Jumat, Desember 09, 2022

UPAYA PENINGKATAN DISIPLIN KERJA APARATUR SIPIL NEGARA



UPAYA PENINGKATAN DISIPLIN KERJA APARATUR SIPIL NEGARA

Manajemen Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor pertama serta utama yang selalu dibutuhkan pertama kali dalam suatu organisasi sebagai subjek dan objek dalam organisasi atau kelompok tersebut. Untuk mengelolaa sumber daya manusia (SDM) merupakan tugas yang harus di lakukan oleh seorang pemimpin dengan tujuan untuk mengelola, menilai, mengatur, memilih serta menetapkan sumber daya manusia di posisi  maupun jabatan yang tepat sesuai dengan kemampuan dan potensi yang ada dari sumber daya manusia tersebut.

Menurut Hasibuan (2013), mengatakan manajemen sumber daya manusia (SDM) dapat diartikan sebagai ilmu dan seni yang mengatur hubungan dan pernan tenaga kerja agar efektif dan efisien dalam penggunaan kemampuan manusia agar dapat mencapai tujuan stiap perusahan.

Menurut Sutrisno (2013), manajemen sumber daya manusia sebagai suatu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan atas pengadaan, pengembangan, kompensasi, dan pengintegrasian, pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi perusahan secara terpadu.

   Dari pendapat para ahli diatas maka dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa manajemen sumber daya manusia (MSDM) merupakan kegiatan yang dilaksanakan agar tenaga kerja di dalam organisasi dapat digunakan secara efektif dan efisien guna mencapai berbagai tujuan.

2.1.1    Prinsip Dasar Manajemen Sumber Daya Manusia

Menurut Sinambela (2016:5) Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah suatu pendekatan terhadap manajemen manusia yang berdasarkan empat prinsip dasar :

1)      Sumber daya manusia adalah harta paling penting yang dimiliki oleh suatu organisasi, sedangkan manajemen yang efektif adalah kunci bagi keberhasilan organisasi tersebut.

2)      Keberhasilan ini sangat mungkin dicapai jika peraturan atau kebijaksanaan dan prosedur yang bertalian dengan manusia dari organisasi tersebut saling berhubungan, dan memberikan sumbangan terhadap pencapaian tujuan organisasi dan perencanaan strategis.

3)      Kultur dan nilai organisasi, suasana organisasi dan perilaku manajerial yang berasal dari kultur tersebut akan memberikan pengaruh yang besar terhadap hasil pencapaian terbaik.

4)      Manajemen SDM berhubungan dengan integrasi, yakni semua anggota organisasi tersebut terlibat dengan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.

2.2       Disiplin Kerja

2.2.1    Pengertian Disiplin Kerja

Disiplin merupakan suatu keadaan yang tercipta secara tertib dan teratur  dimana disiplin sendiri sangat penting bagi pertumbuhan sebuah organisasi serta memiliki sebuah landasan peraturan, yang digunakan untuk mengikat dan memotivasi pegawai sehingga menghasilkan kinerja yang baik. Disiplin dibutuhkan oleh setiap individu maupun instansi, hal ini dikarenakan disiplin digunakan untuk membantu individu untuk meluruskan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan dalam suatu instansi.

Menurut Singodimedjo dalam Sutrisno (2017: 86) menyatakan bahwa: Disiplin adalah sikap kesediaan serta kerelaan seseorang untuk mematuhi dan menaati norma-norma peraturan yang berlaku di sekitarnya. Dengan adanya disiplin karyawan yang baik akan mempercepat tujuan perusahaan, tetapi jika adanya disiplin yang merosot akan menjadi penghalang dan memperlambat pencapaian tujuan perusahaan.

 

Menurut Hasibuan dalam Sinambela (2016:335) “Disiplin kerja adalah kerja sesorang untuk secara teratur, tekun secara terus-menerus dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan berlaku dengan tidak melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan”. Sedangkan menurut PP No 53 Tahun 2010 pasal 1 ayat 1, yang menyatakan bahwa disiplin Pegawai Negri Sipil ialah suatu kesanggupan Pegawai Negri Sipil untuk menaati kewajiban serta menghindari larangan yang di telah di tentukan dalam peraturan Perundang-Undangan dan/atau Peraturan Kedinasan yang apa bila dilanggar akan di jatuhi sanksi hukum.

Wyckoff dan Unel (dalam Haisbun, 2007) menyatkan bahwa disiplin kerja merupakan kesadaran, kemauan maupun kesediaan kerja seseorang agar dapat taat serta tunduk terhadap semua peraturan maupun norma yang berlaku, kesadaran kerja merupakan sikap sukarela dan merupakan tugas dan tanggung jawab bagi seorang karyawan. Kesediaan kerja merupakan suatu sikap perilaku dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan tugas pokok sebagai seorang karyawan.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa disiplin kerja ialah suatu sikap atau perilaku yang perlu ditanamkan pada diri setiap individu sehingga terciptanya kinerja yang baik bagi suatu organisasi serta memiliki norma-norma sosial dan sanksi bagi mereka yang melanggar.

2.2.2    Jenis Disiplin Kerja

Menurut Mangkunegra (2017: 129) terdapat dua jenis bentuk disiplin kerja yaitu :

1.      Disiplin Prevektif

Disiplin Prevektif adalah suatu upaya yang di gunakan untuk menggerakan pegawai mengikuti serta mematuhi pedoman serta aturan kerja yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi. Disiplin prevektif memiliki tujuan untuk menggerakan dan mengarahkan agar pegawai bekerja dan berdisiplin dengan baik.

2.      Disiplin Korektif

Disiplin Korektif merupakan salah satu upaya penggerakan pegawai dalam menyatukan sebuah peraturan serta mampu mengarahkannya agar pegawai tetap mematuhi  peraturan yang ada yang sesuai dengan pedoman yang berlaku pada suatu organisasi. Dalam disiplin korektif pegawai yang melanggar aturan disiplin akan diberikan sanksi hukum yaang memiliki tujuan agar pegawai tersebut dapat memperbaiki diri dengan mematuhi aturan yang telah ditetapkan dalam sebuah organisasi.

Sedangkan menurut Rivai (2011: 826) bentuk- bentuk disiplin kerja dibagi menjadi 4 prespektif yaitu :

1.      Disiplin Retrubutif (Retributive Discipline), yaitu berusaha menghukum orang yang berbuat salah. Dimana atasan atau orang yang berhak mengambil keputusan untuk mendisiplinkan bawahan menggunakan cara yang profesional yang tepat terhadap sasaran. Agar orang yang berbuat salah tidak melakukan hal-hal yang sama.

2.      Disiplin Korektif (Corrective Discipline), yaitu berusaha membantu karyawan mengoreksi perilaku yang tidak tepat. Dalam disiplin korektif pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan peraturan-peraturan dalam suatu organisasi yang diberlakukan sebagai masalah akan dikoreksi terlebih dahulu bukan langsung memberikan hukuman. Hukuman yang diberikan juga lunak sebatas untuk memegur pelanggar menunjukan kemauan untuk merubah perilakuknya.

3.      Prespektif hak-hak individu (Individual Rights Perspektive), yaitu berusaha melindungi hak-hak dasar individu selama tindakan-tindakan displinder. Dimana disiplin yang diberikan dipertimbangkan kembali secara tepat dengan alasan yang adil untuk menjatuhkan hukuman, dan hak-hak karyawan lebih diutamakan dari pada tindakan disiplin.

4.      Prespektif Utilitarian (Utilitarian Prespective), yaitu berfokus kepada penggunaan displin hanya pada saat konsekuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak negatifnya. Tingkat tindakan disiplin diambil tergantung pada bagaimana disiplin itu akan mempengaruhi produktivitas dan profitabilitas, dalam biaya penggantian karyawan dan konsekuensi-konsekuensi memperkenankan perilaku yang tidak wajar perlu dipertimbangkan karena biaya penggantian karyawan kian melambung, maka kerasnya disiplin hendaknya semakin menurun, karena apa bila konsekuensi membiarkan perilaku yang tidak terus meningkat maka hukuman yang di terima semakin keras.

2.2.3    Tujuan Disiplin Kerja

Tujuan disiplin kerja menurut Simamora (2006: 611) :

1.      Tujuan utama disiplin kerja adalah untuk memastikan perilaku karyawan konsisten sesuai dengan aturan perusahaan. Aturan yang ada dalam suatu organisasi bertujuan untuk membuat organisasi tersebut berjalan lebih baik. Apabila suatu aturan yang telah di buat dilanggar maka evektifitas suatu organisasi akan berkurang samapi ke tingkatatan tertentu. Jika seorang karyawan memiliki tindakan disipliner maka dapat menjadi kekuatan positif bagi suatu perusahaan, dimana jika di terapkan secara adil serta bertanggung jawab maka perusahaan tersebut akan beruntung.  Karena tanpa adanya disiplin yang sehat maka kinerja dari perusahaan menjadi tidak efektif.

2.      Tujuan disiplin yang ke dua adalah untuk menumbuhkan atau mempertahankan rasa hormat dan saling percaya di antara pengawas dan bawahannya. Penegakan  disiplin yang benar tidak hanya mampu memperbaiki perilaku karyawan, tetapi juga akan mampu menumbuhkan sikap disipliner dimana akan meningkatkan kerja sama tim dan rasa saling percaya yang mampu menumbuhkan hubungan yang positif diantara pengawas dan bawahan.

3.      Tindakan disipliner dapat pula membantu  karyawan agar menjadi lebih produktif, dengan demikian menguntungkannya dalam jangka panjang.

4.      Tindakan disipliner yang efektif dapat memacu individu karyawan untuk meningkatkan prestasi kerja (kinerja) yang pada ahkirnya menghasilkan pencapaian bagi individu bersangkutan.

 

Secara umum dapat disebutkan bahwa tujuan utama dari disiplin pegawai ialah demi keberlangsungan organisasi atau perusahan sesuai dengan motifasi organisasi atau perusahan yang bersangkutan baik hari ini maupun hari esok. Menurut Sastrohadiwiryo (2003 : 292), secara khusus tujuan disiplin pegawai, antara lain :

1.      Agar pegawai menepati segala peraturan dan kebijakan ketenaga kerjaan maupun peraturan dan kebijakan organisasi yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis, serta mejalankan perintah manajemen dengan baik.

2.      Pegawai dapat melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya serta mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada pihak tertentu yang berkepentingan dengan organisasi sesuai dengan bidang pekerjaan yang  diberikan kepadanya.

3.      Pegawai dapat menggunakan dan memelihara sarana dan prasarana, barang dan jasa organisai dengan sebaik-baiknya.

4.      Para pegawai dapat bertindak dan berpartisipasi sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada organisasi.

5.      Pegawai mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi sesuai dengan harapan organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

 

 

Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja mempunyai tujuan untuk menciptakan rasa tanggung jawab terhadap tugas yang telah di berikan serta taat. Mewujudkan disiplin kerja harus ada keinginan dalam diri sendiri untuk bertindak maupun berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku yang berlaku pada suatu perusahaan. Dan juga dengan adanya tujuan dan disiplin yang jelas pegawai bisa menaati semua peraturan tanpa adanya paksaan sehingga terciptanya etos kerja yang baik yang mampu membuat hubungan yang harmonis antara sesama pegawai.

2.2.4    Faktor-Faktor Disiplin Kerja

Faktor kedisiplinan sangat mempengaruhi tingkat kedisiplinan pegawi pada suatu perusahaan, karena faktor disiplin kerja anakn menjadi suatu tolak ukur berhasil dan tidaknya pekerjaan yang dikerjakan oleh para karyawan.

Menurut Hasibuan dalam Khasanah (2016) ada beberapa faktor yang menyebabkan disiplin kerja pegawai, diantaranya yaitu :

1.      Tujuan dan kemampuan.

Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan pegawai yang harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup untuk menantang bagi kemampuan pegawai. Pekerjaan yang akan dibebankan kepada para pegawai harus sesuai dengan kemampuan pegawai yang bersangkutan, agar dia lebih bersungguh-sungguh dan berdisiplin baik untuk menjalankannya. Jika pekerjaan yang di berikan di luar kemampuannya maka pekerjaannya itu tidak akan sesuai dengan keinginan.

2.      Teladan pimpinan

Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan pegawai karena pimpinan di jadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik, berdisiplin yang baik, jujur, serta sesuai dengan kata perbuatan. Dengan teladan pimpinan yang baik maka kedisiplinan bawahan pun akan ikut baik. Tapi jika teladan kurang baik (kurang disiplin), maka para bawahan pun kurang baik.

3.      Balas jasa

Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut mempengaruhi kedisiplinan pegawai terhadap pekerjaan. Jika kecintaan pegawai semakin baik terhadap pekerjaan, maka kedisiplinan mereka akan semakin baik pula. Karena dengan upah yang sesuai atas beban kerja yang ditanggung, maka pegawai akan merasa puas dari segi pekerjaan dan juga kepuasan akan kebutuhan.

4.      Keadilan

Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan pegawai, karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama dengan manusia lainnya. pimpinan yang cakap selalu berusaha bersikap adil terhadap semua bawahannya. Karena menyadari bahwa dengan keadilan yang baik akan menciptakan kedisiplinan yang baik pula.

5.      Pengawasan

Pengawasan adalah tindakan nyata dan efektif untuk mencegah dan mengetahui kesalahan, membetulkan kesalahan, memelihara kedisiplinan, meningkatkan prestasi kerja, mengaktifkan peranan atasan dan bawahan, menggali sistem-sistem kerja yang paling efektif, serta menciptakan sistem internal kontrol yang baik dalam mendukung terwujudnya tujuan instansi, pegawai, dan masyarakat.

6.      Sanksi hukum

Hukum berperan penting dalam memelihara disiplin pegawai karena adanya sanksi hukum maka pegawai semakin takut untuk melanggar peraturan-peraturan, sikap dan perilaku disiplin pegawai akan berkurang.

7.      Ketegasan

Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan pegawai, pimpinan harus berani dan tegas  bertindak untuk menghukum setiap pegawai yang indisipliner sesuai dengan sanksi hukum yang ditetapkan.

8.      Hubungan kemanusiaan

Hubungan kemanusiaan yang harmonis di antara sesama pegawai ikut menciptakan kedisiplinan yang baik pada setiap kantor.

2.2.5    Indikator-Indikator Disiplin Kerja

Menurut pendapat Rivai dalam Alfiah (2019) ada lima indikator displin kerja yaitu sebagai berikut :

1.      kehadiran merupakan indikator utama yang mengukur tingkat kedisiplinan dan pada umumnya disiplin kerja yang rendah pada pegawai dapat tercermin dari kebiasaan pegawai yang suka terlambat dalam bekerja.

2.      ketaatan pada peraturan kerja merupakan bentuk kepatuhan dari pegawai terhadap peraturan kerja dan selalu mematuhi prosedur yang berlaku di kantor.

3.      Ketaatan pada standar kerja yaitu seberapa besar tangggung jawab seorang pegawai dalam melaksanakan tugas yang diberikan.

4.      Tingkat kewaspadaan tinggi pegawai merupakan sikap teliti dan berhati-hati dalam bekerja yang efektif dan efisien.

5.      Etika bekerja merupakan bentuk dari tindakan indisipliner dan disiplin kerja pegawai.

 

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja merupakan suatu sikap atau perilaku yang mencerminakan ketaatan serta kepatuhan terhadap aturan yang terdapat dalam suatu organisasi. Dalam hal ini displin tidak hanya dalam bentuk ketaatan belaka tetapi juga merupakan tanggung jawab pegawai terhadap tugas-tugas yang di berikan kepadanya. 

2.2.6    Mengukur Disiplin Kerja

Menurut Soejono dalam Lateiner (1983: 72), disiplin kerja pegawai dapat di ukur dari :

1.      Pegawai datang ke kantor dengan tertib, tepat waktu dan teratur maka disiplin kerja dapat dikatakan baik. Salah satu tolak ukur untuk mengetahui tingkat kedisiplinan pegawai ialah semakin tinggi frekunsi kehadirannya maka pegawai tersebut memiliki sikap disiplin kerja yang tinggi.

2.      Berpakaian rapih ditempat kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi disiplin kerja pegawai, karena dengan berpakaian rapih maka suasana kerja akan terasa nyaman dan percaya diri dalam bekerja akan tinggi.

3.      Menggunakan  perlengkapan kantor dengan berhati-hati. Sikap hati-hati dapat menunjukan bahwa seseorang memiliki disiplin kerja yang baik, karena apabila dalam menggunakan perelengkapan kantor secara tidak hati-hati maka akan terjadi kerusakan yang mengakibatkan kerugian.

4.      Memiliki tanggung jawab, tanggung jawab sangat berpengaruh terhadap disiplin kerja, dengan adanya tanggung jawab terhadap tugasnya maka dapat menunjukan disiplin kerja pegawai yang tinggi.

