedangkan Perusahaan yang dikategorikan mengalami kebangkrutan jika  skor kurang dari 0.  

e. Model Springate  Springate (1978) menggunakan metode yang sama dengan Altman Z- Score yaitu Multiple Discriminant Analysis (MDA) dengan mengumpulkan  rasio rasio keuangan yang popular yang dapat digunakan untuk  memprediksi kebangkrutan. jumlah keseluruhan rasio awalnya yaitu 19  kemudian setelah diuji springate memilih 4 rasio yang dipercaya dapat  membedakan antara Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan atau  tidak mengalami kesulitan keuangan. Sampel yang digunakan springate  berjumlah 40 Perusahaan dengan rumus sebagai berikut:  

S = 1,03 X1 + 3,07 X2 + 0,66 X3 + 0,40 X4  

Dimana :  

X1 = Working capital to assets  

X2 = Net profit before interest and taxes to total assets  

X3 = Net profit before taxes to current liability  

X4 = Saes to total assets  

Pada model Springate mengkategorikan suatu Perusahaan jika tidak  mengalami kebangkrutan maka hasil dari analisisnya adalah S > 0,862.  Sedangkan Perusahaan yang dikategorikan mengalami kebangkrutan jika S  < 0,862.  

f. Model Ohlson Y-Score  Ohlson (1980) analisis kebangkrutannya menggunakan analisis logistik  menggunakan 1163 sampel Perusahaan dengan 105 tidak mengalami  kebangkrutan dan 2058 mengalami kebangkrutan. dalam model Ohlson mengevauasi 9 rasio keuangan yang dilakukan menghasilkan rumus-rumus  sebagai berikut:  

O = -1,32 – 0,407 X1 + 6,03 X2 – 1,43 X3 + 0,0757 X4 – 2,37 X5 – 1,83  X6 + 0,285 X7 – 1,72 X8 – 0,521 X9  

Keterangan :  

X1 = LTAGNP_(log Total Assets / GNP indeks tingkat harga)  

X2 = TLTA (Total liabilitas / Total Assets)  

X3 = WCTA (Working Capital /Total Assets)  

X4 = Current liabilitas / Current Assets  

X5 = (1) jika total kewajiban melebihi total aset ; (0) jika yang lainnya  

X6 = Laba bersih / Total aset  

X7 = Dana yang tersedia dari kegiatan operasi / total hutang  

X8 = (1) Jika laba bersih adalah negatif untuk dua tahun terakhir; (0) jika  yang lainnya  

X9 = Ukuran atas perubahan pada laba bersih

Berdasarkan nilai akhir pada model Ohlson maka profitabilitas dilihat  dari 0 dan 1 mengkategorikan suatu Perusahaan jika tidak mengalami  kebangkrutan maka hasil dari analisisnya adalah skor Ohlson < 0. Sedangkan  Perusahaan yang dikategorikan mengalami kebangkrutan jika skor Ohson > 0.  

 

G. Penelitian Terdahulu Metode analisis  

Hasil Penelitian  

1. Effendi (2017), Analisis prediksi Kebangkrutan dengan menggunakan Altman, Springate, Zmijewski, Foster dan Grover pada Emiten Jasa Transportasi.  Model Zmijewski XScore, Model Altman ZScore, Model  Springate SScore, Model  Foster dan  Model  Grover  Hasil rata-rata nilai Altman Z-Score selama periode 2012-2016 lima emiten Perusahaan jasa transportasi darat mengalami kondisi tidak sehat dan berpotensi bangkrut karena nilai Z dibawah 2,99. Dengan menggunakan model Springate diindikasikan lima emiten Perusahaan jasa transportasi darat mengalami kondisi keuangan tidak sehat karena nilai rata-rata tidak lebih dari 0,862. Sementara dengan menggunakan model Zmijewski empat Perusahaan berdasarkan nilai rata-ratanya skor yang di dapat kurang dari nol maka Perusahaan dalam kondisi sehat, sedangkan satu perusahaan berpotensi bangkrut karena nilai rata-rata di atas 0. Model Foster  mengindikasikan bahwa ada tiga Perusahaan berpotensi mengalami  kondisi keuangan tidak sehat karena nilai kurang dari 0,640, sementara dua Perusahaan lainnya dalam kondisi sehat dan keuangan Perusahaan stabil. Model Grover mengindikasikan dua Perusahaan berpotensi bangkrut dengan nilai rata-rata dibawah -0,02.  

2. Damayanti (2019) Analisis Perbandingan Model Prediksi Kebangkrutan Altman dan Zmijewski di BEI periode 2011-2015  Model Altman ZScore dan  Zmijewski XScore  Hasil analisis diketahui bahwa periode tiga tahun model Altman mengklasifikasikan 4 Perusahaan berada pada kondisi kesulitan keuangan dan 3 Perusahaan diantaranya kondisi keuangannya sehat, sedangkan model zmijewski mengklasifikasikan 5 Perusahaan pada kondisi kesulitan keuangan dan 2 Perusahaan diantaranya kondisi keuangannya sehat.  

