Jumat, Desember 09, 2022

IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI

  


IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI

Konsep Kebijakan Publik

Teori Kebijakan Publik

Dalam proses hidup bernegara yang menjalankan sistem demokrasi seperti di negara Indonesia maka proses pemerintahan dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap yang pertama adalah merusumuskan kebijakan dan tahap kedua pelaksanaan kebijakan yang telah di tetapkan. Menurut Miriam Budiarjo (2007:20) dalam buku dasar – dasar ilmu politik kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu.

Sebagaimana diungkapkan oleh Riant Nugroho (2009) dalam buku administrasi publik Yogi Suprayogi Sugandi (2011:74) dikatakan bahwasanya kebijakan publik adalah menuliskan keputusan yang dibuat oleh negara khususnya pemerintah sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Thomas R Dye dalam buku studi analisis kebijakan Rahayu Kusuma Dewi (2016:17) mengatakan bahwa “Public policy is whatever government chose to do or not to do” (“apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”).

 

Dimana secara sederhana kebijakan dapat diartikan sebagai aturan yang berbentuk secara tertulis , berupa keputusan resmi sebuah organisasi yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia  baik secara publik ataupun privat.

Pandangan lain mengenai Kebijkan Publik juga di ungkapkan Richard Rose (1969) dalam buku studi analisis kebijakan Rahayu Kusuma Dewi (2016:17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai sebuah rangkaian panjang dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki konsekuensi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan.

Menurut Harold Lasswell dan Kaplan dalam buku yang sama juga memberikan definisi kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dan berisikan tujuan – tujuan, nilai-nilai , dan praktik – praktik pelaksanaan kegiatan.

Tentunya dalam sebuah pembuatan kebijakan publik tidak hanya memiliki fungsi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada , namun juga berfungsi mencegah timbulnya permasalahan yang lain. Agar dapat berfungsi dengan baik kebijakan publik memiliki prinsip – prinsip yang harus diperhatikan. Dimana prinsip tersebut dapat dipergunakan sebagai sebuah pedoman untuk membuat suatu kebijakan publik.

Menurut Association of Washington Business,2002 (Rahayu Kusuma Dewi, 2016:20) terdapat 17 prinsip kebijakan publik, yaitu : (1) Menjaga perkembangan sektor swasta, dimana yang dimaksud disini pemerintah harus bisa menjamin bahwa kebijakan publik yang diputuskan tidak boleh memberi batasan – batasan terhadap perkembangan sektor swasta baik secara langsung atau tidak. (2) Melibatkan rakyat dalam perkembangannya , dalam prinsip ini memberikan penjelasan bahwasanya kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus diketahui dan selalu mempertimmbangkan pendapat rakyat. Tidak boleh pemerintah menjalankan sebuah kebijakan yang tidak disetujui rakyatnya. (3) Dilandasi analisis manfaat sosial , dalam prinsip ini pemerintah selalu dituntut untuk mengutamakan manfaat dari kebijakan yang diputuskan bagi seluruh masyarakat. (4) Prinsip fleksibel , ini merupakan sifat yang harus dimiliki pemerintah , artinya pemerintah memiliki kesediaan untuk memberikan pengecualiaan dalam pelaksanaan kebijakan apabila kebijakan yang diambil merugikan masyarakat secara khusus. (5) Mencapai tujuan lain dan terukur, setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus diukur tingkat keberhasilnya dengan melakukan evaluasi. (6) Disertai dengan dokumentasi , prinsip ini bertujuan agar setiap kebijakan publik yang telah dilaksanakan oleh pemerintah harus disertai dengan dokumentasi sebagai bukti bahwa kebijakan tersebut telah dijalankan. (7) Memberikan insentif berbabsis pasar , dalam prinsip ini diharapkan apa yang telah menjadi keputusan kebijakan oleh pemerintah memiliki dampak hasil yang menguntungkan. (8) Dilaksanakan oleh pemerintah fungsional, bahwa kebijakan publik dibuat oleh pemerintah fungsional yang harapanya bisa terlaksana dengan cepat dan efektif dalam mengatasi berbagai isu – isu publik. (9) Prinsip jelas dan realitas, dimana kebijakan publik harus memiliki batasan dan dasar hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh seluruh pelaksana termasuk masyarakat. (10) Hukum yang sederhana, maksud dari prinsip ini untuk mencegah munculnya kerancuan dalam penetapan sanksi atau pelanggaran atas kebijakan yang dijalankan. (11) Konsisten dengan hukum yang ada, jadi kebijakan harus berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku. (12) Mendukung inovasi pemerintah, dalam hal ini yang didukung adalah bagaimana pemerintah dapat meningkatkan pelayanan publik yang efisien dengan biaya yang paling minimal. (13) Memprioritaskan efisiensi penggunanan sumber daya publik dan swasta. Kebijakan yang diambil pemerintah selalu dituntut untuk memprioritaskan penggunaan sumber daya secara maksimal baik sumber daya publik ataupun swasta sehingga sumber daya yang dimiliki dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. (14) Memastikan kedudukan stakeholder komite dan dewan merupakan wakil dari setiap bagian dalam organisasi. (15) Tepat sanksi , kebijakan harus tepat dalam pemberian sanksi –sanksi agar sesuai dengan hukum dan batasan kewajaran terhadap pelanggaran yang dilakukan. (16) Membatasi hukuman sipil untuk restitusi ekonomi, dimana kebijakan harus memiliki batas dalam menentukan denda tertentu secara jelas dan juga batasan terhadap sanksi pidana dan yang terakhir (17) Prinsip disertai waktu yang jelas dimana dalam menetapkan sebuah kebijakan harus memiliki jangka waktu tertentu dalam pelaksanaannya sehingga kebijakan dapat berjalan efektif.

 

2.1.2 Tahapan – Tahapan Kebijakan 

Dengan adanya prinsip - prinsip dalam pembuatan sebuah kebijakan tersebut yang digunakan sebagai pedoman maka diharapkan sebuah kebijakan publik yang diputuskan oleh sebuah pemerintahan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Dari adanya prinsip – prinsip tersebut tentunya proses pembuatan kebijakan memiliki beberapa tahapan yang harus dijalankan.

Para ahli kebijakan publik juga memiliki pandangan berbeda - beda dalam memberi istilah maupun menentukan tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Setidaknya ada enam tahapan proses pembuatan kebijakan publik menurut Edi Suharto  (dalam Rahayu Kusumu Dewi, 2016:26) sebagai berikut :

1.      Pendefinisian masalah (problem definition).

Tahap pertama ini berhubungan dengan pengenalan dan perumusan isu - isu yang menjadi perhatian khusus pemerintahan. Dimana isu tersebut juga berkembang di kalangan masyarakat dan berkembang menjadi sebuah masalah disaat muncul kesadaran atau kebutuhan masyarakat maka untuk melakukan perubahan pada kondisi tersebut diperlukan tindakan – tindakan dari pemerintah. Dalam tahap ini banyak melibatkan partisipan baik individu maupun kelompok.

 

 

2.      Tahap penentuan agenda (agenda setting).

Dalam tahap ini ditentukan apa saja masalah - masalah yang menjadi prioritas. Tentu pada tahap ini merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan dan berpengaruh pada alternatif pemecahan masalah.

3.      Perumusuan alternatif kebijakan (policy formulation).

Pada tahap ini memerlukan keterlibatan komunitas kebijakan yang biasanya terdiri dari pejabat pemerintah , kelompok kepentingan , akademisi , badan penelitian , kelompok cendekia dan wiraswasta kebijakan. Tahap ini juga memerlukan berbagai konsep yang digunakan untuk tujuan menjelaskan hubungan antara penentu agenda dengan perumus alternatif.

4.      Pemilihan alternative kebijakan (policy adoption).

Dalam tahap ini terkait dengan pencapaian titik temu dalam pemilihan alternatif yang tersedia dan juga berkenaan dengan pengesahan dari alternatif yang dipilih. Menjadikan suatu rancangan ditetapkan menjadi sebuah peraturan.

5.      Pelaksanaan kebijakan (policy implementation).

Tahap ini berisi mengenai upaya –upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Dimana pelaksanaan kebijakan dapat berupa proses sederhana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dari tahap sebelumnya atau dapat simpulkan sebagai aktivitas lanjutan setelah kebijakan disahkan.

