IMPLEMENTASI PROGRAM BANTUAN PANGAN NON TUNAI
Konsep Kebijakan Publik
Teori Kebijakan Publik
Dalam proses hidup bernegara yang
menjalankan sistem demokrasi seperti di negara Indonesia maka proses
pemerintahan dapat dibagi menjadi dua tahap. Tahap yang pertama adalah
merusumuskan kebijakan dan tahap kedua pelaksanaan kebijakan yang telah di
tetapkan. Menurut Miriam Budiarjo (2007:20) dalam buku dasar – dasar ilmu
politik kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang
pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk
mencapai tujuan itu.
Sebagaimana diungkapkan oleh Riant Nugroho
(2009) dalam buku administrasi publik Yogi Suprayogi Sugandi (2011:74)
dikatakan bahwasanya kebijakan publik adalah menuliskan keputusan yang dibuat
oleh negara khususnya pemerintah sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan
negara yang bersangkutan. Thomas R Dye dalam buku studi analisis kebijakan
Rahayu Kusuma Dewi (2016:17) mengatakan bahwa “Public policy is whatever government chose to do or not to do” (“apapun
pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu”).
Dimana secara sederhana kebijakan dapat
diartikan sebagai aturan yang berbentuk secara tertulis , berupa keputusan resmi
sebuah organisasi yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia baik secara publik ataupun privat.
Pandangan lain mengenai Kebijkan Publik
juga di ungkapkan Richard Rose (1969) dalam buku studi analisis kebijakan Rahayu
Kusuma Dewi (2016:17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai sebuah rangkaian
panjang dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki
konsekuensi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan.
Menurut Harold Lasswell dan Kaplan dalam
buku yang sama juga memberikan definisi kebijakan publik sebagai suatu program
yang diproyeksikan dan berisikan tujuan – tujuan, nilai-nilai , dan praktik –
praktik pelaksanaan kegiatan.
Tentunya dalam sebuah pembuatan kebijakan
publik tidak hanya memiliki fungsi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada ,
namun juga berfungsi mencegah timbulnya permasalahan yang lain. Agar dapat
berfungsi dengan baik kebijakan publik memiliki prinsip – prinsip yang harus
diperhatikan. Dimana prinsip tersebut dapat dipergunakan sebagai sebuah pedoman
untuk membuat suatu kebijakan publik.
Menurut Association of Washington
Business,2002 (Rahayu Kusuma Dewi, 2016:20) terdapat 17 prinsip kebijakan publik,
yaitu : (1) Menjaga perkembangan sektor swasta, dimana yang dimaksud disini pemerintah
harus bisa menjamin bahwa kebijakan publik yang diputuskan tidak boleh memberi
batasan – batasan terhadap perkembangan sektor swasta baik secara langsung atau
tidak. (2) Melibatkan rakyat dalam perkembangannya , dalam prinsip ini
memberikan penjelasan bahwasanya kebijakan yang diambil oleh pemerintah harus
diketahui dan selalu mempertimmbangkan pendapat rakyat. Tidak boleh pemerintah
menjalankan sebuah kebijakan yang tidak disetujui rakyatnya. (3) Dilandasi
analisis manfaat sosial , dalam prinsip ini pemerintah selalu dituntut untuk
mengutamakan manfaat dari kebijakan yang diputuskan bagi seluruh masyarakat.
(4) Prinsip fleksibel , ini merupakan sifat yang harus dimiliki pemerintah ,
artinya pemerintah memiliki kesediaan untuk memberikan pengecualiaan dalam
pelaksanaan kebijakan apabila kebijakan yang diambil merugikan masyarakat
secara khusus. (5) Mencapai tujuan lain dan terukur, setiap kebijakan yang
diambil oleh pemerintah harus diukur tingkat keberhasilnya dengan melakukan
evaluasi. (6) Disertai dengan dokumentasi , prinsip ini bertujuan agar setiap
kebijakan publik yang telah dilaksanakan oleh pemerintah harus disertai dengan
dokumentasi sebagai bukti bahwa kebijakan tersebut telah dijalankan. (7) Memberikan
insentif berbabsis pasar , dalam prinsip ini diharapkan apa yang telah menjadi
keputusan kebijakan oleh pemerintah memiliki dampak hasil yang menguntungkan.