3. Zahroh (2014), Prediksi kebangkrutan Analisis Model Altman pada sub sektor Textile mill product Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia  Model Altman ZScore  Berdasarkan penelitiannya dengan menggunakan metode Altman dengan lima periode berturut-turut dari delapan Perusahaan, ada 6 Perusahaan berpotensi bangkrut, 1 Perusahaan mengalami grey area atau rawan dan 1 Perusahaan diantaranya kondisi keuangannya sehat.  

4. Chairunisa (2015) Analisis Tingkat Kebangkrutan Pada Perusahaan Pertambangan Batubara Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia  Model Zmijewski XScore dan  Altman ZScore  Hasil analisis penelitiannya diketahui bahwa menggunakan metode Altman Z-Score jumlah Perusahaan yang berkategori sehat pada periode 2012-2014 terdapat 2 Perusahaan. Untuk Perusahaan yang mengalami gray area terdapat 2 Perusahaan, dan 13 diantaranya berpotensi bangkrut, Sedangkan analisis menggunakan metode Zmijewski X-Score ada 11 Perusahaan berkategori sehat pada tahun 2012 dan 2013. untuk 6  Perusahaan diantaranya berpotensi bangkrut  

5.  Supriati (2018) Anlisis perbandingan metode altman Zscore,  springgate,Zmijewsky  untuk memprediksi  financialdistress pada  Perusahaan  manufaktur yang  terdafar di bursa efek  Indonesia (BEI)  periode 2015-2017.  

hasil analisis prediksi financial distress pada Perusahaan manufaktur dengan ketiga model tersebut sebagai berikut:

a. Model Springate mengklasifikasikan 44 Perusahaan terindikasi mengalami financial distress, dan 4 Perusahaan tidak terindikasi mengalami financial distress.  

b. Model Zmijewski mengklasifikasikan 16 Perusahaan terindikasi mengalami financial distress, dan 32 Perusahaan tidak terindikasi mengalami financial distress.  

c. Model Altman mengklasifikasikan 33 Perusahaan terindikasi mengalami financial distress, 8 Perusahaan berada pada zona rawan (grey) atau menuju kondisi terindikasi mengalami financial distress, dan 7 Perusahaan tidak terindikasi mengalami financial distress.  

Sumber data Sekunder diolah tahun 2021  

 

H. Kerangka Berfikir  

Analisis kebangkrutan sangat dibutuhkan dalam memprediksi keuangan  Perusahaan. Informasi ini sangat dibutuhkan para investor untuk mengambil  langkah awal para manajemen guna mengantisipasi adanya potensi kesulitan  keuangan dalam suatu Perusahaan yang akan di investasikan. Uraian tersebut  maka dapat dilakukan penelitian untuk kedua motode yaitu Altman Z-Sore dan  Zmijewski X-Score bagaimana hasil perbedaan dari kedua metode tersebut.  Berdasarkan uraian penelitian, maka kerangka pemikiran yang diajukan dalam  penelitian ini dapat menunjukkan melalui Perbedaan hasil dari Altman dan Zmijewski  kebangkrutan  Altman Z-Score Zmijewski X-Score  Berdasarkan gambar kerangka berfikir diatas bahwa untuk menganalisis  tingkat potensi kebangkrutan dari suatu perusahaan peneliti menggunakan dua  metode yakni metode Altman Z-Score dan metode Zmijewski X-Score, dimana  dapat memperbandingkan dari kedua metode tersebut, kemudian dari perbedaan  hasil metode Altman Z-Score dan Zmijewski X-Score akan didapatkan hasil  akurasi yang telah diperoleh.  

 

I. Hipotesis

Menurut Martono (2010) hipotesis merupakan dugaan sementara yang  kebenarannya bersifat praduga dan harus diuji atau rangkuman kesimpulan  secara teoristis yang diperoleh dari tinjauan pustaka. Hipotesis juga memiliki  arti sebagai pernyataan sebuah proposisi yang menyebutkan diantara sejumlah  fakta ada hubungan tertentu. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai  berikut: “Diduga terdapat perbedaan hasil penilaian model Altman Z-Score dan  Zmijewski X-Score dalam memprediksi potensi kebangkrutan pada Perusahaan  semen yang Listing di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2016-2020”.

 

Continue reading ANALISIS POTENSI KEBANGKRUTAN MENGGUNAKAN METODE ALTMAN Z-SCORE DAN ZMIJEWSKI X-SCORE (Studi pada Perusahaan Semen yang Listing di BEI pada Tahun 2016 - 2020)