6.      Tahap penilaian kebijakan (policy evaluation).

Tahap ini berisikan tentang pembahasan proses implementasi kebijakan, mengidentifikasi apa saja yang menjadi hasil dan dampak dari implementasi kebijakan. Evaluasi juga menghasilkan umpan balik untuk menentukan kebijakan diteruskan atau dihentikan.

2.1.3 Model – Model Kebijakan

Kebijakan juga memiliki sebuah model – model dimana model kebijakan publik dapat diartikan sebagai sebuah teori atau cara berfikir yang dapat dipergunakan untuk memecahkan sebuah masalah dari kebijakan publik itu sendiri. Ada berbagai model salah satunya adalah model kebijakan yang ditinjau dari aspek implememntasinya, model ini juga diungkapkan oleh beberapa para ahli dalam buku studi analisis kebijakan Rahayu Kusuma Dewi (2016:38), sebagai berikut :

1.      Model Mazmanian dan Sabiter, dimana model ini disusun atas dasar proses implementasi kebijaksanaan. Sebagai sebuah proses bahwasanya implementasi kebijakan memiliki tiga variable bebas dalam proses tahapanya , sebagai berikut : (1) mudah atau tidaknya permasalahan yang dikendalikan ; (2) kemampuan penentu kebijaksanaan dalam menyusun proses implementasi  ; (3) variabel di luar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses implementasi. Dari tiga variabel diatas tentu variabel pertama berpengaruh terhadap variabel lainnya.

Ada beberapa indikator mengenai variabel pertama yaitu mudah atau tidaknya permasalahan yang dikendalikan oleh kebijakan mulai dari keadaan yang beragam dari perilaku sasaran , jumlah perbandingan antara kelompok sasaran dengan jumlah penduduk yang ada , dan ruang lingkup terhadap perubahan perilaku yang diharapkan.

Kemampuan kebijakan juga dapat dilihat dari beberapa variabel atau indikator – indikator yang ada, mulai dari kejelasan serta konsistensi terhadap tujuan, penggunaan teori kausalitas (sebab– akibat) yang memadai, alokasi sumber dana yang tepat , hierarki yang terpadu antar pelaksana, aturan – aturan dari badan pelaksana, perekrutan pejabat pelaksana dan juga akses formal terhadap pihak luar. 

Ada beberapa varibel ketiga diluar kebijakan yang dimaksud dari model ini yaitu, kondisi sosial ekonomi serta teknologi yang ada, dukungan masyarakat atau publik, sikap serta sumber yang dimiliki, dukungan pejabat atau atasan terhadap kebijakan dam komitmen serta kemampuan memimpin dari pejabat pelaksana yang telah direkrut.

2.      Model Hogwood dan Gunn, yang menjelaskan bahwasanya pengimplementasian kebijakan sebuah negara memerlukan berbagai syarat untuk mencapai sempurna, syarat itu antara lain : adanya hal yang menyebabkan terjadinya gangguan atau hambatan secara serius, adanya waktu serta sumber yang sesuai, tersedia perbaduan sumber yang dimiliki dengan yang diperlukan, kebijaksanaan yang di implementasikan sesalu didasari hubungan kausalitas, hubungan saling ketergantungan harus seminimal mungkin, pemahaman mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan, tugas – tugas yang terperinci dengan baik, komunikasi serta koordinasi yang baik dan pihak – pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan dari kebijakan yang telah diputuskan.

Dari penjelasan diatas maka dapat kita lihat bahwasanya setiap kebijakan memiliki proses perumusan. Sehingga dalam proses implementasi kebijakan tersebut dapat dinilai apabila melihat secara keselurhan dari berbagai sudut pandang untuk mengetahui bagaimana proses pengimplementasian peraturan yang telah diputuskan. Seperti pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Nontunai untuk mengetahui bagaimana kebijakan ini berjalan di masyarakat, maka peneliti melakukan studi secara langsung di Kota Batu, Jawa Timur.

Pemerintah juga mempertimbangkan bagaimana cara yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat fakir miskin, dimana negara memiliki keharusan untuk melaksanakan penanggulangan kemiskinan melalui berbagai cara, salah satu cara tersebut dengan memberikan bantuan sosial pangan. Dimana harapanya melalui kebijakan ini Program BPNT mampu membantu meringankan beban dari masyarakat miskin dan program dapat diimplementasikan secara baik di masyarakat agar proses dari penyaluran BPNT berjalan sesuai dengan harapan.

 

 

2.2 Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi selalu erat kaitanya dengan studi kebijakan publik karena merupakan sebuah hal yang sangat krusial. Kata implementasi sendiri merupakan penafsiran dari bahasa inggris implementation yang berupa kata kerja dari implement. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata implementasi berarti pelaksaan atau penerapan dari sebuah bentuk – bentuk hal yang sudah disepakati terlebih dahulu.

Menurut pandangan Van Meter dan Van Horn (dalam Rahayu Kusuma Dewi, 2016:154) mendefinisikan implementasi sebagai proses maka implementasi merupakan tindakan yang dilakukan, baik oleh individu maupun unit pemerintahan atau suatu yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Seperti yang kita tahu bahwasanya  pada akhir – akhir ini implementasi menjadi hal yang menarik untuk dikaji kembali. Implementasi dari sebuah program pemerintahan mendapat perhatian lebih dari kalangan masyarakat , hal ini terjadi karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah di berbagai bidang kurang atau bahkan tidak efektif, khususnya disebabkan oleh persoalan – persolan yang muncul pada proses pelaksanaan.

Dalam kaitanya pada proses kepentingan publik menurut pandangan Shafritz dan Russel, 2005 (dalam Pandji Santosa, 2008:42) mengungkapan bahwasanya:

“Implementation is the process of putting a government program into effects; it is the total process of translating a legal mandate, whether an executive order or an enacted statute into appropriate program directives and structures that provide services or creative goods.” (Implementasi adalah proses penerapan program pemerintah; adalah proses total menerjemahkan mandat hukum , apakah perintah eksekutif atau undang – undang yang berlaku ke dalam arahan program yang sesuai dan struktur yang menyediakan layanan atau barang kreatif).

 

Dari penjelasan teori tersebut kita tahu bahwa implementasi kebijakan sebagai alat administrasi yang berfokus untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku. Seperti yang dinyatakan oleh Mazmanian dan Sabatier, 1983 (dalam Pandji Santosa, 2008:42) mengungkapkan bahwasanya :

“Implementation is caring out of a basic policy decision, usually incorporated in a statute but which can also take the form of important executive orders or court dcisions. Ideally that decisions identifies the problem(s) to be adressed, stimulate(s) to be pursued, and , in a varieaty of ways, “structures” the implementation process. The process normally runs through a number of stages beginning with passage of the basic statute, followed by the policy output (decisions) od the implementing agencies, the compliance of target groups with those decisions the actual impact-both intended and unintended- of those outpust, the perceived impact of agency decisions, and finally, important revisions for attempted revisions in the basic statute” (Implementasi adalah kepedulian terhadap keputusan kebijakan dasar, biasanya dimasukkan dalam undang –undang tetapi juga dapat berbentuk perintah eksekutif atau keputusan pengadilan yang penting. Idealnya keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang harius ditangani, merangsang untuk dikejar , dan dalam berbagai cara, “menstrukturkan” proses implementasi. Proses tersebut biasanya berjalan melalui beberapa tahap yang dimulai  dengan pengesahan undang-undang dasar, diikuti oleh keluaran kebijakan (keputusan) dari lembaga pelaksana, kepatuhan kelompok sasaran dengan keputusan tersebut, dampak aktual baik yang disengaja maupun tidak diinginkan dari keluaran tersebut, dampak yang dirasakan dari keputusan lembaga, dan akhirnya , revisi penting untuk dalam undang-undang.)

 

Dari teori Mazmanian dan Sabitier tersebut menunjukan bahwasanya implementasi kebijakan sebagai proses pelaksanaan dari kebijakan dasar (undang-undang) atau dari keputusan eksekutif yang penting. Dimana dalam keputusan tersebut terdapat pemahaman mengenai masalah – masalah yang ingin diatasi dan tentu terdapat pula tujuan serta sasaran yang ingin dicapai.

Implementasi kebijakan dapat dikatakan efektif apabila para pembuat kebijakan dan implementor memahami apa yang mereka kerjakan dimana hal ini dapat terjadi apabila komunikasi berjalan dengan baik. George C. Edward III menguraikan tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan (Winarno, 2002) , tiga hal tersebut adalah transmisi, kejelasana dan konsistensi.

Yang pertama, Transmisi yang merupakan pihak – pihak yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus dilakukan. Dimana komunikasi harus akurat dan mudah dimengerti, dalam hal ini tujuan dan sasaran dari kebijakan harus disampaikan kepada kelompok sasaran untuk mengurangi dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Kedua Kejelasan, jika kebijakan hendak diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, petunjuk – petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksanana, akan tetapi komunikasi juga harus jelas. Karena ketidakjelasan komunikasi dapat berakibat terjadinya interpretasi yang salah bahkan berlawanan dengan makna awal kebijakan. Yang terakhir adalah Konsistensi, bila implementasi kebijakan ingin berjalan dengan efektif, perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.

Menurut pandangan Peter de Leon dan Linda de Leon, 2001 (dalam Rahahyu Kusuma Dewi, 2016:161) mengungkapkan bahwasanya Pendekatan dalam implementasi kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi yang kemudian peneliti ringkas menjadi :

Generasi Pertama berlangsung pada tahun 1970-an , dimana dipahami implementasi kebijakan sebagai masalah – masalah yang terjadi di antara kebijakan dan eksekusinya. Generasi kedua berlangsung pada tahun 1980-an dimana pada masa ini implementasi kebijakan yang memiliki sifat top-downer perspective (dari atas ke bawah) dikembangkan dan fokus penerapanya pada sebuah birokrasi , disaat yang sama juga pendekatan bottom upper (dari bawah ke atas) berkembang. Generasi ketiga berlangsung pada tahun 1990-an , pada masa ini dikenalkan bahwasanya varibel atau faktor perilaku dari aktor pelaksana implementasi kebijakanlah yang lebih menentukan keberhasilan dari implementasi kebijakan serta di masa yang sama muncul pendekatan situasional dalam implementasi kebijakan.

 

Dari munculnya generasi – generasi tersebut menimbulkan munculnya konsentrasi pemikiran tentang implementasi kebijakan atau yang sekaligus menjadi model – model implementasi. Salah satu dari model tersebut adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn , dengan Model Top Down Approach.

Dimana menurut pandangan mereka implementasi kebijakan dapat berjalan dengan sempurna apabila memiliki beberapa persyaratan , sebagai berikut : (1) Kondisi eksternal yang tidak menghambat atau menimbulkan gangguan (2) Tersedia sumber dan waktu yang memadai (3) Perpaduan dari sumber yang tersedia (4) hubungan antara rencana dan pelaksanaanya (5) hubungan dependensi (ketergantungan) yang minim (6) Pemahaman mendalam dan kesepakatan tujuan (7) Tugas yang rinci dan berurutan dengan tepat (8) Komunikasi yang baik (sempurna) dan (9) Pihak yang berwenang mendapat kepatuhan. Dari syarat – syarat yang ada dapat kita lihat bahwa model ini mendasarkan pada konsep manajemen strategis dan bertujuan pada praktik manajemen yang sistematis.

Adapun model lain yaitu Model Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier yang disebut dengan model kerangka analisis implementasi. Dimana menurut model ini implementasi adalah sebuah upaya unutk melaksanakan keputusan kebijakan. Dalam model ini juga dikategorikan proses implementasi yang terdapat pada tiga kategori besar , sebagai berikut:

Kategori pertama adalah mudah atau sulitnya permasalahan untuk dikendalikan yang bisa dilihat dari beberapa indikator yaitu : (a) Dari fungsinya (b) Kesulitan – kesulitan teknis (c) kesamaan perilaku yang akan diatur (d) presentasi jumlah sasaran dari jumlah penduduk yang ada dan (e) tingkat perubahan perilaku yang diharapkan.

Kategori kedua adalah kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi  dengan beberapa faktor sebagai berikut : (a) Kecermatan dan kejelasan tentang tujuan yang dicapai, (b) keahlian mempergunakan teori kausalitas, (c) Ketepatan mengalokasikan sumber dana, (d) Kesinambungan dari hierarki yang ada dilingkungan maupun pelaksana, (e) Aturan pembuat keputusan dari pelaksana, (f) Kesepakatan para pejabat dalam menjalankan maksud dan tujuan yang ada dalam peraturan dan (g) akses – akses formal dimana badan badan eksekutif , legislative dan yudikatif sebagai atasan pelaksana.

Kategori ketiga adalah varibel – variabel diluar unndang – undang yang mempengaruhi implementasinya, yaitu sebagai berikut : (a) Kondisi situasi politik yang didalamnya tentu terdapat kebutuhan program yang berbeda bagi kepentingan kelompok dukungan politik yang menuju pada dirugikan atau tidak dirugikanya kelompok kepentingan (b) Kondisi anak dan teknologi yang dipertimbangkan dalam keseriusan permasalahan yang dihadapi dan (c) Dukungan publik melalui pendapat umum atau opini baik langsung maupun melalui media massa, sikap kelompok masyarakat, dukungan dari lembaga yang berwenang, kesepakatan serta kemampuan kepemimpinan dari pejabat – pejabat pelaksana dan tahap – tahap dalam proses implementasi mulai dari output berupa ketentuan dari badan pelaksana , kepatuhan kelompok sasaran, dampak yang dihasilkan, persepsi yang muncul serta evaluasi sistem politik tehadap peraturan atau undang – undang.

Seperti pada Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dimana program ini adalah wujud dari implementasi kebijakan yang diatur proses penyalurnya dalam Peraturan Mentri Sosial RI Nomor 11 Tahun 2018 yang tentu didalamnya terdapat berbagai prosedur penyaluran yang berfungsi untuk mengatur proses implementasi agar berjalan dengan baik.

 Maka salah satu cara menilai keberhasilan sebuah program terdapat pada poses implementasinya dimana dalam tahap ini merupakan tahap yang terpenting dimana secara keseluruhan program dapat dinilai berhasil atau tidak. Seperti pada implementasi Program Bantuan Pangan Non Tunai ini dimana keberhasilan dapat dilihat apakah sudah dijalankan sesuai dengan peraturan – peraturan yang ditetapkan.

Dalam hal ini harus adanya tahapan – tahapan yang dilalui seperti pada pedoman program mulai dari persiapan pelaksanaan , pembentukan agen – agen penyaluran atau e-warong , melakukan edukasi pada masyarakat melalui sosialisasi dan pada proses penyaluran BPNT itu sendiri. Juga salah satu yang terpenting adalah ketepatan sasaran seperti pada prinsip agar kemanfaatan dari program dapat dirasakan oleh penerima.

Namun apabila ada tahapan – tahapan penting yang dilewatkan seperti tidak adanya agen penyalur , tidak dilakukanya edukasi dan juga proses penyaluran yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku maka program BPNT ini dapat dinilai tidak berhasil dan perlu dilakukan peninjauan serta evaluasi agar program BPNT dapat berjalan sesuai denga pedoman maupun peraturan yang berlaku.

Maka dapat disimpulkan apa yang menjadi maksud Implementasi Program Bantuan Pangan Non Tunai yang berhasil adalah tercapainya tujuan – tujuan dari program dengan melalui tahapan – tahapan yang telah ditetapkan.

2.3 Program Bantuan Pangan Non Tunai

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Program adalah sebuah rancangan mengenai asas atau usaha (dalam ketatanegaraan, perekonomian dan sebagainya) yang akan dijalankan. Secara umum definisi mengenai program adalah kumpulan intruksi , rencana kegiatan , pedoman, acara ataupun daftar yang berurutan.Berdasarkan pedoman umum BPNT dijelaskan bahwasanya :

Bantuan Pangan Non Tunai adalah bantuan sosial pangan yang disalurkan dalam bentuk non tunai dari pemerintah kepada KPM (Keluarga Penerima Manfaat) setiap bulannya melalui mekanisme uang elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan pangan di pedagang bahan pangan atau disebut E-warong yang bekerjasama dengan Bank Penyalur.

 

Program BPNT ini adalah hasil dari pembaharuan program-program sebelumnya yang dikenal dengan RASKIN atau Beras Untuk Masyarakat Miskin dimana program ini memberikan bantuan berupa beras yang dalam prosesnya menggunakan mekanisme biaya tebus dengan harga murah. Masyarakat juga memiliki batas dalam pembelian beras murah ini yaitu maksimal sebesar 10 (Sepuluh) Kilogram yang pada masa itu di beri harga Rp.32.000,- (Tiga Puluh Dua Ribu Rupiah). Program RASKIN ini berjalan cukup lama dan menimbulkan banyak perdebatan di kalangan masyarakat.

Akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan perubahan nama program RASKIN menjadi RASTRA yang merupakan singkatan dari Beras Sejahtera. Tentu tidak hanyak nama yang berubah , namun pada mekanisme biaya tebus juga dihilangkan.  Sejalan dengan tujuan Presiden RI Joko Widodo mengenai Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) maka program RASTRA juga mengalami perubahan. Program tersebut juga mengalami perubahan menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Dalam proses penerapanya Program Bantuan Pangan Non Tunai memiliki prinsip – prinsip dasar yang dikenal dengan 6T , sebagai berikut :

a.       Tepat Waktu, tentu yang dimaksudkan adalah pada proses penyaluran dana bantuan memiliki jangan waktu batasan maksimal. Agar keluarga penerima manfaat dapat menerima dan mempergunakan bantuan tersebut.

b.      Tepat Sasaran, yaitu penerima BPNT adalah keluarga yang telah terdata pada sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

c.       Tepat Jumlah, yang berarti dana bantuan yang masuk pada rekening penerima harus sesuai dengan aturan besaran nominal.

d.      Tepat Kualitas, yaitu segala macam komiditi yang menjadi hak penerima harus memiliki kualitas yang memenuhi standar kelayakan.

e.       Tepat Harga, tentunya dalam penentuan harga barang komoditi harus sesuai dengan harga pasar agar tidak terjadi selisih harga yang memberatkan keluarga penerima.

f.        Tepat Administrasi, dimana segala transaksi yang dilakukan oleh pihak penyalur harus memiliki bukti transaksi.

Program Bantuan Pangan Non Tunai ini dijalankan bukan tanpa tujuan. Ada berbagai tujuan yang diharapkan, antara lain :

a.       Mengurangi beban pengeluaran Keluarga Penerima Manfaat melalui pemenuhan kebutuhan dasar pangan.

b.      Memberikan gizi yang lebih seimbang kepada penerima manfaat.

c.       Meningkatkan ketepatan sasaran dan ketepatan waktu penerimaan bantuan pangan.

d.      Memberikan lebih banyak pilihan kepada keluarga penerima manfaat.

e.       Mendorong pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

Manfaat dari Program Bantuan Pangan Non Tunai , antara lain :

a.       Untuk meningkatkan ketahanan pangan para Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang sekaligus menjadi suatu mekanisme pemerintah dalam perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan.

b.      Meningkatkan pertumbuhan ekonomi terutama usaha mikro di bidang perdagangan.

c.       Meningkatkan transaksi dalam agenda Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).

d.      Meningkatkan efisiensi dalam proses penyaluran bantuan sosial.

Seperti pada penjelasan mengenai Program BPNT diatas bahwasanya bantuan ini diperuntukan kepada masyarakat miskin. Masyarakat tersebut adalah keluarga yang disebut dengan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang tentunya telah terdata melalui sistem yang disebut dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Berikut ini adalah gambaran alur proses perubahan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Sesuai dengan gambar bagan diatas pada awal BPNT dijalankan pada tahun 2017 nominal yang diberikan sebesar Rp.110.000,- / bulan dimana uang tersebut hanya dapat ditukarkan menjadi beberapa komoditi antara lain : beras , gula , minyak , telur dan tepung.

Namun pada tahun 2018 pemilihan komoditi kebutuhan pokok tersebut berubah menjadi hanya untuk beras dan telur dengan beberapa aspek pertimbangan. Pada tahun berikutnya 2019 BPNT menambah jumlah nominal bantuan yang diberikan menjadi Rp.150.000,-/bulan dengan komoditi yang sama yaitu beras dan telur.

Pada pertengahan tahun 2020 kebijakan tersebut berubah menjadi Program Sembako dengan jumlah nominal bantuan Rp.200.000 / bulan dengan pemilihan komoditi yang bertambah yaitu beras , telur , protein hewani (daging) , protein nabati ( kacang-kacangan) , vitamin dan mineral ( buah dan sayur). Pengantian nama ini diambil dengan alasan agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat secara luas.

2.4    Implementasi Program BPNT dalam PERMENSOS NO 11 TAHUN 2018

Tentu dalam lahirnya sebuah program memiliki sebuah dasar hukum, seperti pada Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang memiliki dasar hukum tentang proses penyaluran bantuan non tunai secara tertulis pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2018. Pasal 9 (Sembilan) dijelaskan ada beberapa tahapan mekanisme yang harus dilalui dalam penyaluran Program BPNT , sebagaimana berikut :

Mekanisme penyaluran BPNT dilakukan melalui tahapan :

a.       registrasi dan/ atau pembukaan rekening;

b.      edukasi dan sosialisasi;

c.       penyaluran; dan

d.      pembelian barang.

 

Registrasi dan pembukaan rekening bagi KPM diperjelas dalam pasal 10 (Sepuluh) dimana kegiatan ini meliputi pembukaan rekening secara kolektif, pencetakan kartu, aktivasi, dan dilakukanya pendistribusian kartu yang tentunya dilakukan oleh Bank Penyalur yang telah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin. Pada kegiatan ini tentu memiliki batas waktu yang diatur pada pasal 11 (Sebelas) yaitu registrasi dan pembukaan rekening harus diselesaikan paling lambat 60 hari setelah data dari KPM BPNT diterima oleh Bank Penyalur.

Sebelum melakukan kegiatan resgistrasi dan pembukaan rekening tentunya Bank Penyalur telah melakukan persiapan dan koordinasi mengenai E-warong  berdasarkan jumlah dan lokasi yang telah ditetapkan oleh Menteri seperti  yang tertulis pada pasal 6. Pada pasal 12 dijelaskan bahwa Bank Penyalur memiliki tugas untuk mengidentifikasi, mempersiapkan pedagang dan agen agar dapat menjadi E-warong yang dapat menyalurkan BPNT. Setelah melakukan proses persiapan E-warong mengetahui jumlah calon KPM, E-warong juga memiliki batas maksimal KPM BPNT yang dilayani yaitu sebanyak 250 penerima yang diatur dalam pasal 14.

Apabila registrasi dan pembukaan rekening telah selesai dilakukan, maka tahap berikutnya adalah memberikan edukasi dan sosialisasi kepada Keluarga Penerima Manfaat , Pendamping sosial BANSOS Pangan, dan aparat pemerintah daerah yang dijelaskan pada pasal 15. Kegiatan edukasi dan sosialisasi ini dilaksanakan bersamaan dengan  proses pendistribusian, pengecekan keberadaan KPM dan aktivasi kartu.

Pada proses edukasi dan sosialisasi dapat dilakukan melalui berbagai media yang ada mulai dari tatap muka , media elektronik , media cetak , media sosial bahkan melalui daring sekalipun.Tahap berikutnya pada pasal 21 adalah penyaluran yang dilakukan oleh Bank Penyalur dengan dilakukanya pemindahbukuan dana dari Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin kepada rekening Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan batas waktu paling lama 30 hari.

Maka tahap terakhir adalah pembelian barang yang dilakukan oleh KPM setelah menerima Bantuan Pangan Non Tunai sebesar Rp.110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) pada tiap bulan yang diatur pada pasal 23. Dana tersebut tentunya tidak dapat diambil secara tunai dan hanya dapat dipergunakan untuk pembelian bahan – bahan pangan yang telah ditentukan dengan menggunakan kartu di e-warong. Tentunya dana yang diberikan tersebut sudah diperhitungkan sesuai dengan kemampuan negara.

Pada proses pembelian barang untuk pertama kalinya  Bank Penyalur memiliki tugas yang dijelaskan pada pasal 24 untuk memberikan informasi mengenai pembukaan rekening , PIN untuk penggunaan rekening, jumlah dana bantuan yang disalurkan, tata cara pembelian barang bahan pangan dan informasi mengenai tabungan. Proses pembelian bahan pangan menggunakan kartu ini dapat dilakukan setiap saat sesuai dengan kebutuhan keluarga penerima manfaat.  

Dari penjelasan singkat mengenai mekanisme tahapan Program Bantuan Pangan Non Tunai yang ada pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2018 ini maka implementasi program dapat dinilai. Apabila sudah berjalan sesuai dengan tahapan - tahapan yang ada maka dapat disimpulkan implementasi program BPNT yang ada di Kota Batu terlah berjalan dengan baik. Namun apabila banyak kendala – kendala yang belum dapat ditemukan solusi pada proses implementasi di lapangan maka program BPNT masih belum berjalan dengan baik dan tentu perlu dilakukan evaluasi kembali.

Lokasi: Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar