Selasa, Desember 13, 2022

PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

 


PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Model Implementasi Kebijakan Publik

Terdapat beragam macam acuan untuk melakukan dan melaksanakan dari

model implementasi kebijakan publik. Berbagai macam unsur-unsur yang berada

didalam untuk mempengaruhi seperti aparatur maupun masyarakat. Berbagai

macam teori tentang model-model implementasi kebijakan publik seperti berikut:

Goeorge C. Edward III. Edward III menambahkan model implementasi

kebijakan publik dengan tenggang waktu yang secara langsung dan tidak langsung

mempengaruhi implementasi. Mengikuti pendekatan yang dapat diubah yang

benar-benar menentukan keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu:

1. Komunikasi

2. Sumberdaya manusia

3. Disposisi

4. Struktur organisasi

Menurut Edward III, faktor pertama yang mendorong keberhasilan

implementasi kebijakan, menurutnya adalah komunikasi, yang menetapkan

keberhasilan pencapaian tujuan implementasi kebijakan publik. Eksekusi yang

efektif terjadi ketika pengambil keputusan meengerti apa yang akan dilakukan.

Memahami apa yang mereka akan lakukan dapat berhasil jika komunikasi berjalan

lancar, maka setiap keputusan kebijakan serta peraturanpelaksanaan perlu

dikomunikasikan kepada staf yang sesuai, selanjutnya, kebijakan yang

 

dikomunikasikan harus spesifik, akurat, dan konsisten. Komunikasi (transmisi

informasi) dibutuhkan agar pengambilan keputusan dan pelaksanaan lebih

konsisten dalam implementasi serta kebijakan yang akan diterapkan di masyarakat.

Model George C.Edwards III (Tahir, 2014:61-62) yang pertama dalam studi

implementasi kebijakan publik diawali dengan pertanyaan abstrak bagaimana

menyukseskan kebijakn publik tersebut dilihat dari kondisi disekitar, yang kedua

hambatan yang dialami oleh kesuksesan peencanaan kebijakan publik tersebut. 

2.2 Peraturan Daerah

2.2.1 Peraturan Daerah No.1 Tahun 2000 Tentang Pengaturan Dan

Pembinaan Pedagan Kaki Lima Kota Malang

Pengaturan dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki makna kata dasar

yaitu atur-beratur (kk) yang mengartikan kata tertib, rapi, tersusun baik-baik.

Pegaturan yang menartikan makna kata proses, cara, dan mengatur. Dalam hal ini

pengaturan pedagang kaki lima menjadi salah satu faktor permasalah, maka dari itu

dibuatlah kebijakan peraturan daerah yang disusun dan ditetapkan pemeritah Kota

Malang. Dan dilaksanakan oleh pedagang kaki lima itu sendiri. Pengaturan bagi

pemerintah dapat dijadikan sebagai cara menyelesaikan permasalahan dan

mengatur pedagang kaki lima dalam bentuk peraturan. Kebijakan ini dapat

digunakan sebagai petunjuk atau mengatur pedagang kaki lima. Sebagai ketentuan

yang dapat dipatuhi dan dijalanan oleh pedagang kaki lima.

Selajutnya peraturan daerah Kota Malang No.1 Tahun 2000 dalam Bab III

pasal 3 ayat 1, 2, 3, dan 4 yang mengatur tentang kegiatan usaha kawasan dan

12

 

 

perizinan pada pedagang kaki lima yang berada di Kota Malang. Adapun isi dari

peraturan daerah Kota Malang No.1 Tahun 2000 mengenai pengaturan tersebut

yaitu:

a. Setiap kegiatan usaha pedagang kaki lima dilarang:

1. Menjalankan aktivitas jualannyanya di lingkungan alun-alun kota dan

sekitarnya.

2. Menjalankan aktivitas jualanyanya di jalan, trotaor, jalur hitam dan atau

fasilitas umun, kecuali diwilayah tertentu yang dianjurkan lebih lanjut

oleh kepala daerah.

3. Menjalankan aktivitas berjualan yang semi permanen 

4. Menjalankan aktivitas berjualan yang menyebabkan kerugian dalam hal

kebersihan, keindahan, ketertiban, keamanan dan kenyamanan.

5. Gunakan lahan di luar tata ruang yang disetujui oleh kepala daerah

6. Berpindah tempat atau memindah tangankan izin tanpa sepengetahuan

atau izin kepala daerah.

b. Dalam meyakinkan lingkungan dan perizinan sebagaimana tersebut dalam

ayat (1) butir a, b, c, dan d pasal ini, kepala daerah meninjau kepentingan-

kepentingan umum, sosial, pendidikan, ekonomi, kebersihan, ketertiban,

keamanan serta kenyamana dilingkungan sekitar.

Pembinaan, menurut kamus utama bahasa Indonesia, berasal dari kata “bina”,

yang sama dengan “kebangkitan”. Coaching sama dengan kata development,

artinya Anda bisa berubah menjadi lebih baik dan mencapai nilai yang lebih tinggi.

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pius Partanto dkk. Arkola, Surabaya, 2007, hlm.

13

 

 

581). Peraturan daerah merumuskan pedoman bagi PKL untuk mematuhi peraturan

tersebut. Pembinaan adalah penataan dan sosialisasi tempat yang dilakukan untuk

berjualan kepada PKL agar menata diri dan lingkungan menjadi lebih bersih dan

asri. Sosialisasi dan kepemimpinan yang merupakan solusi penyelesaian dilakukan

oleh pemerintah dan Satpol PP di bidang terkait.

Informasi sebagai penanganan sektor usaha merupakan pengalihan usaha

yang tidak memiliki usaha dalam bidang lain. Kebijakan ini bukan sebuah

keinginan PKL, yang diharapkan PKL bukan pengalihan usaha atau pengalihan

bidang melainka usaha mereka. Usaha PKL yaitu untuk meningkatkan usahanya

agar lebih maju. Dari kajian diatas peneliti memiliki kesimpulan bahwa pengaturan

dan pembinaan pedagang kaki lima perlu adanya sosialisasi dan penataan antar PKL

agar lingkungan bersih, indah dan tertata tidak mengganggu keindahan kota,

meningkatkan kemampuan dalam usaha sektor informasi, serta memberikan

wilayah berjualan untuk para PKL yang lebih layak dan strategis.

Pembinaan pedagang kaki lima dikutib dalam peraturan Daerah Kota

Malang Bab IV pasal 4 ayat 1 dan 2 mengatakan bahwa:

1. Manfaat usaha pembangunan usaha pedagang kaki lima, pembinaan daerah,

atau pejabat yang ditunjuk wajib mengumpulkan data dan memberikan

pembinaan berupa sosialisasi atau penyuluhan secara berimbang

2. Tata cara pembinaan dimaksud pada ayat (1) pasal ini ditetapkan lebih lanjut

oleh Kepala Daerah.

14

 

 

Sesuai dengan surat keputusan Wali Kota Malang No.580 Tahun 2000

tentang penempatan lokasi usaha pedagang kaki lima di Kota Malang

menjelaskan bahwa “pedagang kaki lima merupakan pedagang yang

menjalankan  usaha informal melalui transaksi dilahan umum atau tertutup,

baik menggunakan barang bergerak maupun barang tidak bergerak setelah

waktu yang ditentukan sebagai fasilitas umum yang ditetapkan sebagai

tempat usaha oleh kepala daerah.”

Peraturan yang telah dibuat berperan sebagai penataan PKL seperti

pemindahan lokasi, pengaturan, pembinaan, perijinan, sosialisasi, pengawasan,

hukum pidana dan ketentuan penyidikan terhadap para PKL di Kota Malang.

Kesimpulannya yaitu peraturan daerah No.1 Tahun 2000 merupakan kebijakan

yang dibuat oleh perda untuk pedagang kaki lima agar mengerti pentingnya

kebersihan, keindahan, dan kenyamanan kota. Dengan kebijakan ini PKL dapat

mematuhi dan menjalankan peraturan tersebut dengan baik.