 

Aspek dari disiplin kerja tidak luput dari peran dalam diri individu yang juga tidak kalah penting untuk mencapai keberhasilan dari suatu organisasi, disiplin kerja merupakan sikap yang positif yang di perlukan dalam suatu organisasi dimana setiap organisasi membutuhkannya agar dapat mendukung pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

2.2.7    Model Pendekatan Disiplin Kerja

Menurut Prabu (2001) pendekatan disiplin kerja ada tiga yakni :

1.      Pendekatan disiplin moderen yaitu mempertemengukumukan sejumlah keperluan  atau kebutuhan baru di luar hukuman. Yaitu :

a.       Disiplin moderen merupakan suatu cara menghindarkan bentuk hukuman secara fisik.

b.      Melindungi tuduhan yang benar untuk diteruskan pada proses hukum yang berlaku.

c.       Keputusan-keputusan yang semaunya terhadap kesalahan atau prasangka harus diperbaiki dengan mengadakan proses penyuluhan dengan mendapatkan fakta-faktanya.

 

2.      Pendekatan disiplin dengan tradisi yaitu pendekatan disiplin dengan cara memberikan hukuman. Yaitu :

a.       Disiplin dilakukan oleh atasan kepada bawahan, dan tidak pernah ada peninjauan kembali bila telah diputuskan.

b.      Disiplin adalah hukuman untuk pelanggaran, pelaksanaannya harus disesuaikan dengan tingkat pelanggaranya.

c.       Pengaruh hukuman untuk memberikan pelajaran, kepada pelanggar maupun kepada pegawai lainnya.

d.      Peningkatan perbuatan pelanggaran diperlukan hukuman yang lebih keras.

e.       Pemberian hukuman terhadap pegawai yang melanggar kedua kalinya harus diberi hukuman yang lebih berat.

 

3.      Pendekatan disiplin bertujuan berasumsi bahwa :

a.       Disiplin kerja harus diterima dan dipahami oleh semua pegawi.

b.      Disiplin bukanlah suatu hukuman, tetapi merupakan pembentukan perilaku.

c.       Disiplin ditunjukan untuk perubahan perilaku yang lebih baik.

d.      Disiplin pegawai bertujuan agar pegawai bertanggung jawab terhadap perbuatannya.

Pendekatan disiplin merupakan penentuan tindakan yang akan digunakan untuk setiap pegawai yang melanggar atauran yang berlaku. Pendekatan disiplin yaitu menekankan pada setiap pegawai bagaimana harus bisa memahami dalam setiap tindakan atas aturan yang akan diputuskan untuk meningkatkan disiplin kerja pegawai, agar semua aturan yang digunakan bisa diterima dan dipatuhi oleh seluruh pegawai.

 

2.3       Aparatur Sipil Negara (ASN)

Dalam rangka mewujudkan tujuan Nasional, sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 dibutuhkan Aparatur Sipil Negara yang profesional, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bebas dari intervensi politik, serta mampu menyelenggarakan dan melaksanakan pelayanan publik bagi masyarakat sesuai dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dan Negara.

2.3.1    Pengertian Aparatur Sipil Negara

ASN (Aparatur Sipil Negara) adalah :

Profesi bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan Pegawai Pemerintah dengan perjanjian kerja, yang mengabdi pada instansi pemerintah, diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pegawai ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayanan publik, serta perekat dan pemersatu bangsa. Prasojo & Rudita, (dalam komara, maret 2019: 74).

 

Sebutan Pegawai Negeri Sipil (PNS) kini telah menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden Republik Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, pasal 1 undang-undapeng ini menyatakan bahwa :

1.      Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil dan pegawai pemerintahan dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.

2.      Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut pegawai ASN adalah Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintahan dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.

3.      Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat Pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

 

Pegawai ASN (Aparatur Sipil Negara) merupakan unsur utama sumber daya aparatur yang mempunyai peranan menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pegawai ASN disini adalah setiap warga negara Indonesia yang telah memiliki syarat yang ditentukan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang serta disetujui untuk suatu jabatan Pegawai Negeri dan digaji berdasarkan peraturan Perundangan-Undangan yang berlaku. Sedangkan profesionalisme pegawai ASN disini dapat diartikan sebagai suatu kemampuan dan keterampilan ASN dalam melakukan pekerjaan menurut bidang dan tingkatan masing-masing (Komara, 2018).

2.3.2    Tugas dan fungsi Aparatur Sipil Negara

Di dalam Undang-undang No 5 Tahun 2014 Tetang Aparatur Sipil Negara, Pada Pasal 11 menyatakan bahwa pegawai ASN bertugas yakni :

Melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan; memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; serta mempererat persatuan dan kesatuan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Pegawai ASN juga berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum Pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari parktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Adapun fungsi dari Aparatur Sipil Negara sendiri yaitu dinyatakan dalam Pasal 10 Undang-Undang Tentang ASN yakni sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, perekat dan pemersatu bangsa.

Secara spesifik dijelasakan bahawa kualitas pegawai ASN menurut Komara, (maret 2019: 75) dapat ditinjau dari tiga unsur sebagai berikut :

1.      Keahlian, yang dimaksud bahwa setiap pegawai ASN harus memiliki pengalaman yang sesuai dengan tugas dan fungsinya; memiliki pengetahuan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya; memiliki wawasan yang luas; dan beretika.

2.      Kemampuan teknis, yaitu pegawai ASN harus memahami tugas-tugas di bidangnya.

3.      Sifat-sifat personal yang baik, yakni harus memiliki disiplin yang tinggi, jujur, menaruh minat, terbuka, objektif, pandai berkomunikasi, selalu siap, dan berlatih.

 

Terdapat  beberapa faktor yang mempengaruhi profesionalisme pegawai ASN dalam pelayanan publik, Komara, (2019: 78). Adapun faktor-faktor tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1.      Pertama, Budaya organisasi.

Budaya organisasi yang terbangun di lingkup birokrasi pada umumnya bersifat formalistik, yaitu pegawai ASN cenderung bekerja sesuai aturan formal yang telah ditentukan sebelumnya, kebiasaan yang turun-temurun selalu dilakukan oleh aparatur sebelumnya, dan juga pegawai ASN selalu berpedoaman prosedur yang berlaku. Ketidak beranian mendobrak kebiasaan tersebut menjadikan pegawai ASN cenderung kurang kreatif, responsif, dan inovatif, yang pada ahkirnya menghambat profesionalisme pegawai ASN dalam melaksanakan pelayanan kepada masyarakat.

2.       Kedua, Hierarki struktual organisasi.

Batasan antara atasan dan bawahan kerap menjadi permasalahan dalam membentuk profesionalisme pegawai ASN, karena umumnya komunikasi internal dalam organisasi publik tersebut relatif tidak berjalan dengan lancar. Namun, kondisi demikin tentu tidak pada semua instansi pemerintahan. Di banyak tempat ditemukan keadaan yang berbeda, yaitu kondisi hierarkis struktural yang justru tidak ada masalah dalam menjalin komunikasi internal. Hal ini karena gaya kepemimpinan dalam mengelola administrasi dan mengatur jalannya organisasi dapat dikatakan telah berjalan cukup baik. Selain menggunakan pendekatan secara formal kedinasan, pimpinan juga menggunakan pendekatan informal, sehingga terjalin kedekatan emosional dengan bawahannya.

3.       Ketiga, sistem balas jasa.

Dalam konteks ini, misalnya, sistem insentif yang ada. Sistem insentif bagi pegawai ASN berupa reward and punishment dianggap masih belum diterapkan dengan optimal. Hal ini pada gilirannya dapat melemahkan fokus aparatur dalam menjalankan pelayanan publik secara profesional. Kebijakan ASN berdasarkan prestasi kerja merupakan domain kebijakan Pemerintah Pusat. Jadi, sisitem insentif yang memungkinkan dapat dilakukan di lingkungan instansi pemerintah adalah dengan mengatur honor-honor yang bersumber dari pelaksanaan berbagai kegiatan secara lebih adil dan merata kepada setiap aparaturnya.

Continue reading UPAYA PENINGKATAN DISIPLIN KERJA APARATUR SIPIL NEGARA

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA MELALUI PENGEMBANGAN BADAN USAHA MILIK DESA

 



Teori Pemberdayaan Masyarakat

    Pengertian

Pemberdayaan berasal dari kata bahasa Inggris “empowerment” yang biasa diartikan sebagai pemberkuasaan. Dalam artian pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (Mustika & Hendradewi, 2019). Zuliyah (2010), mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah “suatu proses yang berjalan terus-menerus untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya”.

Dalam teori pemikiran Sumodiningrat (1997), ia berasumsi bahwa pemberdayaan masyarakat adalah

“Upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang membedayakan. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumber daya manusia di pedesaan, menciptakan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini kemudian diarahkan pada pemberdayaan ekonomi rakyat” (Sumodiningrat, 1997).

 

Lebih lanjut bahwa pemberdayaan masyarakat adalah proses partisipatif yang memberi kepercayaan dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengkaji tantangan utama pembangunan mereka dan mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah tersebut. Kegiatan ini kemudian menjadi basis program daerah, regional dan bahkan program nasional. Pemahaman ini menunjukan bawa program pemberdayaan masyarakat ditentukan oleh masyarakat, dimana lembaga pendukung hanya memiliki peran sebagai fasilitator. Hal ini akan mengurangi ketergantungan pada sumber daya eksternal atau yang tidak berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan.

 2.1.2    Tujuan Pemberdaaan Masyarakat

Suryo (2017), mengemukakan bahwa “tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri”. Kemandirian itu sendiri meliputi kemandirian berpikir, kemandirian bertindak dan kemandirian mengendalikan apa yang sedang mereka lakukan.

Menurut Febrianti dan Suprojo (2019), pemberdayaan masyarakat hendaklah

“Mengarah pada pembentukan kognitif masyarakat yang lebih baik. Kondisi kognitif pada dasarnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang atau masyarakat dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pembangunan dan pemberdayaan. Kondisi afektif merupakan sense (nalar) yang dimiliki oleh masyarakat yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kemampuan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya pendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan dan pemberdayaan”.

 

Lebih lanjut terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, afektif, dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan, karena dengan demikian dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya tersebut, untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan suatu tindakan atau proses, yaitu pemberdayaan pada masyarakat itu sendiri.

 2.1.3    Prinsip-Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

Beberapa prinsip dalam keberlangsungan pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:

1.      Kesetaraan

Dalam proses pemberdayaan masyarakat harus adanya kesetaraan atau kesejajaran kedudukan antara masyarakat dengan lembaga yang melakukan program-program pemberdayaan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Dinamika yang dibangun adalah hubungan kesetaraan dengan mengembangkan mekanisme berbagai pengetahuan, pengalaman, serta keahlian satu sama lain.

2.      Partisipasi

Umanailo (2019), mengemukakan bahwa program pemberdayaan yang dapat menstimulasi kemandirian masyarakat adalah “program yang sifatnya partisipatif, direncanakan, dilaksanakan, diawasi, dan dievaluasi oleh masyarakat”. Sehingga memerlukan waktu dan proses pendampingan yang melibatkan pendamping yang berkomitmen tinggi terhadap pemberdayaan masyarakat untuk mencapai tingkat tersebut.

3.      Keswadayaan atau Kemandirian

Iryanam (2018), mengemukakan bahwa prinsip keswadayaan adalah “menghargai dan mengedepankan kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain”. Dalam prinsip keswadayaan tidak memandang orang miskin sebagai objek yang tidak berkemampuan “the have not”, melainkan sebagai subjek yang memiliki kemampuan sedikit “the have little”.

4.      Berkelanjutan

Rinawati (2006), mengemukakan bahwa “program pemberdayaan masyarakat perlu dirancang untuk berkelanjutan, sekalipun pada awalnya peran pendamping lebih dominan dibanding masyarakat sendiri”. Tapi secara perlahan dan pasti, peran pendamping akan semakin berkurang, bahkan dihapus karena masyarakat sudah mandiri dengan mampu mengelola kegiatannya sendiri

 2.1.4    Model Pemberdayaan Masyarakat

Model pemberdayaan masyarakat merupakan metode, pola, tahap atau langkah yang dibuat, dikembangkan dan digunakan dalam praktik atau implementasinya dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Model yang digunakan Fujikake dalam Tukasno (2013) dalam pemberdayaan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu mencoba memahami pencapaian pemberdayaan dari pandangan masyarakat sebagai pelaksana program. Pendekatan ini mencoba memahami hubungan antara tanggapan masyarakat dengan tujuan pemberdayaan yang hendak dicapai untuk kemudian dituangkan dalam gambar dan model konsep tertentu. Fujikake mengembangkan langkah dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu:

·         Melihat perubahan masyarakat dari tingkat kesadarannya

Hasil dari analisis perubahan tingkat kesadaran ini dituangkan dalam grafik yang menggambarkan tingkat perubahan kesadaran yang diklasifikasi menjadi tiga (3), yaitu “sangat baik”, “telah berubah”, dan “tidak seperti sebelumnya”.

 

(Sumber: Fujikake dalam Tukasno, 2013)

 2.1.5    Indikator Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat

     Menurut United States Department of Health and Human Service atau HHS (2014), indikator keberhasilan adalah “diartikan sebagai statistik dari berbagai hal yang bersifat normatif yang menjadi perhatian utama kita yang bisa membantu kita dalam membuat berbagai penilaian ringkas, komperehensif, dan berimbang terhadap berbagai macam kondisi dan juga berbagai macam ospek penting yang ada dalam kehidupan masyarakat”.

Keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dengan indikator-indikator yang dapat menunjukan seseorang atau komunitas berdaya atau tidak. Fujikake dalam Tukasno (2013) mengemukakan beberapa indikator keberhasilan dalam pemberdayaan masyarakat, antara lain:

1.      Partisipasi

Keberdayaan dalam konteks ini adalah masyarakat terlibat dalam berbagai kegiatan lembaga yang ada didalamnya.

2.      Pengemukaan Pendapat

Masyarakat mampu mengemukakan gagasan atau menyampaikan ide atau mengeluarkan pikiran.

3.      Pengambilan Tindakan

Masyarakat mampu memilih alternatif yang tepat yang akan dijadikan sebuah keputusan yang berkaitan dengan tindakan kedepan.

4.      Kepedulian dan Kerjasama

Masyarakat memiliki rasa kepedulian antar sesama dan keinginan atau sedang atau telah bekerja sama atau melakukan usaha demi kepentingan bersama.

5.      Kreativitas

Masyarakat mampu melahirkan suatu gagasan yang baru dari pemahaman atas kesenjangan yang terjadi sebelumnya.

6.      Kepercayaan Diri

Masyarakat memilik rasa percaya dan keyakinan terhadap kemampuan yang ada dalam dirinya.

7.      Kemampuan Manajerial

Masyarakat memiliki penegetahuan, keterampilan dan sikap atau perilaku sebagai pemimpin.

8.      Kepuasan

Pendapat atau penilaian terhadap kinerja dan hasil usaha yang sesuai dengan kriteria dan target pencapaian.

 

Gambar 2. 2  Indikator Pemberdayaan Fujikake (Tukasno, 2013)

Sumber: Fujikake dalam Tukasno (2013)

 

Alasan penulis memilih teori pemberdayaan dalam penelitian ini adalah untuk melihat apakah pemberdayaan masyarakat sebagaimana dikonsepkan oleh para ahli yang berasumsi bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujutan potensi kemampuan yang mereka miliki sudah atau belum sejalan dengan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan BUMDesa di Desa Dalisodo, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Dengan cara pandang yang demikian maka dalam analisis berikutnya akan ditemukan titik keselarasan teori tersebut dan prakteknya dalam kehidupan masyarakat desa.

2. 2 Teori Partisipasi

Partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu “participation” yang dapat diartikan suatu kegiatan untuk membangkitkan perasaan dan diikut sertakan atau ambil bagian dalam kegiatan suatu organisasi. Sehubungan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, partisipasi merupakan keterlibatan aktif masyarakat atau partisipasi tersebut dapat berarti keterlibatan proses penentuan arah dari strategi kebijaksanaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.  Dalam pelaksanaan pembangunan harus ada sebuah rangsangan dari pemerintah agar masyarakat dalam keikutsertaannya memiliki motivasi.

Rincian tentang partisipasi menurut Simatupang (dalam Yuwono, 2001:124) sebagai berikut:

a.       Partisipasi berarti apa yang kita jalankan adalah bagian dari usaha bersama yang dijalankan bahu-membahu dengan saudara kita sebangsa dan setanah air untuk membangun masa depan bersama.

b.      Partisipasi berarti pula sebagai kerja untuk mencapai tujuan bersama diantara semua warga negara yang mempunyai latar belakang kepercayaan yang beraneka ragam dalam negara pancasila kita, atau dasar hak dan kewajiban yang sama untuk memberikan sumbangan demi terbinanya masa depan yang baru dari bangsa kita.

c.       Partisipasi tidak hanya berarti mengambil bagian dalam pelaksanaan-pelaksanaan, perencanaan pembangunan. Partisipasi berarti memberikan sumbangan agar dalam pengertian kita mengenai pembangunan kita nilai-nilai kemanusiaan dan cita-cita mengenai keadilan sosial tetap dijunjung tinggi.

d.      Partisipasi dalam pembangunan berarti mendorong ke arah pembangunan yang serasi dengan martabat manusia. Keadilan sosial dan keadilan Nasional dan yang memelihara alam sebagai lingkungan hidup manusia juga untuk generasi yang akan datang.

 

Menurut Suryono (2001:124), partisipasi merupakan

“Ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan pembangunan dan ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Untuk mewujudkan keberhasilan pembangunan, inisiatif dan kreatifitas dari anggota masyarakat yang lahir dari kesadaran dan tanggung jawab sebagai manusia yang hidup bermasyarakat dan diharapkan tumbuh berkembang sebagai suatu partisipasi”

 

Partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat secara aktif. Masyarakat dapat juga terlibat dalam proses penentuan arah serta strategi kebijaksanaan pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. Hal ini terutama berlangsung dalam proses politik dan juga proses sosial, serta hubungan antara kelompok kepentingan dalam masyarakat sehingga demikian mendapat dukungan dalam pelaksanaannya.

Konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan sudah mulai dikenalkan oleh pemerintah sejak awal tahun 1980-an melalui istilah pemberdayaan masyarakat. Masyarakat diharapkan untuk dapat berpartisipasi dalam membangun serta menjaga lingkungan dimana mereka berada. Untuk mensukseskan gerakan pemberdayaan masyarakat tersebut kemudian pemerintah membentuk beberapa lembaga-lembaga PKK, LKMD, dan karang taruna sebagai wadah dalam mendorong komunitas lokal untuk berpartisipasi dan menjunjung solidaritas Bersama.

Mengingat pemberdayaan masyarakat kebanyakan adalah staf pemerintah atau yang ditunjukan oleh pemerintah yang bekerja sebagai penghubung antara kebijakan serta agenda pembangunan dengan apa yang harus dilakukan oleh komunitas. Partisipasi dalam memerima hasil pembangunan dan menilai hasil partisipasi masyarakat menurut Isbandi adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternative solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan ketertiban masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Usaha pemberdayaan masyarakat, dalam arti pengelolaan pembangunan desa harus dibangun dengan berorientasi pada potensi viskal, perlibatan masyarakat serta adanya usaha yang mengarah pada kemandirian masyarakat desa.

Keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan secara aktif baik pada pembuatan rencana pelaksanaan maupun penilaian pembangunan menjadi demikian penting sebagai tolak ukur kemampuan masyarakat untuk berinisiatif dan menikmati hasil pembangunan yang telah dilakukan. Dalam meningkatkan dan mendorong munculnya sikap partisipasi, maka yang perlu dipahami oleh pengembang masyarakat adalah kebutuhan-kebutuhan nyata yang dirasakan oleh individu maupun masyarakat. Partisipasi lebih pada alat sehingga dimaknai partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat secara aktif dalam keseluruhan proses kegiatan, sebagai media penumbuhan kohesifitas antar masyarakat, masyarakat dengan pemerintah juga menggalang tumbuhnya rasa memiliki dan tanggung jawab pada program yang dilakukan. Istilah partisipasi sekarang ini menjadi kata kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat, seolah-olah menjadi “model baru” yang harus melekat pada setiap rumusan kebijakan dan proposal proyek.

Menurut Slamet (2003:8) menyatakan bahwa, partisipasi Valderama dalam Arsito mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis, yaitu:

1.      Partisipasi politik (political participation) lebih berorientasi pada “mempengaruhi” dan “mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintah ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.

2.      Partisipasi sosial (social participation) partisipasi ditempatkan sebagai beneficiary atau pihak diluar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, pemantauan, evaluasi dan implementasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.

3.      Partisipasi warga (citizen participation/citizenship) menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses pemerintahan. Partisipasi warga telah mengalih konsep partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap penerima derma atau kaum tersisih menuju suatu keperdulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambil keputusan diberbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik.

 

2. 3 Badan Usaha Milik Desa

2.3.1        Pengertian Badan Usaha Milik Desa

Dalam buku panduan BUMDesa yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional (2007), BUMDesa merupakan “badan usaha milik desa yang didirikan atas dasar kebutuhan dan potensi desa sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat”

Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya, BUMDesa dibangun atas prakarsa dan partisipasi masyarakat. BUMDesa juga merupakan perwudan partisipasi masyarakat desa secara keseluruhan, sehingga tidak menciptakan model usaha yang dihegemoni oleh kelompok tertentu di tingkat desa. Artinya tata aturan ini terwujud dalam mekanisme kelembagaan yang solid, penguatan kapasitas kelembagaan akan terarah pada adanya tata aturan yang mengikat seluruh anggota (one for all).

2.3.2        Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Desa

Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) didirikan berdasarkan tujuan:

a.       Meningkatkan perekonomian desa;

b.      Mengoptimalkan aset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa;

c.       Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa;

d.      Mengembangkan rencana kerja sama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga;

e.       Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga;

f.        Membuka lapangan kerja;

g.      Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa;

h.      Meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa.

 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa, didirikan berdasarkan tujuan:

a.       Melakukan kegiatan usaha ekonomi melalui pengelolaan usaha, serta pengembangan investasi dan produktivitas perekonomian, dan potensi Desa;

b.      Melakukan kegiatan pelayanan umum melalui penyediaan barang dan/atau jasa serta pemenuhan kebutuhan umummasyarakat Desa, dan mengelola lumbung pangan Desa;

c.       Memperoleh keuntungan atau laba bersih bagi peningkatan pendapatan asli Desa serta mengembangkan sebesar-besarnya manfaat atas sumber daya ekonomi masyarakat Desa;

d.      Pemanfaatan aset Desa guna menciptakan nilai tambah atas aset Desa; dan

e.       Mengembangkan ekosistem ekonomi digital Desa.

 

Pada dasarnya pengelolaan dan pendirian BUMDesa merupakan salah satu upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat yang wujudnya sebagai Lembaga ekonomi produktif sehingga pengelolaan badan usahanya berjalan secara efektif, efisien, profesionalisme, dan mandiri. Pendirian BUMDesa sebagai salah satu sumber pendapatan asli desa dan membawa manfaat tersendiri bagi desa yang mendirikannya. Selain yuntuk peningkatan pendapatan asli desa, BUMDesa juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Lebih lanjut, bahwa pada dasarnya adanya pembentukan BUMDesa dipertimbangkan juga oleh beberapa hal, yaitu adanya gagasan/inisiatif dari pemerintah atau masyarakat desa dalam pengelolaan BUMDesa berdasarkan pada potensi dan sumber daya alam yang dimiliki oleh desa tersebut, terdapat sumber daya manusia yang nantinya akan mengelola BUMDesa, terdapat penyertaan modal dari pemerintah desa dalam bentuk pembiayaan demi kelancaran pelaksanaan BUMDesa itu sendiri, serta penyerahan kekayaan desa untuk dikelola sebagai bagian dari usaha BUMDesa.

2.3.3        Fungsi Badan Usaha Milik Desa

Berdasarkan Pasal (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa, fungsi BUMDesa meliputi:

a.       Konsolidasi produk barang dan/atau jasa masyarakat Desa;

b.      Produksi barang dan/atau jasa;

c.       Penampung, pembeli, pemasaran produk masyarakat Desa;

d.      Inkubasi usaha masyarakat Desa;

e.       Stimulasi dan dinamisasi usaha ekonomi masyarakat Desa;

f.        Pelayanan kebutuhan dasar dan umum bagi masyarakat Desa;

g.      Peningkatan kemanfaatan dan nilai ekonomi kekayaan budaya, religiositas, dan sumber daya alam; dan

h.      Peningkatan nilai tambah atas aset Desa dan pendapatan asli daerah.

 

2.3.4        Landasan Hukum Badan Usaha Milik Desa

a.       Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa.

b.      Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pendataan, dan Pemeringkatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Pengadaan Barang dan/atau Jasa BUMDesa/BUMDesa Bersama.

c.       Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 117 Tentang Badan Usaha Milik Desa.

d.      Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, BAB X Pasal 87-90 Tentang Badan Usaha Milik Desa.

e.       Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Desa, BAB VII Pasal 132-142 Tentang Badan Usaha Milik Desa.

f.        Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal-Usul dan Kewenangan Lokal Berkelas Desa.

g.      Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa.

h.      Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa

2.3.5        Prinsip-Prinsip BUMDesa

Berdasarkan buku pedoman Badan Usaha Milik Desa (2007:13), terdapat 6 (enam) prinsip dalam mengelola BUMDesa, yaitu:

a.       Kooperatif, segala bagian terdapat di BUMDesa harus bisa melaksanakan kerja sama yang baik demi kelangsungan hidup usahanya.

b.      Partisipatif, setiap komponen yang terdapat di dalam BUMDesa harus bersedia diminta memberikan dukungan dan kontribusi untuk mendorong kemajuan usaha BUMDesa.

c.       Emansipatif, setiap komponen yang terlibat di dalam BUMDesa diperlakukan adil tanpa memandang agama, suku, golongan.

d.      Transportasi, kegiatan yang berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat harus dapat diketahui oleh masyarakat.

e.       Akuntabel, seluruh kegiatan usaha harus dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun administrasi.

f.        Sustainable, kegiatan usaha harus dapat dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat dalam wadah BUMDesa.

 

Menurut Herry Kamaroesid (2016), perbedaan BUMDesa dan Lembaga lainnya adalah:

a.       Badan usaha dimiliki oleh desa dan dikelola secara Bersama;

b.      Modal usaha yang ada bersumber dari desa (51%) dan dari warga (49%) melalui penyeretan modal;

c.       Operasionalisasinya menerapkan falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal;

d.      Bidang usaha yang ada dikelola sesuai dengan potensi dan hasil informasi dari pasar;

e.       Keuntungan yang didapat ditjukan berdasarkan pada potensi dan hasil informasi dari pasar;

f.        Keuntungan yang didapat diperuntukkan untuk meningkatkan kesejahteraan (penyerta modal) dan masyarakat melalui kebijakan desa;

g.      Difasilitasi oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, pemerintah desa;

h.      Pelaksanaan operasionalisasi diawasi Bersama pemdes, BPD, dan anggota.

 

Berdasarkan Pasal (4) huruf (a,b,c,d dan e) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa, dilaksanakan berdasarkan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan dengan prinsip:

a.       Professional;

b.      Terbuka dan bertanggung jawab;

c.       Partisipatif;

d.      Prioritas sumber daya lokal; dan

e.       Berkelanjutan.

2.3.6        Alur Pemberdayaan Masyarakat BUMDesa Makmur Sejati

Dari wawancara bersama Ibu Ida Nur Lestari, selaku direktur BUMDesa Makmur Sejati, dalam memberdayakan masyarakat desa, BUMDesa Makmur Sejati memiliki beberapa tahap pengupayaan sebagai alur dalam menjalankan proses pemberdayaan terhadap masyarakat, yaitu sosialisasi, perekrutan, pendataan, pelatihan dan pembinaan, dan kontrol.

Continue reading PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA MELALUI PENGEMBANGAN BADAN USAHA MILIK DESA