(8) Dilaksanakan oleh pemerintah fungsional, bahwa kebijakan publik dibuat oleh
pemerintah fungsional yang harapanya bisa terlaksana dengan cepat dan efektif
dalam mengatasi berbagai isu – isu publik. (9) Prinsip jelas dan realitas,
dimana kebijakan publik harus memiliki batasan dan dasar hukum yang jelas dan
dapat dilaksanakan oleh seluruh pelaksana termasuk masyarakat. (10) Hukum yang
sederhana, maksud dari prinsip ini untuk mencegah munculnya kerancuan dalam
penetapan sanksi atau pelanggaran atas kebijakan yang dijalankan. (11) Konsisten
dengan hukum yang ada, jadi kebijakan harus berjalan sesuai dengan hukum yang
berlaku. (12) Mendukung inovasi pemerintah, dalam hal ini yang didukung adalah
bagaimana pemerintah dapat meningkatkan pelayanan publik yang efisien dengan
biaya yang paling minimal. (13) Memprioritaskan efisiensi penggunanan sumber
daya publik dan swasta. Kebijakan yang diambil pemerintah selalu dituntut untuk
memprioritaskan penggunaan sumber daya secara maksimal baik sumber daya publik
ataupun swasta sehingga sumber daya yang dimiliki dapat dirasakan oleh seluruh
masyarakat. (14) Memastikan kedudukan stakeholder komite dan dewan merupakan
wakil dari setiap bagian dalam organisasi. (15) Tepat sanksi , kebijakan harus
tepat dalam pemberian sanksi –sanksi agar sesuai dengan hukum dan batasan
kewajaran terhadap pelanggaran yang dilakukan. (16) Membatasi hukuman sipil
untuk restitusi ekonomi, dimana kebijakan harus memiliki batas dalam menentukan
denda tertentu secara jelas dan juga batasan terhadap sanksi pidana dan yang terakhir
(17) Prinsip disertai waktu yang jelas dimana dalam menetapkan sebuah kebijakan
harus memiliki jangka waktu tertentu dalam pelaksanaannya sehingga kebijakan
dapat berjalan efektif.
2.1.2 Tahapan –
Tahapan Kebijakan
Dengan adanya prinsip - prinsip dalam
pembuatan sebuah kebijakan tersebut yang digunakan sebagai pedoman maka
diharapkan sebuah kebijakan publik yang diputuskan oleh sebuah pemerintahan dapat
berjalan dengan efektif dan efisien. Dari adanya prinsip – prinsip tersebut
tentunya proses pembuatan kebijakan memiliki beberapa tahapan yang harus
dijalankan.
Para ahli kebijakan publik juga
memiliki pandangan berbeda - beda dalam memberi istilah maupun menentukan
tahapan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Setidaknya ada enam tahapan
proses pembuatan kebijakan publik menurut Edi Suharto (dalam Rahayu Kusumu Dewi, 2016:26) sebagai
berikut :
1. Pendefinisian
masalah (problem definition).
Tahap pertama ini berhubungan dengan
pengenalan dan perumusan isu - isu yang menjadi perhatian khusus pemerintahan.
Dimana isu tersebut juga berkembang di kalangan masyarakat dan berkembang
menjadi sebuah masalah disaat muncul kesadaran atau kebutuhan masyarakat maka
untuk melakukan perubahan pada kondisi tersebut diperlukan tindakan – tindakan
dari pemerintah. Dalam tahap ini banyak melibatkan partisipan baik individu
maupun kelompok.
2. Tahap
penentuan agenda (agenda setting).
Dalam tahap ini ditentukan apa saja
masalah - masalah yang menjadi prioritas. Tentu pada tahap ini merupakan bagian
yang sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan dan berpengaruh pada
alternatif pemecahan masalah.
3. Perumusuan
alternatif kebijakan (policy
formulation).
Pada tahap ini memerlukan
keterlibatan komunitas kebijakan yang biasanya terdiri dari pejabat pemerintah
, kelompok kepentingan , akademisi , badan penelitian , kelompok cendekia dan
wiraswasta kebijakan. Tahap ini juga memerlukan berbagai konsep yang digunakan
untuk tujuan menjelaskan hubungan antara penentu agenda dengan perumus
alternatif.
4. Pemilihan
alternative kebijakan (policy adoption).
Dalam tahap ini terkait dengan
pencapaian titik temu dalam pemilihan alternatif yang tersedia dan juga
berkenaan dengan pengesahan dari alternatif yang dipilih. Menjadikan suatu
rancangan ditetapkan menjadi sebuah peraturan.
5. Pelaksanaan
kebijakan (policy implementation).
Tahap ini berisi mengenai upaya
–upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Dimana pelaksanaan kebijakan dapat
berupa proses sederhana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dari tahap
sebelumnya atau dapat simpulkan sebagai aktivitas lanjutan setelah kebijakan
disahkan.
6. Tahap
penilaian kebijakan (policy evaluation).
Tahap ini berisikan tentang pembahasan
proses implementasi kebijakan, mengidentifikasi apa saja yang menjadi hasil dan
dampak dari implementasi kebijakan. Evaluasi juga menghasilkan umpan balik
untuk menentukan kebijakan diteruskan atau dihentikan.
2.1.3
Model – Model Kebijakan
Kebijakan juga memiliki sebuah model –
model dimana model kebijakan publik dapat diartikan sebagai sebuah teori atau
cara berfikir yang dapat dipergunakan untuk memecahkan sebuah masalah dari
kebijakan publik itu sendiri. Ada berbagai model salah satunya adalah model
kebijakan yang ditinjau dari aspek implememntasinya, model ini juga diungkapkan
oleh beberapa para ahli dalam buku studi analisis kebijakan Rahayu Kusuma Dewi
(2016:38), sebagai berikut :
1. Model
Mazmanian dan Sabiter, dimana model ini disusun atas dasar proses implementasi
kebijaksanaan. Sebagai sebuah proses bahwasanya implementasi kebijakan memiliki
tiga variable bebas dalam proses tahapanya , sebagai berikut : (1) mudah atau
tidaknya permasalahan yang dikendalikan ; (2) kemampuan penentu kebijaksanaan
dalam menyusun proses implementasi ; (3)
variabel di luar kebijaksanaan yang mempengaruhi proses implementasi. Dari tiga
variabel diatas tentu variabel pertama berpengaruh terhadap variabel lainnya.
Ada
beberapa indikator mengenai variabel pertama yaitu mudah atau tidaknya
permasalahan yang dikendalikan oleh kebijakan mulai dari keadaan yang beragam
dari perilaku sasaran , jumlah perbandingan antara kelompok sasaran dengan
jumlah penduduk yang ada , dan ruang lingkup terhadap perubahan perilaku yang
diharapkan.
Kemampuan
kebijakan juga dapat dilihat dari beberapa variabel atau indikator – indikator
yang ada, mulai dari kejelasan serta konsistensi terhadap tujuan, penggunaan
teori kausalitas (sebab– akibat) yang memadai, alokasi sumber dana yang tepat ,
hierarki yang terpadu antar pelaksana, aturan – aturan dari badan pelaksana,
perekrutan pejabat pelaksana dan juga akses formal terhadap pihak luar.
Ada
beberapa varibel ketiga diluar kebijakan yang dimaksud dari model ini yaitu,
kondisi sosial ekonomi serta teknologi yang ada, dukungan masyarakat atau
publik, sikap serta sumber yang dimiliki, dukungan pejabat atau atasan terhadap
kebijakan dam komitmen serta kemampuan memimpin dari pejabat pelaksana yang
telah direkrut.
2. Model
Hogwood dan Gunn, yang menjelaskan bahwasanya pengimplementasian kebijakan
sebuah negara memerlukan berbagai syarat untuk mencapai sempurna, syarat itu
antara lain : adanya hal yang menyebabkan terjadinya gangguan atau hambatan
secara serius, adanya waktu serta sumber yang sesuai, tersedia perbaduan sumber
yang dimiliki dengan yang diperlukan, kebijaksanaan yang di implementasikan
sesalu didasari hubungan kausalitas, hubungan saling ketergantungan harus
seminimal mungkin, pemahaman mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan, tugas –
tugas yang terperinci dengan baik, komunikasi serta koordinasi yang baik dan
pihak – pihak yang memiliki wewenang dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan
dari kebijakan yang telah diputuskan.
Dari
penjelasan diatas maka dapat kita lihat bahwasanya setiap kebijakan memiliki
proses perumusan. Sehingga dalam proses implementasi kebijakan tersebut dapat
dinilai apabila melihat secara keselurhan dari berbagai sudut pandang untuk
mengetahui bagaimana proses pengimplementasian peraturan yang telah diputuskan.
Seperti pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyaluran
Bantuan Sosial Nontunai untuk mengetahui bagaimana kebijakan ini berjalan di
masyarakat, maka peneliti melakukan studi secara langsung di Kota Batu, Jawa
Timur.
Pemerintah
juga mempertimbangkan bagaimana cara yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat fakir miskin, dimana negara memiliki keharusan untuk melaksanakan penanggulangan
kemiskinan melalui berbagai cara, salah satu cara tersebut dengan memberikan
bantuan sosial pangan. Dimana harapanya melalui kebijakan ini Program BPNT
mampu membantu meringankan beban dari masyarakat miskin dan program dapat
diimplementasikan secara baik di masyarakat agar proses dari penyaluran BPNT
berjalan sesuai dengan harapan.
2.2 Implementasi Kebijakan
Publik
Implementasi selalu erat kaitanya dengan studi
kebijakan publik karena merupakan sebuah hal yang sangat krusial. Kata
implementasi sendiri merupakan penafsiran dari bahasa inggris implementation
yang berupa kata kerja dari implement. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata
implementasi berarti pelaksaan atau penerapan dari sebuah bentuk – bentuk hal
yang sudah disepakati terlebih dahulu.
Menurut pandangan Van Meter dan Van Horn (dalam
Rahayu Kusuma Dewi, 2016:154) mendefinisikan implementasi sebagai proses maka
implementasi merupakan tindakan yang dilakukan, baik oleh individu maupun unit
pemerintahan atau suatu yang diarahkan pada tercapainya tujuan yang telah
digariskan dalam keputusan kebijakan.
Seperti yang kita tahu bahwasanya pada akhir – akhir ini implementasi menjadi
hal yang menarik untuk dikaji kembali. Implementasi dari sebuah program
pemerintahan mendapat perhatian lebih dari kalangan masyarakat , hal ini
terjadi karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah di berbagai bidang kurang
atau bahkan tidak efektif, khususnya disebabkan oleh persoalan – persolan yang
muncul pada proses pelaksanaan.
Dalam kaitanya pada proses kepentingan
publik menurut pandangan Shafritz dan Russel, 2005 (dalam Pandji Santosa,
2008:42) mengungkapan bahwasanya:
“Implementation
is the process of putting a government program into effects; it is the total
process of translating a legal mandate, whether an executive order or an
enacted statute into appropriate program directives and structures that provide
services or creative goods.” (Implementasi adalah proses penerapan
program pemerintah; adalah proses total menerjemahkan mandat hukum , apakah
perintah eksekutif atau undang – undang yang berlaku ke dalam arahan program
yang sesuai dan struktur yang menyediakan layanan atau barang kreatif).
Dari penjelasan teori tersebut kita tahu
bahwa implementasi kebijakan sebagai alat administrasi yang berfokus untuk
memahami apa yang sebenarnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku.
Seperti yang dinyatakan oleh Mazmanian dan Sabatier, 1983 (dalam Pandji Santosa,
2008:42) mengungkapkan bahwasanya :
“Implementation
is caring out of a basic policy decision, usually incorporated in a statute but
which can also take the form of important executive orders or court dcisions.
Ideally that decisions identifies the problem(s) to be adressed, stimulate(s)
to be pursued, and , in a varieaty of ways, “structures” the implementation
process. The process normally runs through a number of stages beginning with
passage of the basic statute, followed by the policy output (decisions) od the
implementing agencies, the compliance of target groups with those decisions the
actual impact-both intended and unintended- of those outpust, the perceived
impact of agency decisions, and finally, important revisions for attempted
revisions in the basic statute” (Implementasi adalah kepedulian
terhadap keputusan kebijakan dasar, biasanya dimasukkan dalam undang –undang
tetapi juga dapat berbentuk perintah eksekutif atau keputusan pengadilan yang
penting. Idealnya keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang harius
ditangani, merangsang untuk dikejar , dan dalam berbagai cara, “menstrukturkan”
proses implementasi. Proses tersebut biasanya berjalan melalui beberapa tahap
yang dimulai dengan pengesahan
undang-undang dasar, diikuti oleh keluaran kebijakan (keputusan) dari lembaga
pelaksana, kepatuhan kelompok sasaran dengan keputusan tersebut, dampak aktual
baik yang disengaja maupun tidak diinginkan dari keluaran tersebut, dampak yang
dirasakan dari keputusan lembaga, dan akhirnya , revisi penting untuk dalam
undang-undang.)
Dari teori Mazmanian dan Sabitier tersebut
menunjukan bahwasanya implementasi kebijakan sebagai proses pelaksanaan dari
kebijakan dasar (undang-undang) atau dari keputusan eksekutif yang penting.
Dimana dalam keputusan tersebut terdapat pemahaman mengenai masalah – masalah
yang ingin diatasi dan tentu terdapat pula tujuan serta sasaran yang ingin
dicapai.
Implementasi kebijakan dapat dikatakan
efektif apabila para pembuat kebijakan dan implementor memahami apa yang mereka
kerjakan dimana hal ini dapat terjadi apabila komunikasi berjalan dengan baik.
George C. Edward III menguraikan tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan (Winarno, 2002) , tiga hal tersebut adalah transmisi, kejelasana dan
konsistensi.
Yang pertama, Transmisi yang merupakan
pihak – pihak yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus
dilakukan. Dimana komunikasi harus akurat dan mudah dimengerti, dalam hal ini
tujuan dan sasaran dari kebijakan harus disampaikan kepada kelompok sasaran
untuk mengurangi dampak dari implementasi kebijakan tersebut. Kedua Kejelasan,
jika kebijakan hendak diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, petunjuk –
petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksanana, akan
tetapi komunikasi juga harus jelas. Karena ketidakjelasan komunikasi dapat
berakibat terjadinya interpretasi yang salah bahkan berlawanan dengan makna
awal kebijakan. Yang terakhir adalah Konsistensi, bila implementasi kebijakan
ingin berjalan dengan efektif, perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas.
Menurut pandangan Peter de Leon dan Linda
de Leon, 2001 (dalam Rahahyu Kusuma Dewi, 2016:161) mengungkapkan bahwasanya Pendekatan
dalam implementasi kebijakan publik dapat dikelompokkan menjadi tiga generasi
yang kemudian peneliti ringkas menjadi :
Generasi Pertama berlangsung pada
tahun 1970-an , dimana dipahami implementasi kebijakan sebagai masalah –
masalah yang terjadi di antara kebijakan dan eksekusinya. Generasi kedua
berlangsung pada tahun 1980-an dimana pada masa ini implementasi kebijakan yang
memiliki sifat top-downer perspective
(dari atas ke bawah) dikembangkan dan fokus penerapanya pada sebuah birokrasi ,
disaat yang sama juga pendekatan bottom
upper (dari bawah ke atas) berkembang. Generasi ketiga berlangsung pada
tahun 1990-an , pada masa ini dikenalkan bahwasanya varibel atau faktor
perilaku dari aktor pelaksana implementasi kebijakanlah yang lebih menentukan
keberhasilan dari implementasi kebijakan serta di masa yang sama muncul
pendekatan situasional dalam implementasi kebijakan.
Dari munculnya generasi – generasi
tersebut menimbulkan munculnya konsentrasi pemikiran tentang implementasi
kebijakan atau yang sekaligus menjadi model – model implementasi. Salah satu
dari model tersebut adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn , dengan
Model Top Down Approach.
Dimana menurut pandangan mereka
implementasi kebijakan dapat berjalan dengan sempurna apabila memiliki beberapa
persyaratan , sebagai berikut : (1) Kondisi eksternal yang tidak menghambat
atau menimbulkan gangguan (2) Tersedia sumber dan waktu yang memadai (3)
Perpaduan dari sumber yang tersedia (4) hubungan antara rencana dan
pelaksanaanya (5) hubungan dependensi (ketergantungan) yang minim (6) Pemahaman
mendalam dan kesepakatan tujuan (7) Tugas yang rinci dan berurutan dengan tepat
(8) Komunikasi yang baik (sempurna) dan (9) Pihak yang berwenang mendapat
kepatuhan. Dari syarat – syarat yang ada dapat kita lihat bahwa model ini
mendasarkan pada konsep manajemen strategis dan bertujuan pada praktik
manajemen yang sistematis.
Adapun model lain yaitu Model Daniel
Mazmanian dan Paul A. Sabatier yang disebut dengan model kerangka analisis
implementasi. Dimana menurut model ini implementasi adalah sebuah upaya unutk
melaksanakan keputusan kebijakan. Dalam model ini juga dikategorikan proses
implementasi yang terdapat pada tiga kategori besar , sebagai berikut:
Kategori pertama adalah mudah atau sulitnya
permasalahan untuk dikendalikan yang bisa dilihat dari beberapa indikator yaitu
: (a) Dari fungsinya (b) Kesulitan – kesulitan teknis (c) kesamaan perilaku
yang akan diatur (d) presentasi jumlah sasaran dari jumlah penduduk yang ada
dan (e) tingkat perubahan perilaku yang diharapkan.
Kategori kedua adalah kemampuan kebijakan
menstrukturkan proses implementasi
dengan beberapa faktor sebagai berikut : (a) Kecermatan dan kejelasan
tentang tujuan yang dicapai, (b) keahlian mempergunakan teori kausalitas, (c)
Ketepatan mengalokasikan sumber dana, (d) Kesinambungan dari hierarki yang ada
dilingkungan maupun pelaksana, (e) Aturan pembuat keputusan dari pelaksana, (f)
Kesepakatan para pejabat dalam menjalankan maksud dan tujuan yang ada dalam
peraturan dan (g) akses – akses formal dimana badan badan eksekutif ,
legislative dan yudikatif sebagai atasan pelaksana.
Kategori ketiga adalah varibel – variabel
diluar unndang – undang yang mempengaruhi implementasinya, yaitu sebagai
berikut : (a) Kondisi situasi politik yang didalamnya tentu terdapat kebutuhan
program yang berbeda bagi kepentingan kelompok dukungan politik yang menuju
pada dirugikan atau tidak dirugikanya kelompok kepentingan (b) Kondisi anak dan
teknologi yang dipertimbangkan dalam keseriusan permasalahan yang dihadapi dan
(c) Dukungan publik melalui pendapat umum atau opini baik langsung maupun
melalui media massa, sikap kelompok masyarakat, dukungan dari lembaga yang
berwenang, kesepakatan serta kemampuan kepemimpinan dari pejabat – pejabat
pelaksana dan tahap – tahap dalam proses implementasi mulai dari output berupa
ketentuan dari badan pelaksana , kepatuhan kelompok sasaran, dampak yang
dihasilkan, persepsi yang muncul serta evaluasi sistem politik tehadap
peraturan atau undang – undang.
Seperti pada Program Bantuan Pangan Non
Tunai (BPNT) dimana program ini adalah wujud dari implementasi kebijakan yang
diatur proses penyalurnya dalam Peraturan Mentri Sosial RI Nomor 11 Tahun 2018
yang tentu didalamnya terdapat berbagai prosedur penyaluran yang berfungsi untuk
mengatur proses implementasi agar berjalan dengan baik.
Maka salah satu cara menilai keberhasilan
sebuah program terdapat pada poses implementasinya dimana dalam tahap ini
merupakan tahap yang terpenting dimana secara keseluruhan program dapat dinilai
berhasil atau tidak. Seperti pada implementasi Program Bantuan Pangan Non Tunai
ini dimana keberhasilan dapat dilihat apakah sudah dijalankan sesuai dengan
peraturan – peraturan yang ditetapkan.
Dalam hal ini harus adanya tahapan –
tahapan yang dilalui seperti pada pedoman program mulai dari persiapan
pelaksanaan , pembentukan agen – agen penyaluran atau e-warong , melakukan
edukasi pada masyarakat melalui sosialisasi dan pada proses penyaluran BPNT itu
sendiri. Juga salah satu yang terpenting adalah ketepatan sasaran seperti pada
prinsip agar kemanfaatan dari program dapat dirasakan oleh penerima.
Namun apabila ada tahapan – tahapan
penting yang dilewatkan seperti tidak adanya agen penyalur , tidak dilakukanya
edukasi dan juga proses penyaluran yang tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku maka program BPNT ini dapat dinilai tidak berhasil dan perlu dilakukan
peninjauan serta evaluasi agar program BPNT dapat berjalan sesuai denga pedoman
maupun peraturan yang berlaku.
Maka dapat disimpulkan apa yang menjadi
maksud Implementasi Program Bantuan Pangan Non Tunai yang berhasil adalah
tercapainya tujuan – tujuan dari program dengan melalui tahapan – tahapan yang
telah ditetapkan.
2.3 Program Bantuan
Pangan Non Tunai
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) Program adalah sebuah rancangan mengenai asas atau usaha
(dalam ketatanegaraan, perekonomian dan sebagainya) yang akan dijalankan.
Secara umum definisi mengenai program adalah kumpulan intruksi , rencana
kegiatan , pedoman, acara ataupun daftar yang berurutan.Berdasarkan pedoman
umum BPNT dijelaskan bahwasanya :
Bantuan
Pangan Non Tunai adalah bantuan sosial pangan yang disalurkan dalam bentuk non
tunai dari pemerintah kepada KPM (Keluarga Penerima Manfaat) setiap bulannya
melalui mekanisme uang elektronik yang digunakan hanya untuk membeli bahan
pangan di pedagang bahan pangan atau disebut E-warong yang bekerjasama dengan
Bank Penyalur.
Program BPNT ini adalah hasil dari
pembaharuan program-program sebelumnya yang dikenal dengan RASKIN atau Beras
Untuk Masyarakat Miskin dimana program ini memberikan bantuan berupa beras yang
dalam prosesnya menggunakan mekanisme biaya tebus dengan harga murah.
Masyarakat juga memiliki batas dalam pembelian beras murah ini yaitu maksimal
sebesar 10 (Sepuluh) Kilogram yang pada masa itu di beri harga Rp.32.000,-
(Tiga Puluh Dua Ribu Rupiah). Program RASKIN ini berjalan cukup lama dan
menimbulkan banyak perdebatan di kalangan masyarakat.
Akhirnya pemerintah memutuskan untuk melakukan
perubahan nama program RASKIN menjadi RASTRA yang merupakan singkatan dari
Beras Sejahtera. Tentu tidak hanyak nama yang berubah , namun pada mekanisme
biaya tebus juga dihilangkan. Sejalan
dengan tujuan Presiden RI Joko Widodo mengenai Gerakan Nasional Non Tunai
(GNNT) maka program RASTRA juga mengalami perubahan. Program tersebut juga
mengalami perubahan menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Dalam proses penerapanya Program
Bantuan Pangan Non Tunai memiliki prinsip – prinsip dasar yang dikenal dengan
6T , sebagai berikut :
a. Tepat
Waktu, tentu yang dimaksudkan adalah pada proses penyaluran dana bantuan
memiliki jangan waktu batasan maksimal. Agar keluarga penerima manfaat dapat
menerima dan mempergunakan bantuan tersebut.
b. Tepat
Sasaran, yaitu penerima BPNT adalah keluarga yang telah terdata pada sistem
Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
c. Tepat
Jumlah, yang berarti dana bantuan yang masuk pada rekening penerima harus
sesuai dengan aturan besaran nominal.
d. Tepat
Kualitas, yaitu segala macam komiditi yang menjadi hak penerima harus memiliki
kualitas yang memenuhi standar kelayakan.
e. Tepat
Harga, tentunya dalam penentuan harga barang komoditi harus sesuai dengan harga
pasar agar tidak terjadi selisih harga yang memberatkan keluarga penerima.
f.
Tepat Administrasi,
dimana segala transaksi yang dilakukan oleh pihak penyalur harus memiliki bukti
transaksi.
Program Bantuan Pangan Non Tunai ini dijalankan
bukan tanpa tujuan. Ada berbagai tujuan yang diharapkan, antara lain :
a. Mengurangi
beban pengeluaran Keluarga Penerima Manfaat melalui pemenuhan kebutuhan dasar
pangan.
b. Memberikan
gizi yang lebih seimbang kepada penerima manfaat.
c. Meningkatkan
ketepatan sasaran dan ketepatan waktu penerimaan bantuan pangan.
d. Memberikan
lebih banyak pilihan kepada keluarga penerima manfaat.
e. Mendorong
pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Manfaat dari Program Bantuan Pangan
Non Tunai , antara lain :
a. Untuk
meningkatkan ketahanan pangan para Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang
sekaligus menjadi suatu mekanisme pemerintah dalam perlindungan sosial dan
penanggulangan kemiskinan.
b. Meningkatkan
pertumbuhan ekonomi terutama usaha mikro di bidang perdagangan.
c. Meningkatkan
transaksi dalam agenda Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).
d. Meningkatkan
efisiensi dalam proses penyaluran bantuan sosial.
Seperti pada penjelasan mengenai
Program BPNT diatas bahwasanya bantuan ini diperuntukan kepada masyarakat
miskin. Masyarakat tersebut adalah keluarga yang disebut dengan Keluarga
Penerima Manfaat (KPM) yang tentunya telah terdata melalui sistem yang disebut
dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Berikut ini adalah gambaran
alur proses perubahan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Sesuai dengan gambar bagan diatas pada awal BPNT dijalankan pada tahun 2017 nominal yang diberikan sebesar Rp.110.000,- / bulan dimana uang tersebut hanya dapat ditukarkan menjadi beberapa komoditi antara lain : beras , gula , minyak , telur dan tepung.
Namun pada tahun 2018
pemilihan komoditi kebutuhan pokok tersebut berubah menjadi hanya untuk beras
dan telur dengan beberapa aspek pertimbangan. Pada tahun berikutnya 2019 BPNT
menambah jumlah nominal bantuan yang diberikan menjadi Rp.150.000,-/bulan dengan
komoditi yang sama yaitu beras dan telur.
Pada pertengahan tahun
2020 kebijakan tersebut berubah menjadi Program Sembako dengan jumlah nominal
bantuan Rp.200.000 / bulan dengan pemilihan komoditi yang bertambah yaitu beras
, telur , protein hewani (daging) , protein nabati ( kacang-kacangan) , vitamin
dan mineral ( buah dan sayur). Pengantian nama ini diambil dengan alasan agar
lebih mudah dipahami oleh masyarakat secara luas.
2.4
Implementasi
Program BPNT dalam PERMENSOS NO 11 TAHUN 2018
Tentu
dalam lahirnya sebuah program memiliki sebuah dasar hukum, seperti pada Program
Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang memiliki dasar hukum tentang proses penyaluran
bantuan non tunai secara tertulis pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun
2018. Pasal 9 (Sembilan) dijelaskan ada beberapa tahapan mekanisme yang harus
dilalui dalam penyaluran Program BPNT , sebagaimana berikut :
Mekanisme
penyaluran BPNT dilakukan melalui tahapan :
a. registrasi
dan/ atau pembukaan rekening;
b. edukasi
dan sosialisasi;
c. penyaluran;
dan
d. pembelian
barang.
Registrasi dan pembukaan rekening
bagi KPM diperjelas dalam pasal 10 (Sepuluh) dimana kegiatan ini meliputi
pembukaan rekening secara kolektif, pencetakan kartu, aktivasi, dan dilakukanya
pendistribusian kartu yang tentunya dilakukan oleh Bank Penyalur yang telah
berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Penanganan Fakir Miskin. Pada kegiatan
ini tentu memiliki batas waktu yang diatur pada pasal 11 (Sebelas) yaitu
registrasi dan pembukaan rekening harus diselesaikan paling lambat 60 hari
setelah data dari KPM BPNT diterima oleh Bank Penyalur.
Sebelum melakukan kegiatan
resgistrasi dan pembukaan rekening tentunya Bank Penyalur telah melakukan
persiapan dan koordinasi mengenai E-warong berdasarkan jumlah dan lokasi yang telah ditetapkan
oleh Menteri seperti yang tertulis pada
pasal 6. Pada pasal 12 dijelaskan bahwa Bank Penyalur memiliki tugas untuk
mengidentifikasi, mempersiapkan pedagang dan agen agar dapat menjadi E-warong
yang dapat menyalurkan BPNT. Setelah melakukan proses persiapan E-warong
mengetahui jumlah calon KPM, E-warong juga memiliki batas maksimal KPM BPNT
yang dilayani yaitu sebanyak 250 penerima yang diatur dalam pasal 14.
Apabila registrasi dan pembukaan rekening
telah selesai dilakukan, maka tahap berikutnya adalah memberikan edukasi dan
sosialisasi kepada Keluarga Penerima Manfaat , Pendamping sosial BANSOS Pangan,
dan aparat pemerintah daerah yang dijelaskan pada pasal 15. Kegiatan edukasi
dan sosialisasi ini dilaksanakan bersamaan dengan proses pendistribusian, pengecekan keberadaan
KPM dan aktivasi kartu.
Pada proses edukasi dan sosialisasi
dapat dilakukan melalui berbagai media yang ada mulai dari tatap muka , media
elektronik , media cetak , media sosial bahkan melalui daring sekalipun.Tahap
berikutnya pada pasal 21 adalah penyaluran yang dilakukan oleh Bank Penyalur
dengan dilakukanya pemindahbukuan dana dari Direktorat Jenderal Penanganan
Fakir Miskin kepada rekening Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan batas waktu
paling lama 30 hari.
Maka tahap terakhir adalah pembelian
barang yang dilakukan oleh KPM setelah menerima Bantuan Pangan Non Tunai
sebesar Rp.110.000,- (seratus sepuluh ribu rupiah) pada tiap bulan yang diatur
pada pasal 23. Dana tersebut tentunya tidak dapat diambil secara tunai dan
hanya dapat dipergunakan untuk pembelian bahan – bahan pangan yang telah
ditentukan dengan menggunakan kartu di e-warong. Tentunya dana yang diberikan
tersebut sudah diperhitungkan sesuai dengan kemampuan negara.
Pada proses pembelian barang untuk
pertama kalinya Bank Penyalur memiliki
tugas yang dijelaskan pada pasal 24 untuk memberikan informasi mengenai
pembukaan rekening , PIN untuk penggunaan rekening, jumlah dana bantuan yang
disalurkan, tata cara pembelian barang bahan pangan dan informasi mengenai
tabungan. Proses pembelian bahan pangan menggunakan kartu ini dapat dilakukan
setiap saat sesuai dengan kebutuhan keluarga penerima manfaat.
Dari penjelasan singkat mengenai mekanisme tahapan Program Bantuan Pangan Non Tunai yang ada pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 11 Tahun 2018 ini maka implementasi program dapat dinilai. Apabila sudah berjalan sesuai dengan tahapan - tahapan yang ada maka dapat disimpulkan implementasi program BPNT yang ada di Kota Batu terlah berjalan dengan baik. Namun apabila banyak kendala – kendala yang belum dapat ditemukan solusi pada proses implementasi di lapangan maka program BPNT masih belum berjalan dengan baik dan tentu perlu dilakukan evaluasi kembali.
0 komentar:
Posting Komentar