2.3 Pembinaan

2.3.1 Pengertian Pembinaan

 Pembinaan menurut Masdar Helmi yaitu segala persoalan usaha, kegiatan

dan usaha yang menyangkut pengorganisasian, perencanaan serta pengendalian

langsung terhadap sesuatu secara tertib dan terarah

 Menurut Mifha Thoha pembinaan merupakan kegiatan, prosedur, hasil atau

penjelasan yang lebih baik. Dalam hal ini, kegiatan tersebut memperlihatkan

kemajuan, pertumbuhan, bertahap, pengembangan kemampuan yang berbeda,

pengembangan atau meningkatkan sesuatu. Ada dua unsur makna pembinaan,

15

 

 

yaitu: 1. Pembinaan dapat berbentuk kegiatan, prosedur atau penjelasan, serta 2.

Pembinaan bisa menunjukkan peningkatan atau semacamnya  

Menurut Joko Widodo pembinaan merupakan suatu prosedur pembelajaran

dengan menerangkan hal-hal baru yang belum ada, dengan harapan membantu yang

mengalaminya, mempertajam dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

baru untuk memenuhi tujuan hidup dan pekerjaan yang sedang dijalani secara lebih

efektif. Dari pernyataan tersebut pembinaan merupakan dapat meingkatkan sikap

dan keterampilan dan akan dapat mampu meningkatkan nasib dan obyek dari yang

dibina. Pembinaan diberikan dengan cara dilatih agar apa yang telah dibina dapat

dimanfatkan dan dikembangkan dalam bidang hidup atau kerja mereka. (Joko

Widodo, 79, Analisis Kebjakan public, Bayumedia, Surabaya, 2006).

 Dapat disipulkan pembinaan merupakan bimbingan dan penyuluhan untuk

para pedagang kaki lima terutama yang menggunakan fasilitas ruang publik yang

dilakukan untuk berjualan para pedagang kaki lima, agar dapat tertata dan

lingkungan menjadi lebih bersih dan indah. Dengan cara melakukan sosilaisasi ke

para pedagang kaki lima. Pembinaan ini dapat dilakukan oleh kepala daerah atau

penjabat yang ditujuk berkewajiban melakukan pendataan atau pembinaan.

 Pembinaan bukan hanya untuk para pedagan kaki lima melainkan dapat

dilakukan oleh semua organisasi atau sekumpulan orang yang terkait dari bidang

Instansi. Dalam hal ini pedagang kaki lima sangat penting untuk melakukan

pembinaan untuk membuat mereka menyadari kebersihan dan ketertiban

lingkungan. Terdapat empat pendekatan aktvitas program pembinaan PKL yaitu:

a. Mendorong sektor-sektor yang ada menjadi formal. Para PKL bisa

mendirikan toko agar dapat berjualan dengan mudah. Dengan mendirika

diperlukan perizinan, dukunga moral, pengetahuan teknis. Mendirikan toko

dapat dilakukan bagi yang menampung pedagang formal. Seperti, pasar,

pusat oleh-oleh, pasar modern dan lain-lain. Jadi posisi mereka harus

disertai dengan penyuluhan.

16

 

 

b. Meningkatkan kapabilitas perusahaan sektor informal. Dapat membantu

pedagang kaki lima melakukan menyediakan bahan baku atau memfasilitasi

pemasaran. Selain itu, untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan

kawasan PKL, pemerintah dapat memberikan bantuan pembinaan

pembukuaan, pinjaman (modal) dan gerobak agar serupa atau pemerintah

dapat memberi temoat ntuk berjualan (rombong bagi PKL) dengan ukuran,

bentuk dan karakteristik lainnya.

c. Relokasi yang dilakukan adalah penataan PKL di suatu tempat baru.

Penempatan PKL di tempat yang baru ini dinilai penting karena PKL sering

dianggap menyebabkan merugikan sosial, seperti kemacetan lalu lintas.

Namun pengaturan ini harus mempertimbangkan faktor konsumdi dan daya

adaptasi pegawai negeri, namun di sisi lain yang tidak kalah pentingnya

adalah konsisten dengan regulasi yang harus dilaksanakan.

d. Dengan berurusan dengan bisnis disektor informal, ini memindahkan bisnis

yang sama sekali tidak menjajikan ke bidang kegiatan lain. Pendekatan ini

bagi PKL tidak sepenuhnya tepat karena biasanya yang diharapkan PKL

bukanlah perubahan aktifitas atau perubahan wilayah operasi, melainkan

peningkatan aktifitasnya. Bisnis PKL ini memiliki prospeklebih lanjut.

(Jamez E Anderson 1979: 35-40)

 

2.3.2 Tujuan Pembinaan

Secara umum tujuan pembinaan adalah kegiatan yang positif untuk

kelompok maupun individu dengan cara melatih atau mendidik secara langsung,

melakukan tindakan maupun kegiatan-kegiatan yang mendukung tercapainya

17

 

 

tujuan yang diinginkan. Pembinaan dilakukan untuk dapat memotivasi organisasi

atau istansi. Adapun tujuan lainnya yaitu memberikan pejelasan dengan cara

pembimbingan, pengarahan dan pendampingan untuk menuju apa yang diinginkan. 

Dilakukannya pembinaan kepada pedagang kaki lima yaitu agar dapat

memahami bagai mana kebersihan lingkungan dan penataan lingkungan.

Lingkungan yang seringkali banyak PKL terlihat kumuh maupun sering terjadi

kemacetan. Maka dari itu harus ada pembinaan terhadap pedagang kaki lima

dengan memberikan pengarahaan dengan bimbingan secara langsung, dan

melakukan penataan ke tempat yang strategis agar tidak terjadi kemacetan.

Dilakukan oleh kepala daerah atau lembaga yang terkait.

2.3.3 Tinjauan Tentang Pembinaan

Tinjauan merupakan pengumpulan data besar yang akan dirangkum

selanjutnya akan dikelompokan atau dipisahkan sesuai komponen-komponen serta

bagian yang relevan selanjutnya menjawab pertanyaan dengan mengkaitan data

yang dihimpun. Menurut kamus besar KBBI tinjauan yaitu pandanag, pendapat

(sesudah menyelidiki, mempelajari dan sebagainya).

Tinjauan pembinaan merupakan dari pembinaan kita dapat mengumpulkan

data melalui bimbingan dan dapat dipisahkan komponen yang relevan tidak

digunakan, dari data tersebut kita dapat menjawab pertanyaan.

 

 

18

 

 

2.4 Pedagang Kaki Lima

2.4.1 Pengertian pedagang kaki lima

 Menurut Nugroho (2003:159) pedagang kaki lima atau disebut dengan PKL

merupakan istilah yang mengacu pada pedagang kaki lima yang menjalankan bisnis

di kawasan daerah milik jalan (DMJ) untuk pejalan kaki, ada anggapan bahwa

istilah jajanan yang berjualan di pinggir jalan digunakan untuk menyebut pedagang

kaki lima yang memakai grobak. Istilah ini secara umum dipahami berarti bahwa

jumlah kaki seorang pedagang adalah lima. Lima kaki adalah dua kaki dari

pedagang dan tiga kaki dari tongkat gerobak (sebenarnya tiga tongkat atau dua

tongkat dan satu kaki).

  Pedagang kaki lima menurut peraturan daerah No. 1 tahun 2000

tentang pengaturan dan pembinaan pedagang kaki lima, Bab I ketentuan umum

pasal 1 ayat 5, pedagang kaki lima merupakan pedagang yang melaksanakan

kegiatan komersial informal dengan menggunakan lahanterbuka dan/atau tertutup,

seperti fasilitas umum yang ditetapkan oleh otoritas setempat sebagai lokasi

kegiatan komersial, dengan menggunakan alat yang dapat dipindahkan atau

menetap pada waktu yang telah ditentukan.

 Maka dapat disimpulkan bahwa pedagang kaki lima yaitu seseorang yang

memenuhi kebutuhan hidupnya melalui usaha berjualan di jalanan dengan

menggunakan gerobak yang berjualan di jalanan menggunakan ditempat terbuka

maupun tetutup dan dibutuhkan oleh masyarakat atas barang atau jasanya.

 

19

 

 

2.4.2 Ciri-ciri Pedagang Kaki Lima

 Ada perbedaan antara PKL dengan pedagang lainnya, ciri-ciri yang

dikemukakan oleh para akhli agar masyarakat dapat mebedagang mana pedagang

kaki lima dan mana pedagang lainnya:

 Ciri-ciri umum PKL yang dikemukakan oleh Kartono dkk. (1980:3-7),

yaitu:

a. Menjadi pedagang tergadang juga menjadi produsen.

b. Ada yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, ada yang menetap pada

satu tempat (menggunakan pikulan, grobak dorong, atau ruangan yang dapat

di bongkar pasang) 

c. Berjualan dengan bahan makanan-makanan, barang-barang konsumen

secara keliling ketempat satu ketempat yang lain.

d. Modal yang dimiliki biasanya kecil hanya dapat membeli peralatan, dan jasa

mereka sebagai bagian komisi.

e. Barang yang dijual belikan relatif rendah

f. Volume uang yang dimili tidak banya, daya pembeli rendah

g. Usaha berskala dapat berbentuk usaha keluarga, dimana seorang ibu dan

anak-anak berkontribusi dalam usaha tersebut, baik secara langsung

maupun tidak langsung.

h. Ciri khas dari PKL yaitu tawar menawar antara konsumen dan produsen.

i. Sedangkan dalam soal pekerjaan ada yang melakukannya dengan tuntas,

ada yang saat waktu senggang da nada juga yang musiman.

Dapat disimpulkan ciri-ciri dari pedagang kaki lima yaitu:

a. Pedagang yang menggunakan barang bergerak maupun tidak bergerak

menjajakan jualannya

b. Pedagang yang memiliki modal kecil untuk usahanya’

c. Menawarkan jualannya kesemua orang yang melewati usahanya

d. Berjualan di jalan-jalan dan ditempat keramaian, tanpa melihat tempat

tersebut dapat dilakukan usaha atau tempat berjualan

 

2.4.3 Karakteristik Pedagang Kaki Lima

Karakteristik pedagang kaki lima hampir mirip dengan ciri-ciri pokok sektor

informal. Ada beberapa karakteristik pedagang kaki lima berdasarkan dari

20

 

 

penelitian-penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa para akhli yang memiliki

pendapat tentang karakteristik pedagang kaki lima yaitu menurut Julissar An-naf

menyatakan dalam penelitiannya (dalam A. Widodo, 2003) ada 12 karakteriatik

PKL, adalah sebagai berikut:

1. Pada dasarnya bagi pedagang kaki lima, PKl merupakan mata pencaharian

utama.

2. Pada dasarnya, terbilang dalam usia produktif.

3. Dalam aspek pendidikan, pada dasarnya rendah

4. Sebagian besar, mereka adalah imigrasi dari daerah tersebut dan

mempunyai status penduduk resmi di kota

5. Melakukan kegiatan jualan tergolong lama

6. Pada awalnya mereka hanya seorang patani atau buruh, dan saat ini menjadi

PKL

7. Modalan mereka umumnya sangat kurang dan pendapatan penjualannya

juga relatif kecil

8. Pada dasarnya mereka memiliki/mengoprasikan modal sendiri dan tidak

memiliki ikatan yang baik dengan bank

9. Tidak memiliki modal yang cukup banyak

10. Pada dasarnya mereka sering terlihat jualan makanan atau pun kebutuhan

sekunder

11. Pendapatan yang diperoleh tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari di

perkotaan

12. Pada umumnya PKL terdapat biaya retribusi meupun pungutan-pungutan

yang liar.

Disimpulkan dari karakteristik diatas pedagang kaki lima adalah usaha yang

menggunakan modal kecil dan juga mendapatkan keuntunga yang rendah, maka

dari itu usaha PKL jauh dari kata perekonomian yang tinggi PKL sringkali dilihat

menempati ruang public (trotoar, taman, bahu jalan) untuk berdagang mencari

tempat keamaian. Kebanyakan yang membuka usaha PKL berusia prduktif dan

seringkali terlihat ibu dan anak-anak juga membantu berjualan di lapangan dan

dikenai pngutan retribusi meskipun usaha mereka sifatnya tidak formal.

 

21

 

 

2.4.4 Penyebab Munculnya Pedagang Kaki Lima

 Menurut Gilang permadi, S.S (2007: 67) dalam bukunya, penyebab

munculnya pedagang kaki lima adalah sebagai berikut:

1. Kesulitan Ekonomi

Pada tahun 1997-1999 terjadi krisi keuangan yang dialami oleh masyarakat

diakibatkan, banyak masyarkat kehilangan pekerjaan/pengangguran, dari

kejadian tersebut masyarakat banyak memilih untuk berjualan menjadi

PKL.

2. Sempitnya lapangan pekerjaan,

Saat ini sulitnya mencari pekerjaan dan banyaknya pengangguran.

Menjadikan orang–orang memilih untuk menjadi pedagang kaki lima,

karena PKL tidak membutuhkan modal yang sangat banyak. 

3. Urbanisasi

Migrasi dari desa ke kota, mencari pekerjaan, namun minimnya pendidikan

dan keterampilan mereka hanya mampu menjadi pedagang kaki lima.

 Dengan adanya peraturan UUD 1945 yang mengenai tanggung jawab

pemerintah menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Pedagang

kaki lima merupakan permasalah setiap negara dan disetiap kota memiliki

pedagang kaki lima yang menjadi permasalahan setiap daerah dan harus terdapat

penyelesaiannya seperti pembuatan perda. Tidak hanya disetiap daerah saja bahkan

di banyak Negara pun terdapat peagang kaki lima yang menjadi permasalah

nasional. Adanya pedagan kaki lima di karenakan:

1. Adanya keadaan perbandingan ekonomi dan pendidikan yang belum merata

di negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, pemerintah

memang bertanggung jawab untuk menjalankan pembangunan di bidang

pendidikan dan ekonomi.

2. Pedagang kaki lima ini muncul karena tidak adanya lapangan pekerjaan

untuk rakyat kecil yang kekurangan kapasitas produksi. Dalam hal ini,

pemerintah juga bertanggung jawab untik menyediakan lapangan pekerjaan.

3. Ada kepribadia atau mentalitas pejabat kita yang korupsi. Dana yang sudah

ada, baik dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(RAPBN), dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(RAPBD), atau dari dukungan negara berjalan untuk mengatasi maslah

kemiskinan, namun banyak dari dana tersebut yang tidak jelas dalam

22

 

 

penerapannya, sering terjadi penyelewengan-penyelewengan dalam

penerapanya hanya memberikan kesempatan para birokrasi dalam

melakukan kecurangan.

2.4.5 Bentuk Sarana Pedagang Kaki Lima (PKL)

 Terdapat banyak variasi sasaran para pedagang kaki lima unuk menjalankan

usahanya. Agar membuat mereka bisa berjualan dengan mudah. Dan perekonomian

mereka pun semakin meningkat. Berlandaskan kesimpulan penelitian yang

dilakukan oleh Mc. Green dan Yeung (dalam Novita, 2014) bentuk sarana pedagang

yang digunaka oleh PKL adalah sebagai berikut:

a. Grobak

Grobak ini berfungsi sebagai memudahkan dalam berjualan dan dapat

melindungi dari cuaca seperti kehujanan maupun kepanasa, terdapat dua

macam grobak yaitu grobak yang menggunakan atap dan grobak tanpa atap.

Bentu dari grobak dapat dikategorikan sebagai PKL yang menetap atau

permanen dan semi permanen.

b. Pikulan/keranjang

Yang sering kita ketahui PKL yang jualanya menggunakan pikulan jenis

barang yang mereka jual yaitu semacam minuman atau rokok, karena

mudah untuk dibawa berjualan. Jualan dengan menggunakan pikulan

biasanya jenis jualannya semi permanen

c. Warung semi permanen

Yang kita jumpai dengan jenis jualannya seperti tempat makan, grobak yang

digunakan sudah tertata dengan baik menerapkan bongkar pasang grobak

serta menyediakan meja dan kursi grobak yang digunakan menggunakan

atap yang terbuat dari bahan terpal untuk melindungi dari cuaca, jenis PKL

ini yaitu pedagang permanen.

d. Kios

Pedagang yang menggunakan tepatnya sekaligus mereka juga bisa tinggal

didalamnya, kios tersebut sudah tertata dengan rapi yang diatur seperti toko,

PKL yang menggunakan kios dapat dikategorikan sebagai pedagang yang

menetap.

e. Meja

Jenis PKL ini hanya menggunakan meja dan terdapat atap untuk melindungi

dari cuaca, pedagang kaki lima ini dapat dikategorikan sebagai pedagang

yang berjualan dengan menetap.

f. Alas

PKL menggunakan tikar, atau tikar dan lainnya unruk menyimpan barangbarang

 

mereka. Berdasarkan fasilitasnya, para pedagang ini dapat

23

 

 

diklasifikasikan sebagai pedagang permanen (semi-statis). Kebanyakan

dapat ditemukan di penjual makanan dan toko kelontong.

Dilihat dari pendapat diatas terdapat banyak jenis pedagang kaki lima untuk

mereka yang melakukan usaha berjualan dijalanan, terdapat banyak jenis-jenis

sarana yang mereka gunakan untuk memudahkan berjualan. Saat ini serinkali

terlhat pedagang kaki lima mengunakan sepedah montor dan dibelakan terdapat

gerobak kecil untuk mereka berjualan sarana ini dikategorikan keliling (mobile

howkwers) atau semi permanen (semi static), pedagang kaki lima sering kita jumpai

menjual jajanan gorengan seringkali terlihat ditempat-tempat keramaian.

2.4.6 Lokasi dan Waktu Berdagang PKL

 Pedagang memilki tujuan utama yaitu mendapatkan keuntungan dengan

menjualkan barang-barangnya. Seringkali dilihat pedagang menjualkan barang

dagangannya ditempat yang sering dikunjungi banyak pengunjung atau kosumen

dan tempat yang strategis mereka bejualan dilokasi tersebut agar barang yang

mereka jual dapat menghasilkan uang untuk mememnuhi kebutuhan hidupnya.

Dilihat dari jualan pedagang kaki lima diperuntukkan untuk masyarakat yang

menengah kebawah, seringkali terjadi tawar menawar oleh pedagang dan

konsumen PKL berjualan dengan harga yang relatif murah berbeda debgan harga

yang ditawarkan pertokoan dan kualitas yang diberiakan pun relatif rendah. Maka

dari itu sasaran dari PKL yaitu masyarakat menengah kebawah.

 Waktu berdagang juga harus dapat disesuaikan agar penjualan dapat

memberikan kesan yang maksimal dalam perekonomian. Banyak jenis usaha yang

dilakukan PKL baik beruba barang atau jasa. Dapat kita mengatur waktu untuk

24

 

 

berjualan makanan seperti bakso, lalapan dan makanan berat lainnya dapat

berjualan mulai dari siang sampai dengan malam begitu juga dengan makanan

ringan bisa sampai siang dan malam. Berbeda dengan berjualan baju-baju atau

bergerak dalam usaha jasa bisa mulai pagi sampai sore. Waktu tersebut sangat tepat

dilakukan mereka yang berjualan sebagai pedagang kaki lima.

 Heryeti (2002) dan Ardhansyah (2003) menerangkan terdapat beberapa

faktor yang mempengaruhi lokasi kegiatan dengan PKL, yaitu:

1. Faktor banyaknya pengunjung suatu wilayah

2. Kemungkinan pembeli memiliki tingkat daya beli yang tinggi

3. Keamanan dan kenyamanan dalam berjualan

Lokasi yang aman dan nyama untuk para PKL, adalah terdapat kebebasan dari

ancaman, seperti terjadinya penertiban perkotaan dan terhindar dari preman-

preman.

Dan diperkuat oleh joedo (dalam widjajanti 2009:164) menyatakan bahwa

penutupan wilayah yang diminati oleh sektor informasi atau pedagang kaki lima

adalah sebagai berikut:

1. Ada banyak orang yang menjalankan aktifitas bersama di waktu yang sama,

setiap harinya

2. Terletak didaerah tertentu yang terdapat di titik pusat kegiata ekonomi kota

dan pusat perkotan non-ekonomi, namun sering dikunjungi oleh jumlah

besar wisatawan

3. Memiliki kenyamanan hubungan antara pedagang kaki lima dengan

pembeli potensial, meskipun dalam lingkungan yang relatif sempit

4. Disuatu ruang lingkup wilayah menginginkan ketersediaan

sarana/prasarana dan manfaat pada pelayanan umum.

25

 

 

Menurut perda Kota Malang No.1 tahun 2000 Bab II: lokasi, pasal 2 mengatur

tentang lokasi pedagang kaki lima:

1. Suatu kegiatan pedagang kaki lima dapat dijalankan pada suatu daerah

2. Wilayah/temat pedagang kaki lima sebagai halnya, dimaksud pada ayat (1)

pasal pasal ini ditetapkan lebih lanjut oleh kepala daerah.

2.4.7 Relokasi Pedagang Kaki Lima

Kemunculan PKL menjadi suatu permasalahan setiap kota-kota besar

karena para PKL seringkali terlihat di ruang publik menjadi tidak tertata, dan

kebersihan lingkungan pun menjadi kurang. Relokasi inilah yang menjadi salah satu

gagasan mengembalikan ketertiban. Relokasi merupakan suatu kegiatan untuk

mengganti aktivitas tertentu di tanah sesuai dengan alokasinya (Harianto, 2001).

Ramadhan (2005) dan Harianto (2001) mewujudkan keadaan yang menjadi

perninjauan dalam penempatan lokasi relokasi PKL, yaitu:

a. Strategis wilayah, memudahkan pembeli mengakses wilayah usaha PKL

sebab dukungan aksesibilitas.

b. Elemen visual mencitakan kesan serasi dan indah, mudah menarik perhatian

pembeli

c. Tingkatan pembangunan, cakupan pelayanan yang murah sehingga tidak

memberatkan pedagang 

d. Sewa atau penjual lahan/kos yang murah maka tidak mempersulit PKL

Diperkuat oleh Apriyano (2003) bahwa lokasi untuk relokasi PKL adalah sebaga

berikut:

1. Mempehatikan faktor tempat suatu wilayah dan permintaan komonditi

2. Terdapat akses masuk ke dalam pasar seperti tersedianya pintu/gerbang

keluar dan masuk yang memadai.

3. Dekat dengan terminal atau stasiun mempermudah mobilitas konsumen dan

pedagang.


Continue reading PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)

Jumat, Desember 09, 2022

IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI

  


IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI

Konsep Kebijakan Publik

Teori Kebijakan Publik

Dalam proses hidup bernegara yang menjalankan sistem demokrasi seperti di negara Indonesia maka proses pemerintahan dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap yang pertama adalah merusumuskan kebijakan dan tahap kedua pelaksanaan kebijakan yang telah di tetapkan. Menurut Miriam Budiarjo (2007:20) dalam buku dasar – dasar ilmu politik kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.

Sebagaimana diungkapkan oleh Riant Nugroho (2009) dalam buku administrasi publik Yogi Suprayogi Sugandi (2011:74) dikatakan bahwasanya kebijakan publik adalah menuliskan keputusan yang dibuat oleh negara khususnya pemerintah sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Thomas R Dye dalam buku studi analisis kebijakan Rahayu Kusuma Dewi (2016:17) mengatakan bahwa “Public policy is whatever government chose to do or not to do” (“apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”).

 

Dimana secara sederhana kebijakan dapat diartikan sebagai aturan yang berbentuk secara tertulis , berupa keputusan resmi sebuah organisasi yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia  baik secara publik ataupun privat.

Pandangan lain mengenai Kebijkan Publik juga di ungkapkan Richard Rose (1969) dalam buku studi analisis kebijakan Rahayu Kusuma Dewi (2016:17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai sebuah rangkaian panjang dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki konsekuensi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan.

Menurut Harold Lasswell dan Kaplan dalam buku yang sama juga memberikan definisi kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dan berisikan tujuan – tujuan, nilai-nilai , dan praktik – praktik pelaksanaan kegiatan.

Tentunya dalam sebuah pembuatan kebijakan publik tidak hanya memiliki fungsi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada , namun juga berfungsi mencegah timbulnya permasalahan yang lain. Agar dapat berfungsi dengan baik kebijakan publik memiliki prinsip – prinsip yang harus diperhatikan. Dimana prinsip tersebut dapat dipergunakan sebagai sebuah pedoman untuk membuat suatu kebijakan publik.

Menurut Association of Washington Business,2002 (Rahayu Kusuma Dewi, 2016:20) terdapat 17 prinsip kebijakan publik, yaitu : (1) Menjaga perkembangan sektor swasta, dimana yang dimaksud disini pemerintah harus bisa menjamin bahwa kebijakan publik yang diputuskan tidak boleh memberi batasan – batasan terhadap perkembangan sektor swasta baik secara langsung atau tidak. (2) Melibatkan rakyat dalam perkembangannya , dalam prinsip ini memberikan penjelasan bahwasanya kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus diketahui dan selalu mempertimmbangkan pendapat rakyat. Tidak boleh pemerintah menjalankan sebuah kebijakan yang tidak disetujui rakyatnya. (3) Dilandasi analisis manfaat sosial , dalam prinsip ini pemerintah selalu dituntut untuk mengutamakan manfaat dari kebijakan yang diputuskan bagi seluruh masyarakat. (4) Prinsip fleksibel , ini merupakan sifat yang harus dimiliki pemerintah , artinya pemerintah memiliki kesediaan untuk memberikan pengecualiaan dalam pelaksanaan kebijakan apabila kebijakan yang diambil merugikan masyarakat secara khusus. (5) Mencapai tujuan lain dan terukur, setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus diukur tingkat keberhasilnya dengan melakukan evaluasi. (6) Disertai dengan dokumentasi , prinsip ini bertujuan agar setiap kebijakan publik yang telah dilaksanakan oleh pemerintah harus disertai dengan dokumentasi sebagai bukti bahwa kebijakan tersebut telah dijalankan. (7) Memberikan insentif berbabsis pasar , dalam prinsip ini diharapkan apa yang telah menjadi keputusan kebijakan oleh pemerintah memiliki dampak hasil yang menguntungkan. (8) Dilaksanakan oleh pemerintah fungsional, bahwa kebijakan publik dibuat oleh pemerintah fungsional yang harapanya bisa terlaksana dengan cepat dan efektif dalam mengatasi berbagai isu – isu publik. (9) Prinsip jelas dan realitas, dimana kebijakan publik harus memiliki batasan dan dasar hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh seluruh pelaksana termasuk masyarakat. (10) Hukum yang sederhana, maksud dari prinsip ini untuk mencegah munculnya kerancuan dalam penetapan sanksi atau pelanggaran atas kebijakan yang dijalankan. (11) Konsisten dengan hukum yang ada, jadi kebijakan harus berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. (12) Mendukung inovasi pemerintah, dalam hal ini yang didukung adalah bagaimana pemerintah dapat meningkatkan pelayanan publik yang efisien dengan biaya yang paling minimal. (13) Memprioritaskan efisiensi penggunanan sumber daya publik dan swasta. Kebijakan yang diambil pemerintah selalu dituntut untuk memprioritaskan penggunaan sumber daya secara maksimal baik sumber daya publik ataupun swasta sehingga sumber daya yang dimiliki dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. (14) Memastikan kedudukan stakeholder komite dan dewan merupakan wakil dari setiap bagian dalam organisasi. (15) Tepat sanksi , kebijakan harus tepat dalam pemberian sanksi –sanksi agar sesuai dengan hukum dan batasan kewajaran terhadap pelanggaran yang dilakukan. (16) Membatasi hukuman sipil untuk restitusi ekonomi, dimana kebijakan harus memiliki batas dalam menentukan denda tertentu secara jelas dan juga batasan terhadap sanksi pidana dan yang terakhir (17) Prinsip disertai waktu yang jelas dimana dalam menetapkan sebuah kebijakan harus memiliki jangka waktu tertentu dalam pelaksanaannya sehingga kebijakan dapat berjalan efektif.

 

2.1.2 Tahapan – Tahapan Kebijakan 

Dengan adanya prinsip - prinsip dalam pembuatan sebuah kebijakan tersebut yang digunakan sebagai pedoman maka diharapkan sebuah kebijakan publik yang diputuskan oleh sebuah pemerintahan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Dari adanya prinsip – prinsip tersebut tentunya proses pembuatan kebijakan memiliki beberapa tahapan yang harus dijalankan.

Para ahli kebijakan publik juga memiliki pandangan berbeda - beda dalam memberi istilah maupun menentukan tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Setidaknya ada enam tahapan proses pembuatan kebijakan publik menurut Edi Suharto  (dalam Rahayu Kusumu Dewi, 2016:26) sebagai berikut :

1.      Pendefinisian masalah (problem definition).

Tahap pertama ini berhubungan dengan pengenalan dan perumusan isu - isu yang menjadi perhatian khusus pemerintahan. Dimana isu tersebut juga berkembang di kalangan masyarakat dan berkembang menjadi sebuah masalah disaat muncul kesadaran atau kebutuhan masyarakat maka untuk melakukan perubahan pada kondisi tersebut diperlukan tindakan – tindakan dari pemerintah. Dalam tahap ini banyak melibatkan partisipan baik individu maupun kelompok.

 

 

2.      Tahap penentuan agenda (agenda setting).

Dalam tahap ini ditentukan apa saja masalah - masalah yang menjadi prioritas. Tentu pada tahap ini merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan dan berpengaruh pada alternatif pemecahan masalah.

3.      Perumusuan alternatif kebijakan (policy formulation).

Pada tahap ini memerlukan keterlibatan komunitas kebijakan yang biasanya terdiri dari pejabat pemerintah , kelompok kepentingan , akademisi , badan penelitian , kelompok cendekia dan wiraswasta kebijakan. Tahap ini juga memerlukan berbagai konsep yang digunakan untuk tujuan menjelaskan hubungan antara penentu agenda dengan perumus alternatif.

4.      Pemilihan alternative kebijakan (policy adoption).

Dalam tahap ini terkait dengan pencapaian titik temu dalam pemilihan alternatif yang tersedia dan juga berkenaan dengan pengesahan dari alternatif yang dipilih. Menjadikan suatu rancangan ditetapkan menjadi sebuah peraturan.

5.      Pelaksanaan kebijakan (policy implementation).

Tahap ini berisi mengenai upaya –upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Dimana pelaksanaan kebijakan dapat berupa proses sederhana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dari tahap sebelumnya atau dapat simpulkan sebagai aktivitas lanjutan setelah kebijakan disahkan.

6.      Tahap penilaian kebijakan (policy evaluation).

Tahap ini berisikan tentang pembahasan proses implementasi kebijakan, mengidentifikasi apa saja yang menjadi hasil dan dampak dari implementasi kebijakan. Evaluasi juga menghasilkan umpan balik untuk menentukan kebijakan diteruskan atau dihentikan.

2.1.3 Model – Model Kebijakan

Kebijakan juga memiliki sebuah model – model dimana model kebijakan publik dapat diartikan sebagai sebuah teori atau cara berfikir yang dapat dipergunakan untuk memecahkan sebuah masalah dari kebijakan publik itu sendiri. Ada berbagai model salah satunya adalah model kebijakan yang ditinjau dari aspek implememntasinya, model ini juga diungkapkan oleh beberapa para ahli dalam buku studi analisis kebijakan Rahayu Kusuma Dewi (2016:38), sebagai berikut :

1.      Model Mazmanian dan Sabiter, dimana model ini disusun atas dasar proses implementasi kebijaksanaan. Sebagai sebuah proses bahwasanya implementasi kebijakan memiliki tiga variable bebas dalam proses tahapanya , sebagai berikut : (1) mudah atau tidaknya permasalahan yang dikendalikan ; (2) kemampuan penentu kebijaksanaan dalam menyusun proses implementasi  ; (3) variabel di luar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses implementasi. Dari tiga variabel diatas tentu variabel pertama berpengaruh terhadap variabel lainnya.

Ada beberapa indikator mengenai variabel pertama yaitu mudah atau tidaknya permasalahan yang dikendalikan oleh kebijakan mulai dari keadaan yang beragam dari perilaku sasaran , jumlah perbandingan antara kelompok sasaran dengan jumlah penduduk yang ada , dan ruang lingkup terhadap perubahan perilaku yang diharapkan.

Kemampuan kebijakan juga dapat dilihat dari beberapa variabel atau indikator – indikator yang ada, mulai dari kejelasan serta konsistensi terhadap tujuan, penggunaan teori kausalitas (sebab– akibat) yang memadai, alokasi sumber dana yang tepat , hierarki yang terpadu antar pelaksana, aturan – aturan dari badan pelaksana, perekrutan pejabat pelaksana dan juga akses formal terhadap pihak luar. 

Ada beberapa varibel ketiga diluar kebijakan yang dimaksud dari model ini yaitu, kondisi sosial ekonomi serta teknologi yang ada, dukungan masyarakat atau publik, sikap serta sumber yang dimiliki, dukungan pejabat atau atasan terhadap kebijakan dam komitmen serta kemampuan memimpin dari pejabat pelaksana yang telah direkrut.

2.      Model Hogwood dan Gunn, yang menjelaskan bahwasanya pengimplementasian kebijakan sebuah negara memerlukan berbagai syarat untuk mencapai sempurna, syarat itu antara lain : adanya hal yang menyebabkan terjadinya gangguan atau hambatan secara serius, adanya waktu serta sumber yang sesuai, tersedia perbaduan sumber yang dimiliki dengan yang diperlukan, kebijaksanaan yang di implementasikan sesalu didasari hubungan kausalitas, hubungan saling ketergantungan harus seminimal mungkin, pemahaman mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan, tugas – tugas yang terperinci dengan baik, komunikasi serta koordinasi yang baik dan pihak – pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan dari kebijakan yang telah diputuskan.

Dari penjelasan diatas maka dapat kita lihat bahwasanya setiap kebijakan memiliki proses perumusan. Sehingga dalam proses implementasi kebijakan tersebut dapat dinilai apabila melihat secara keselurhan dari berbagai sudut pandang untuk mengetahui bagaimana proses pengimplementasian peraturan yang telah diputuskan. Seperti pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Nontunai untuk mengetahui bagaimana kebijakan ini berjalan di masyarakat, maka peneliti melakukan studi secara langsung di Kota Batu, Jawa Timur.

Pemerintah juga mempertimbangkan bagaimana cara yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat fakir miskin, dimana negara memiliki keharusan untuk melaksanakan penanggulangan kemiskinan melalui berbagai cara, salah satu cara tersebut dengan memberikan bantuan sosial pangan. Dimana harapanya melalui kebijakan ini Program BPNT mampu membantu meringankan beban dari masyarakat miskin dan program dapat diimplementasikan secara baik di masyarakat agar proses dari penyaluran BPNT berjalan sesuai dengan harapan.

 

 

2.2 Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi selalu erat kaitanya dengan studi kebijakan publik karena merupakan sebuah hal yang sangat krusial. Kata implementasi sendiri merupakan penafsiran dari bahasa inggris implementation yang berupa kata kerja dari implement. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata implementasi berarti pelaksaan atau penerapan dari sebuah bentuk – bentuk hal yang sudah disepakati terlebih dahulu.

Menurut pandangan Van Meter dan Van Horn (dalam Rahayu Kusuma Dewi, 2016:154) mendefinisikan implementasi sebagai proses maka implementasi merupakan tindakan yang dilakukan, baik oleh individu maupun unit pemerintahan atau suatu yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Seperti yang kita tahu bahwasanya  pada akhir – akhir ini implementasi menjadi hal yang menarik untuk dikaji kembali. Implementasi dari sebuah program pemerintahan mendapat perhatian lebih dari kalangan masyarakat , hal ini terjadi karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah di berbagai bidang kurang atau bahkan tidak efektif, khususnya disebabkan oleh persoalan – persolan yang muncul pada proses pelaksanaan.

Dalam kaitanya pada proses kepentingan publik menurut pandangan Shafritz dan Russel, 2005 (dalam Pandji Santosa, 2008:42) mengungkapan bahwasanya:

“Implementation is the process of putting a government program into effects; it is the total process of translating a legal mandate, whether an executive order or an enacted statute into appropriate program directives and structures that provide services or creative goods.” (Implementasi adalah proses penerapan program pemerintah; adalah proses total menerjemahkan mandat hukum , apakah perintah eksekutif atau undang – undang yang berlaku ke dalam arahan program yang sesuai dan struktur yang menyediakan layanan atau barang kreatif).

 

Dari penjelasan teori tersebut kita tahu bahwa implementasi kebijakan sebagai alat administrasi yang berfokus untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku. Seperti yang dinyatakan oleh Mazmanian dan Sabatier, 1983 (dalam Pandji Santosa, 2008:42) mengungkapkan bahwasanya :

“Implementation is caring out of a basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executive orders or court dcisions. Ideally that decisions identifies the problem(s) to be adressed, stimulate(s) to be pursued, and , in a varieaty of ways, “structures” the implementation process. The process normally runs through a number of stages beginning with passage of the basic statute, followed by the policy output (decisions) od the implementing agencies, the compliance of target groups with those decisions the actual impact-both intended and unintended- of those outpust, the perceived impact of agency decisions, and finally, important revisions for attempted revisions in the basic statute” (Implementasi adalah kepedulian terhadap keputusan kebijakan dasar, biasanya dimasukkan dalam undang –undang tetapi juga dapat berbentuk perintah eksekutif atau keputusan pengadilan yang penting. Idealnya keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang harius ditangani, merangsang untuk dikejar , dan dalam berbagai cara, “menstrukturkan” proses implementasi. Proses tersebut biasanya berjalan melalui beberapa tahap yang dimulai  dengan pengesahan undang-undang dasar, diikuti oleh keluaran kebijakan (keputusan) dari lembaga pelaksana, kepatuhan kelompok sasaran dengan keputusan tersebut, dampak aktual baik yang disengaja maupun tidak diinginkan dari keluaran tersebut, dampak yang dirasakan dari keputusan lembaga, dan akhirnya , revisi penting untuk dalam undang-undang.)

 

Dari teori Mazmanian dan Sabitier tersebut menunjukan bahwasanya implementasi kebijakan sebagai proses pelaksanaan dari kebijakan dasar (undang-undang) atau dari keputusan eksekutif yang penting. Dimana dalam keputusan tersebut terdapat pemahaman mengenai masalah – masalah yang ingin diatasi dan tentu terdapat pula tujuan serta sasaran yang ingin dicapai.

Implementasi kebijakan dapat dikatakan efektif apabila para pembuat kebijakan dan implementor memahami apa yang mereka kerjakan dimana hal ini dapat terjadi apabila komunikasi berjalan dengan baik. George C. Edward III menguraikan tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan (Winarno, 2002) , tiga hal tersebut adalah transmisi, kejelasana dan konsistensi.

Yang pertama, Transmisi yang merupakan pihak – pihak yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus dilakukan. Dimana komunikasi harus akurat dan mudah dimengerti, dalam hal ini tujuan dan sasaran dari kebijakan harus disampaikan kepada kelompok sasaran untuk mengurangi dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Kedua Kejelasan, jika kebijakan hendak diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, petunjuk – petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksanana, akan tetapi komunikasi juga harus jelas. Karena ketidakjelasan komunikasi dapat berakibat terjadinya interpretasi yang salah bahkan berlawanan dengan makna awal kebijakan. Yang terakhir adalah Konsistensi, bila implementasi kebijakan ingin berjalan dengan efektif, perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.

Menurut pandangan Peter de Leon dan Linda de Leon, 2001 (dalam Rahahyu Kusuma Dewi, 2016:161) mengungkapkan bahwasanya Pendekatan dalam implementasi kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi yang kemudian peneliti ringkas menjadi :

Generasi Pertama berlangsung pada tahun 1970-an , dimana dipahami implementasi kebijakan sebagai masalah – masalah yang terjadi di antara kebijakan dan eksekusinya. Generasi kedua berlangsung pada tahun 1980-an dimana pada masa ini implementasi kebijakan yang memiliki sifat top-downer perspective (dari atas ke bawah) dikembangkan dan fokus penerapanya pada sebuah birokrasi , disaat yang sama juga pendekatan bottom upper (dari bawah ke atas) berkembang. Generasi ketiga berlangsung pada tahun 1990-an , pada masa ini dikenalkan bahwasanya varibel atau faktor perilaku dari aktor pelaksana implementasi kebijakanlah yang lebih menentukan keberhasilan dari implementasi kebijakan serta di masa yang sama muncul pendekatan situasional dalam implementasi kebijakan.

 

Dari munculnya generasi – generasi tersebut menimbulkan munculnya konsentrasi pemikiran tentang implementasi kebijakan atau yang sekaligus menjadi model – model implementasi. Salah satu dari model tersebut adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn , dengan Model Top Down Approach.

Dimana menurut pandangan mereka implementasi kebijakan dapat berjalan dengan sempurna apabila memiliki beberapa persyaratan , sebagai berikut : (1) Kondisi eksternal yang tidak menghambat atau menimbulkan gangguan (2) Tersedia sumber dan waktu yang memadai (3) Perpaduan dari sumber yang tersedia (4) hubungan antara rencana dan pelaksanaanya (5) hubungan dependensi (ketergantungan) yang minim (6) Pemahaman mendalam dan kesepakatan tujuan (7) Tugas yang rinci dan berurutan dengan tepat (8) Komunikasi yang baik (sempurna) dan (9) Pihak yang berwenang mendapat kepatuhan. Dari syarat – syarat yang ada dapat kita lihat bahwa model ini mendasarkan pada konsep manajemen strategis dan bertujuan pada praktik manajemen yang sistematis.

Adapun model lain yaitu Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier yang disebut dengan model kerangka analisis implementasi. Dimana menurut model ini implementasi adalah sebuah upaya unutk melaksanakan keputusan kebijakan. Dalam model ini juga dikategorikan proses implementasi yang terdapat pada tiga kategori besar , sebagai berikut:

Kategori pertama adalah mudah atau sulitnya permasalahan untuk dikendalikan yang bisa dilihat dari beberapa indikator yaitu : (a) Dari fungsinya (b) Kesulitan – kesulitan teknis (c) kesamaan perilaku yang akan diatur (d) presentasi jumlah sasaran dari jumlah penduduk yang ada dan (e) tingkat perubahan perilaku yang diharapkan.

Kategori kedua adalah kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi  dengan beberapa faktor sebagai berikut : (a) Kecermatan dan kejelasan tentang tujuan yang dicapai, (b) keahlian mempergunakan teori kausalitas, (c) Ketepatan mengalokasikan sumber dana, (d) Kesinambungan dari hierarki yang ada dilingkungan maupun pelaksana, (e) Aturan pembuat keputusan dari pelaksana, (f) Kesepakatan para pejabat dalam menjalankan maksud dan tujuan yang ada dalam peraturan dan (g) akses – akses formal dimana badan badan eksekutif , legislative dan yudikatif sebagai atasan pelaksana.

Kategori ketiga adalah varibel – variabel diluar unndang – undang yang mempengaruhi implementasinya, yaitu sebagai berikut : (a) Kondisi situasi politik yang didalamnya tentu terdapat kebutuhan program yang berbeda bagi kepentingan kelompok dukungan politik yang menuju pada dirugikan atau tidak dirugikanya kelompok kepentingan (b) Kondisi anak dan teknologi yang dipertimbangkan dalam keseriusan permasalahan yang dihadapi dan (c) Dukungan publik melalui pendapat umum atau opini baik langsung maupun melalui media massa, sikap kelompok masyarakat, dukungan dari lembaga yang berwenang, kesepakatan serta kemampuan kepemimpinan dari pejabat – pejabat pelaksana dan tahap – tahap dalam proses implementasi mulai dari output berupa ketentuan dari badan pelaksana , kepatuhan kelompok sasaran, dampak yang dihasilkan, persepsi yang muncul serta evaluasi sistem politik tehadap peraturan atau undang – undang.

Seperti pada Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dimana program ini adalah wujud dari implementasi kebijakan yang diatur proses penyalurnya dalam Peraturan Mentri Sosial RI Nomor 11 Tahun 2018 yang tentu didalamnya terdapat berbagai prosedur penyaluran yang berfungsi untuk mengatur proses implementasi agar berjalan dengan baik.

 Maka salah satu cara menilai keberhasilan sebuah program terdapat pada poses implementasinya dimana dalam tahap ini merupakan tahap yang terpenting dimana secara keseluruhan program dapat dinilai berhasil atau tidak. Seperti pada implementasi Program Bantuan Pangan Non Tunai ini dimana keberhasilan dapat dilihat apakah sudah dijalankan sesuai dengan peraturan – peraturan yang ditetapkan.

Dalam hal ini harus adanya tahapan – tahapan yang dilalui seperti pada pedoman program mulai dari persiapan pelaksanaan , pembentukan agen – agen penyaluran atau e-warong , melakukan edukasi pada masyarakat melalui sosialisasi dan pada proses penyaluran BPNT itu sendiri. Juga salah satu yang terpenting adalah ketepatan sasaran seperti pada prinsip agar kemanfaatan dari program dapat dirasakan oleh penerima.

Namun apabila ada tahapan – tahapan penting yang dilewatkan seperti tidak adanya agen penyalur , tidak dilakukanya edukasi dan juga proses penyaluran yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku maka program BPNT ini dapat dinilai tidak berhasil dan perlu dilakukan peninjauan serta evaluasi agar program BPNT dapat berjalan sesuai denga pedoman maupun peraturan yang berlaku.

Maka dapat disimpulkan apa yang menjadi maksud Implementasi Program Bantuan Pangan Non Tunai yang berhasil adalah tercapainya tujuan – tujuan dari program dengan melalui tahapan – tahapan yang telah ditetapkan.

2.3 Program Bantuan Pangan Non Tunai

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Program adalah sebuah rancangan mengenai asas atau usaha (dalam ketatanegaraan, perekonomian dan sebagainya) yang akan dijalankan. Secara umum definisi mengenai program adalah kumpulan intruksi , rencana kegiatan , pedoman, acara ataupun daftar yang berurutan.Berdasarkan pedoman umum BPNT dijelaskan bahwasanya :

Bantuan Pangan Non Tunai adalah bantuan sosial pangan yang disalurkan dalam bentuk non tunai dari pemerintah kepada KPM (Keluarga Penerima Manfaat) setiap bulannya melalui mekanisme uang elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan atau disebut E-warong yang bekerjasama dengan Bank Penyalur.

 

Program BPNT ini adalah hasil dari pembaharuan program-program sebelumnya yang dikenal dengan RASKIN atau Beras Untuk Masyarakat Miskin dimana program ini memberikan bantuan berupa beras yang dalam prosesnya menggunakan mekanisme biaya tebus dengan harga murah. Masyarakat juga memiliki batas dalam pembelian beras murah ini yaitu maksimal sebesar 10 (Sepuluh) Kilogram yang pada masa itu di beri harga Rp.32.000,- (Tiga Puluh Dua Ribu Rupiah). Program RASKIN ini berjalan cukup lama dan menimbulkan banyak perdebatan di kalangan masyarakat.

Akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan perubahan nama program RASKIN menjadi RASTRA yang merupakan singkatan dari Beras Sejahtera. Tentu tidak hanyak nama yang berubah , namun pada mekanisme biaya tebus juga dihilangkan.  Sejalan dengan tujuan Presiden RI Joko Widodo mengenai Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) maka program RASTRA juga mengalami perubahan. Program tersebut juga mengalami perubahan menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Dalam proses penerapanya Program Bantuan Pangan Non Tunai memiliki prinsip – prinsip dasar yang dikenal dengan 6T , sebagai berikut :

a.       Tepat Waktu, tentu yang dimaksudkan adalah pada proses penyaluran dana bantuan memiliki jangan waktu batasan maksimal. Agar keluarga penerima manfaat dapat menerima dan mempergunakan bantuan tersebut.

b.      Tepat Sasaran, yaitu penerima BPNT adalah keluarga yang telah terdata pada sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

c.       Tepat Jumlah, yang berarti dana bantuan yang masuk pada rekening penerima harus sesuai dengan aturan besaran nominal.

d.      Tepat Kualitas, yaitu segala macam komiditi yang menjadi hak penerima harus memiliki kualitas yang memenuhi standar kelayakan.

e.       Tepat Harga, tentunya dalam penentuan harga barang komoditi harus sesuai dengan harga pasar agar tidak terjadi selisih harga yang memberatkan keluarga penerima.

f.        Tepat Administrasi, dimana segala transaksi yang dilakukan oleh pihak penyalur harus memiliki bukti transaksi.

Program Bantuan Pangan Non Tunai ini dijalankan bukan tanpa tujuan. Ada berbagai tujuan yang diharapkan, antara lain :

a.       Mengurangi beban pengeluaran Keluarga Penerima Manfaat melalui pemenuhan kebutuhan dasar pangan.

b.      Memberikan gizi yang lebih seimbang kepada penerima manfaat.

c.       Meningkatkan ketepatan sasaran dan ketepatan waktu penerimaan bantuan pangan.

d.      Memberikan lebih banyak pilihan kepada keluarga penerima manfaat.

e.       Mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

Manfaat dari Program Bantuan Pangan Non Tunai , antara lain :

a.       Untuk meningkatkan ketahanan pangan para Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang sekaligus menjadi suatu mekanisme pemerintah dalam perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan.

b.      Meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama usaha mikro di bidang perdagangan.

c.       Meningkatkan transaksi dalam agenda Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).

d.      Meningkatkan efisiensi dalam proses penyaluran bantuan sosial.

Seperti pada penjelasan mengenai Program BPNT diatas bahwasanya bantuan ini diperuntukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat tersebut adalah keluarga yang disebut dengan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang tentunya telah terdata melalui sistem yang disebut dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Berikut ini adalah gambaran alur proses perubahan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Sesuai dengan gambar bagan diatas pada awal BPNT dijalankan pada tahun 2017 nominal yang diberikan sebesar Rp.110.000,- / bulan dimana uang tersebut hanya dapat ditukarkan menjadi beberapa komoditi antara lain : beras , gula , minyak , telur dan tepung.

Namun pada tahun 2018 pemilihan komoditi kebutuhan pokok tersebut berubah menjadi hanya untuk beras dan telur dengan beberapa aspek pertimbangan. Pada tahun berikutnya 2019 BPNT menambah jumlah nominal bantuan yang diberikan menjadi Rp.150.000,-/bulan dengan komoditi yang sama yaitu beras dan telur.

Pada pertengahan tahun 2020 kebijakan tersebut berubah menjadi Program Sembako dengan jumlah nominal bantuan Rp.200.000 / bulan dengan pemilihan komoditi yang bertambah yaitu beras , telur , protein hewani (daging) , protein nabati ( kacang-kacangan) , vitamin dan mineral ( buah dan sayur). Pengantian nama ini diambil dengan alasan agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat secara luas.

2.4    Implementasi Program BPNT dalam PERMENSOS NO 11 TAHUN 2018

Tentu dalam lahirnya sebuah program memiliki sebuah dasar hukum, seperti pada Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang memiliki dasar hukum tentang proses penyaluran bantuan non tunai secara tertulis pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2018. Pasal 9 (Sembilan) dijelaskan ada beberapa tahapan mekanisme yang harus dilalui dalam penyaluran Program BPNT , sebagaimana berikut :

Mekanisme penyaluran BPNT dilakukan melalui tahapan :

a.       registrasi dan/ atau pembukaan rekening;

b.      edukasi dan sosialisasi;

c.       penyaluran; dan

d.      pembelian barang.

 

Registrasi dan pembukaan rekening bagi KPM diperjelas dalam pasal 10 (Sepuluh) dimana kegiatan ini meliputi pembukaan rekening secara kolektif, pencetakan kartu, aktivasi, dan dilakukanya pendistribusian kartu yang tentunya dilakukan oleh Bank Penyalur yang telah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin. Pada kegiatan ini tentu memiliki batas waktu yang diatur pada pasal 11 (Sebelas) yaitu registrasi dan pembukaan rekening harus diselesaikan paling lambat 60 hari setelah data dari KPM BPNT diterima oleh Bank Penyalur.

Sebelum melakukan kegiatan resgistrasi dan pembukaan rekening tentunya Bank Penyalur telah melakukan persiapan dan koordinasi mengenai E-warong  berdasarkan jumlah dan lokasi yang telah ditetapkan oleh Menteri seperti  yang tertulis pada pasal 6. Pada pasal 12 dijelaskan bahwa Bank Penyalur memiliki tugas untuk mengidentifikasi, mempersiapkan pedagang dan agen agar dapat menjadi E-warong yang dapat menyalurkan BPNT. Setelah melakukan proses persiapan E-warong mengetahui jumlah calon KPM, E-warong juga memiliki batas maksimal KPM BPNT yang dilayani yaitu sebanyak 250 penerima yang diatur dalam pasal 14.

Apabila registrasi dan pembukaan rekening telah selesai dilakukan, maka tahap berikutnya adalah memberikan edukasi dan sosialisasi kepada Keluarga Penerima Manfaat , Pendamping sosial BANSOS Pangan, dan aparat pemerintah daerah yang dijelaskan pada pasal 15. Kegiatan edukasi dan sosialisasi ini dilaksanakan bersamaan dengan  proses pendistribusian, pengecekan keberadaan KPM dan aktivasi kartu.

Pada proses edukasi dan sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai media yang ada mulai dari tatap muka , media elektronik , media cetak , media sosial bahkan melalui daring sekalipun.Tahap berikutnya pada pasal 21 adalah penyaluran yang dilakukan oleh Bank Penyalur dengan dilakukanya pemindahbukuan dana dari Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin kepada rekening Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan batas waktu paling lama 30 hari.

Maka tahap terakhir adalah pembelian barang yang dilakukan oleh KPM setelah menerima Bantuan Pangan Non Tunai sebesar Rp.110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) pada tiap bulan yang diatur pada pasal 23. Dana tersebut tentunya tidak dapat diambil secara tunai dan hanya dapat dipergunakan untuk pembelian bahan – bahan pangan yang telah ditentukan dengan menggunakan kartu di e-warong. Tentunya dana yang diberikan tersebut sudah diperhitungkan sesuai dengan kemampuan negara.

Pada proses pembelian barang untuk pertama kalinya  Bank Penyalur memiliki tugas yang dijelaskan pada pasal 24 untuk memberikan informasi mengenai pembukaan rekening , PIN untuk penggunaan rekening, jumlah dana bantuan yang disalurkan, tata cara pembelian barang bahan pangan dan informasi mengenai tabungan. Proses pembelian bahan pangan menggunakan kartu ini dapat dilakukan setiap saat sesuai dengan kebutuhan keluarga penerima manfaat.  

Dari penjelasan singkat mengenai mekanisme tahapan Program Bantuan Pangan Non Tunai yang ada pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2018 ini maka implementasi program dapat dinilai. Apabila sudah berjalan sesuai dengan tahapan - tahapan yang ada maka dapat disimpulkan implementasi program BPNT yang ada di Kota Batu terlah berjalan dengan baik. Namun apabila banyak kendala – kendala yang belum dapat ditemukan solusi pada proses implementasi di lapangan maka program BPNT masih belum berjalan dengan baik dan tentu perlu dilakukan evaluasi kembali.

Continue reading IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI