Pengaruh Firm Size, Leverage, dan Audit Quality Terhadap Tax Avoidance Studi Pada Perusahaan Sub Sektor Properti
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak
merupakan sumber utama pendanaan negara untuk menuntaskan kebutuhan nasional,
termasuk membiayai proyek pembangunan serta mendukung Anggaran Pendapatan serta
Belanja Negara (APBN). Pemerintah berupaya mengumpulkan pajak dari masyarakat
selaras dengan aturan sudah ditetapkan, mengingat pentingnya peran pajak dalam
mempertahankan stabilitas pemerintahan serta pembangunan nasional. Namun,
tingginya angka penggelapan pajak di kalangan wajib pajak Indonesia menjadi
salah satu penyebab rendahnya penerimaan pajak negara (Badertscher et al.,
2019). Selain berfungsi sebagai sumber pendapatan, perpajakan pula punya tujuan
redistribusi, yakni mendistribusikan pendapatan dari individu punya kemampuan
ekonomi lebih tinggi kepada mereka kurang mampu. Fungsi ini sekadar bisa
tercapai apabila wajib pajak mematuhi kewajiban perpajakannya secara benar
serta bertanggung jawab (Irawan et al., 2017). Oleh sebab itu, kepatuhan wajib
pajak menjadi elemen kunci dalam memastikan keberhasilan sistem perpajakan
untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.
Perusahaan diharapkan berkontribusi atas pajak
di Indonesia demi meningkatkan perekonomian Indonesia, hal
ini dikarenakan
entitas bisnis punya kontribusi penting atas penerimaan pajak suatu negara (Puri
serta Wijayanti, 2021).
Namun, pajak pula bisa menjadi beban bagi entitas bisnis sebab bisa menurunkan
pendapatan ataupun laba. Akibatnya, manajemen bisa mencoba menurunkan kewajiban
pajak untuk meningkatkan laba dengan mempergunakan teknik penghindaran pajak.
Perusahaan secara aktif menolak pajak tetapi tetap mematuhi regulasi
perundang-undangan berlaku disebut mengupayakan penghindaran pajak. Mengurangi
kewajiban pajak dengan sengaja berpartisipasi dalam kegiatan kena pajak ataupun
menghindari pajak tanpa melanggar regulasi perpajakan Indonesia merupakan makna
lain dari penghindaran pajakPerusahaan mengupayakan penghindaran pajak dengan
tujuan meminimalkan kewajiban pajak sekaligus meningkatkan pendapatan.
Penghindaran pajak merupakan masalah khusus serta rumit sebab, meskipun tidak
melanggar hukum, pemerintah tetap memandangnya secara negatif. (Adhivinna, 2017).
Praktik
penghindaran pajak oleh entitas bisnis menghadirkan dampak signifikan baik bagi
negara maupun entitas bisnis itu sendiri. Bagi entitas bisnis, tax avoidance
dianggap menguntungkan sebab mampu menekan biaya operasional. Namun, bagi
negara, tindakan ini justru mendatangkan kerugian besar. Sebagai negara non-tax
haven, Indonesia mencatat kerugian akibat praktik penghindaran pajak diupayakan
korporasi. didasarkan pada laporan Tax Justice Network, pada tahun 2020,
Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp67,6 triliun, angka bahkan
melampaui anggaran pemerintah untuk pembiayaan korporasi pada tahun sama
senilai Rp62,22 triliun. Kerugian ini sebagian besar terjadi sebab korporasi
mempergunakan celah di tengah kondisi pandemi Covid-19 untuk memperoleh
keuntungan lewat penghindaran pajak.
Tabel
1. 1
Target serta Realisasi Penerimaan
Pajak
tahun 2020-2023
Tahun |
Target Penerimaan
Pajak |
Realisasi Penerimaan
Pajak |
Presentasi Pencapaian |
2020 |
Rp.1.198,8
triliun |
Rp.1.069,1
triliun |
82,9% |
2021 |
Rp.1.229,6
triliun |
Rp.1.444,5
triliun |
117,5% |
2022 |
Rp.1.449,1
triliun |
Rp.1.714,0
triliun |
114,3% |
2023 |
Rp.1.718,0
triliun |
Rp.1.869,2
triliun |
108,8% |
Data diolah
(Sumber : w w w.kemenk eu.go.id )
didasarkan data
Kementerian Keuangan, target serta realisasi penerimaan
pajak dalam triliun rupiah periode 2020-2023, pada
tahun 2020, realisasi
penerimaab pajak sekadar
mencapai 89,2% dari target akibat dampak dari pandemi Covid-19. Selanjutnya
pada tahun 20201-2022 mengungkapkan pemulihan kuat dengan realisasi melebihi 100% dari target dengan
prosentase masing-masing 117,5% serta 114,3%. Pada tahun 2023, realisasi
penerimaan pajak mencapai mencapai angka Rp.1.869,2 triliun ataupun sekitar
108,8% dari target awal Rp.1.718 triliun. Sebanyak 102,8%
dari angka ini merupakan target revisi Perpres 75/2023 senilai Rp.1.828,2 triliun.
Secara umum, penerimaan pajak pada rentang periode 2020-2023 mengungkapkan tren
positif seiring membaiknya aktivitas perekonomian. Meski demikian,
pemerintah masih menghadapi tantangan untuk terus meningkatkan pemenuhan
wajib
pajak agar target
penerimaan
pajak
bisa tercapai setiap tahunnya.
Perusahaan Real
estate dan Properti merupakan entitas bisnis menyediakan layanan kepada
konsumen untuk menuntaskan permintaan mereka akan rumah serta properti.
Perusahaan-perusahaan ini tercatat sebagai entitas bisnis publik di Bursa Efek
Indonesia. Sebagai salah satu industri terpenting di negara ini, pasar real
estate punya dampak besar atas perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan bergerak
di subsektor Real estate dan Properti akhir-akhir ini mengungkapkan
gejala-gejala penurunan kinerja. Penurunan rata-rata pendapatan penjualan, merupakan
akibat dari kenaikan harga real estate serta hilangnya daya beli masyarakat,
menjadi buktinya. Dengan
capaian melampaui Rp2,4 triliun, industri Real estate dan Properti menduduki
peringkat keenam dalam hal alokasi dana, menjadikannya salah satu sektor paling
produktif, didasarkan pada laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2021.
Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sempat mengalami penurunan signifikan, hal
ini mengungkapkan adanya peningkatan.
Dengan kapasitas untuk menyerap tenaga kerja cukup besar,
serta efek pengganda cukup besar serta keterkaitan dengan sektor ekonomi
lainnya, sektor properti di Indonesia menghadirkan kontribusi signifikan atas
lapangan pekerjaan (Setiawan et al., 2021). Agar entitas bisnis Real estate dan
Properti bisa terus menciptakan uang, mereka harus meningkatkan kemampuan
mereka untuk menjalankan operasi entitas bisnis sebagai entitas bisnis diperdagangkan
secara publik. Ristanti (2019) mengklaim bahwasannya organisasi dipaksa oleh
bermacam pemangku kepentingan untuk terus meningkatkan mutu kinerja operasional
mereka saat go public. Perkembangan ini kemungkinan akan menarik investor untuk
mendanai bisnis, pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan suatu negara
serta mendorong kenaikan ekonomi menguntungkan, terutama di industri real estat
serta properti. Bisnis sangat menguntungkan akan punya lebih banyak kewajiban
pajak, akan membuka pintu bagi penghindaran pajak.
didasarkan
laporan State of Tax Justice 2020 dirilis oleh Tax Justice Network,
Indonesia mengalami kerugian pajak tahunan sekitar US$4,86 miliar ataupun
setara dengan Rp69,1 triliun akibat aktivitas penghindaran pajak. Jumlah ini
mencakup 42,29% dari total belanja kesehatan Indonesia serta 4,39% dari total
penerimaan pajak negara. Pada taraf global, kerugian pajak dialami negara
berkembang akibat penghindaran pajak setara dengan 52,36% dari total belanja
kesehatan mereka. Dari total kerugian pajak di Indonesia, senilai US$4,78
miliar diakibatkan oleh praktik penghindaran pajak diupayakan entitas bisnis,
sementara US$78,33 juta hilang sebab individu menyembunyikan kekayaannya di
luar negeri. Data ini mengungkapkan dampak besar penghindaran pajak atas
penerimaan negara, terutama dalam sektor vital seperti kesehatan.
Enam raksasa teknologi Amerika Serikat—Google, Amazon,
Facebook, Apple, Microsoft, serta Netflix—dikenal menerapkan strategi
penghindaran pajak agresif. Amazon, dipimpin oleh Jeff Bezos, sering menjadi
sorotan sebagai salah satu pelaku penghindaran pajak paling mencolok. Dalam
sepuluh tahun, Amazon mencatat pendapatan senilai $960,5 miliar (sekitar
Rp13.573,8 triliun) serta laba senilai $26,8 miliar (sekitar Rp378,8 triliun),
tetapi sekadar membayar pajak senilai $3,4 miliar (sekitar Rp48,0 triliun).
Strategi mereka termasuk mendirikan kantor pusat di Luksemburg, sebuah negara dikenal
sebagai surga pajak, jadi menghindari kewajiban pajak di Inggris. Hal serupa
diupayakan oleh Google, pada tahun 2016 melaporkan pembayaran pajak sekadar
senilai £36,4 juta kepada pemerintah Inggris, meskipun pendapatannya mencapai
£1 miliar. Bahkan dengan estimasi laba sebelum pajak senilai £148 juta, jumlah
pajak dibayarkan Google jauh di bawah ekspektasi. Strategi-strategi ini
mencerminkan bagaimana entitas bisnis besar mempergunakan celah dalam sistem
pajak internasional untuk menurunkan kewajiban pajak mereka. (Tirto.id, 20
Februari 2019).
Fenomena kasus penghindaran pajak pada tahun 2016 yakni terjadi
kebocoran dokumen berkenaan
dengan transaksi keuangan dari
basis data
Mossack
Fonseca
berpusat di Panama.
Dokumen-dokumen tersebut bocor
secara
anaonim ke surat kabar Jerman Süddeutsche Zeitung (SZ) dimana didalam dokumen tersebut berisikan
daftar klien besar di seluruh dunia.
Diduga dokumen tersebut dipalsukan untuk menurunkan jumlah pajak harus
dibayarkan entitas bisnis tersebut. PT Ciputra Development, Tbk serta PT Lippo
Karawaci, Tbk, keduanya bergerak pada sektor Real estate dan Properti,
merupakan sejumlah entitas bisnis Indonesia lain ikut serta dalam kasus ini
(Republika.id, 2016). didasarkan pada laporan, PT Ciputra Development
menyembunyikan aset senilai USD 1,6 miliar ataupun sekitar Rp 21,6 triliun
untuk menghindari pembayaran pajak di Indonesia (Awaloedin, 2020).
PT. Adaro Energy Tbk didakwa
mengupayakan penggelapan pajak pada tahun 2019 setelah diduga mempergunakan
penetapan harga transfer untuk menghindari pajak. Hal ini mengakibatkan
pengalihan laba cukup besar dari Indonesia ke Coaltrade Service International,
sebuah entitas bisnis Singapura menikmati pajak minimal ataupun tidak sama
sekali. didasarkan pada laporan, perilaku ini berlanjut antara tahun 2009 serta
2017. didasarkan pada www.kompasiana.com, PT. Adaro Energy Tbk diperkirakan
sudah menurunkan beban pajaknya secara signifikan dari jumlah seharusnya
dibayarkan di Indonesia menjadi Rp 1,75 triliun, ataupun sekitar US$ 125 juta.
PT Karyadeka Alam
Sari, entitas bisnis bertanggung jawab membangun proyek perumahan Bukit
Semarang Baru, yakni contoh lain dari penipuan pajak di industri Real estate
dan Properti Indonesia. Di Semarang, entitas bisnis tersebut menawarkan hunian
mewah seharga Rp 7,1 miliar. Ada perbedaan harga Rp 6,1 miliar sebab dokumen
notaris sekadar mengungkapkan harga jual Rp 940 juta. Akibatnya, pajak
pertambahan besaran (PPN) senilai 10% atas jumlah tersebut setara dengan
sekitar Rp 610 juta masih terutang. Selanjutnya, Rp 300 juta merupakan output
penerapan pajak pendapatan (PPh) final senilai 5% atas Rp 6,1 miliar. Dengan
demikian, Rp 910 juta merupakan seluruh jumlah pajak terutang. Negara bisa merugi miliaran rupiah sekadar pada satu proyek perumahan
saja apabila pengembang menjual sejumlah besar unit rumah mewah. Dengan adanya perbedaan besaran tersebut, developer mengupayakan pembelian
rumah terbukti mengupayakan
praktik penghindaran pajak.
Hal
ini dikarenakan adanya usaha
untuk menyembunyikan transaksi
sebenarnya, bisa mengakibatkan berkurangnya penerimaan Negara
(Awaloedin, 2020).
Erosi basis pajak disebabkan oleh
penghindaran pajak menurunkan jumlah penerimaan pajak diwajibkan bagi negara.
Selain itu, hal ini pula memengaruhi permintaan atas produk-produk tertentu.
didasarkan pada Rahayu (2010), hal ini menyebabkan penurunan permintaan atas
barang-barang dikenakan pajak serta peningkatan permintaan atas barang-barang tidak
dikenakan pajak ataupun dikenakan pajak lebih rendah.
Sejumlah riset sudah menemukan
bahwasannya bermacam faktor memengaruhi penerapan penghindaran pajak dalam
bisnis. Ukuran perusahaan, leverage, serta kualitas audit yakni sejumlah faktor
sering dikaitkan dengan penghindaran pajak. Ukuran perusahaan, ataupun skala
ataupun besaran dengannya bisnis bisa diklasifikasikan sebagai besar ataupun
kecil didasarkan total aset, ukuran jangka panjang, besaran saham, serta
faktor-faktor lainnya, yakni faktor pertama bisa memengaruhi penghindaran pajak
(Hormati, 2009). Ukuran perusahaan mengungkapkan kemampuan serta stabilitasnya
dalam menjalankan operasi ekonomi. Pemerintah cenderung memberi perhatian lebih
tinggi kepada bisnis lebih tinggi, mungkin menyebabkan manajer mengambil
pendekatan kepatuhan ataupun agresif atas masalah pajak (Vany, 2017). Ukuran
perusahaan mengungkapkan jumlah sumber daya dimilikinya, memengaruhi
kapasitasnya untuk membayar pajak serta bisa menjadi faktor berkontribusi atas
penghindaran pajak.
Lebih jauh,
leverage rasio mengevaluasi seberapa banyak entitas bisnis mempergunakan
pembiayaan utang merupakan elemen kedua bisa memengaruhi penghindaran pajak
(Kurniasih et al., 2013). Penggunaan utang untuk menuntaskan kebutuhan
operasional serta investasi merupakan praktik umum bagi bisnis. Di sisi lain,
utang mungkin punya taraf pengembalian tetap, ataupun bunga. Beban bunga di tanggung entitas bisnis bisa dipergunakan sebagai
pengurang pendapatan kena pajak entitas bisnis
untuk menekan beban pajaknya. Oleh sebab itu, peningkatan besaran
rasio leverage mengungkapkan bahwasannya bisnis tersebut mempergunakan lebih
banyak pendanaan dari utang pihak ketiga, meningkatkan biaya bunga terkait
dengan semua utang tersebut. Penurunan beban pajak entitas bisnis akan mendapat
dampak dari meningkatnya biaya bunga (Darmawan & Sukarta, 2014). Akibatnya,
bisnis punya banyak leverage lebih sedikit menghindari pajak.
Komponen ketiga,
kualitas audit, merupakan komponen penting lainnya bisa berdampak pada
penghindaran pajak. Semua kemungkinan output ketika auditor meninjau laporan
keuangan entitas bisnis termasuk dalam kualitas audit, termasuk temuan
ketidakkonsistenan ataupun kesalahan dalam laporan serta pelaporan selanjutnya
dalam laporan audit. Salah satu komponen terpenting dari penerapan Tata Kelola
Perusahaan Baik oleh entitas bisnis yakni transparansi dalam pengungkapan
kualitas audit. Dengan menghadirkan kualitas audit unggul
serta menjamin keakuratan data keuangan diberikan kepada investor, audit dengan
kualitas kerja serta kapasitas tinggi akan menjunjung tinggi reputasinya (Sandy
et al., 2015). makin tinggi kualitas audit entitas bisnis tersebut, makin sulit
bagi entitas bisnis untuk mengupayakan penghindaran pajak. KAP (Kantor Akuntan
Publik) mengaudit laporan keuangan entitas bisnis dipergunakan pada riset ini
untuk mengevaluasi kualitas audit. didasarkan pada Feranika et al. (2016),
empat kantor akuntan publik terbesar (Big Four) dikenal sebagai organisasi mampu
mengaudit laporan keuangan bisnis, jadi memungkinkan mereka untuk menemukan
cacat penyajian serta penipuan disengaja ataupun tidak disengaja.
Banyak pihak sudah
mengupayakan riset berkenaan dengan variabel Ukuran perusahaan, namun
kesimpulan didapat dari riset tersebut cukup bervariasi. didasarkan pada output
riset Asfiyati (2012), Kristiana (2013), serta Rusydi (2013), Ukuran perusahaan
tidak punya dampak atas penggelapan pajak. Namun, riset diupayakan oleh Nugroho (2011),
Adelina (2012), Fatharani (2012), Darmawan (2014), Marfu’ah (2015), serta
Dewinta (2016) mengungkapkan bahwasannya Ukuran perusahaan serta penghindaran
pajak berkorelasi positif. Di sisi lain, riset oleh Cahyono et al. (2016) serta
Wijayanti et al. (2017) mengungkapkan bahwasannya Ukuran perusahaan tidak punya
dampak jelas atas penghindaran pajak. Selanjutnya, riset oleh Prihananto et al.
(2018) serta Praditasari et al. (2017) mengungkapkan bahwasannya penghindaran
pajak mendapat dampak dari secara signifikan serta negatif oleh Ukuran
perusahaan. Di sisi lain, riset oleh Dewinta et al. (2016) serta Putri et al.
(2017) mengungkapkan bahwasannya Ukuran perusahaan secara signifikan serta
positif mempengaruhi penghindaran pajak.
Selain itu, Faizah
et al. (2017) serta Kurniasih et al. (2013) meneliti variabel leverage serta
sampai pada kesimpulan bahwasannya leverage tidak punya dampak atas penggelapan
pajak. Namun, riset Ariawan et al. (2017) serta Wijayanti et al. (2017)
mengungkapkan temuan berbeda, mengungkapkan bahwasannya leverage punya dampak
positif atas penggelapan pajak.
Sulistiono (2019) mengupayakan riset atas variabel
kualitas audit serta menemukan bahwasannya variabel tersebut punya dampak positif
atas penghindaran pajak. Di sisi lain, Khairunisa (2017) serta Sandy serta
Lukviarman (2015) menemukan bahwasannya kualitas audit secara signifikan
menurunkan penghindaran pajak. Namun, output ini bertentangan dengan riset
Nugraheni serta Pratomo (2018) tidak menemukan rela antara kualitas audit
dengan penghindaran pajak. Selanjutnya, riset Sudaryo dkk. (2018) serta
Marfirah dkk. (2016) menemukan korelasi positif antara penghindaran pajak
dengan kualitas audit. Di sisi lain, riset Feranika dkk. (2017) serta Wulandari
(2018) mengungkapkan bahwasannya kualitas audit punya dampak merugikan secara
substansial atas penghindaran pajak.
Adapun pula output riset
berbanding terbalik
oleh (Rosalia et al.,
2017), pula oleh (Damayanti
et al,
2015), serta (Yahya et.al, 2021) dengan output riset bahwasannya Kualitas Audit
tidak punya dampak atas penghindaran pajak.
Penelitian
berkenaan dengan penghindaran pajak di Indonesia masih terbatas sebab minimnya
data perpajakan entitas bisnis. didasarkan riset-riset sebelumnya menyajikan
bermacam temuan serta inkonsistensi, penulis berupaya untuk mengevaluasi
kembali serta menggambarkan dampak variabel-variabel tertentu atas penghindaran
pajak di Subsektor Real estate dan Properti tahun 2020 hingga 2023. Penelitian
ini difokuskan pada entitas bisnis-entitas bisnis Real estate dan Properti terdaftar
di Bursa Efek Indonesia, dengan tujuan untuk menghadirkan wawasan serta
pemahaman lebih mendalam berkenaan dengan penghindaran pajak di entitas
bisnis-entitas bisnis tersebut. didasarkan pada publikasi Badan Kebijakan
Fiskal tahun 2016, sektor Real estate dan Properti saat ini sedang mengalami
kenaikan pesat, menghadirkan kontribusi signifikan atas penerimaan pajak
pemerintah serta berperan penting dalam memperkuat kapasitas perpajakan serta
kenaikan ekonomi diperkirakan mencapai sekitar 10% setiap tahunnya.
didasarkan
latar belakang
diatas, peneliti tertarik untuk mengupayakan riset berkenaan
dengan “PENGARUH FIRM SIZE, LEVERAGE DAN AUDIT QUALITY TERHADAP TAX AVOIDANCE PADA PERUSAHAAN SUB SEKTOR
PROPERTI DAN
REAL ESTATE YANG TERDAFTAR di BEI
PADA TAHUN 2020-2023.
3. Bagaimana dampak audit quality (X3) dalam
keadaan parsial atas tax avoidance
(Y) pada entitas bisnis Real estate
dan Properti?
4. Bagaimana dampak firm size (X1), leverage (X2), serta audit quality (X3) dalam keadaan simultan atas tax
avoidance (Y) pada entitas bisnis Real
estate dan Properti?
1.3 Tujuan
Penelitian
1. Untuk mengetahui dampak firm size (X1) dalam
keadaan
parsial atas tax avoidance pada entitas bisnis Real estate
dan Properti.
2. Untuk mengetahui dampak
leverage (X2) dalam
keadaan
parsial atas tax avoidance pada entitas bisnis
Real estate dan Properti.
3. Untuk mengetahui dampak audit quality (X3) dalam
keadaan parsial
atas tax avoidance pada entitas bisnis
Real estate dan Properti.
4. Untuk mengetahui dampak firm size (X1), leverage (X2), serta audit quality
(X3) dalam keadaan simultan atas tax avoidance (Y) pada entitas bisnis Real estate dan Properti.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini diharapkan bisa
menjadi sumber pemahaman baru
berkenaan dengan faktor-faktor mempengaruhi pajak,
seperti Ukuran
perusahaan, leverage serta kualitas audit. Hal ini bisa membantu untuk
memahami dinamika antara
entitas bisnis
dengan kewajibak perpajakan
sudah semestinya ditaati.
b. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi serta
rujukan bagi peneliti selanjutnya punya minat untuk meneliti hal-hal terkait perpajakan serta
metode penghindaran pajak.
2. Manfaat
Praktis a.
Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan bisa membantu entitas bisnis dalam menyusun strategi pajak lebih baik, dengan mempertimbangkan dampak dari penghindaran pajak atas reputasi serta tanggung jawab sosial entitas bisnis. Ini pula bisa menjadi panduan dalam mengambil keputusan manajemen terkait kewajiban perpajakan.
c. Bagi Investor
Penelitian ini diharapkan mampu menghadirkan gambaran kepada investor berkenaan dengan praktik-praktik penghindaran pajak
mungkin diupayakan oleh entitas bisnis.
Sehingga membantu para
investor untuk lebih teliti dalam membuat keputusan investasi lebih informasional
d. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan agar bisa menghadirkan masukan kepada pemerintah khusunya Direktorat Jenderal Pajak
dalam membuat regulasi serta kebijakan berkenaan
dengan tindakan tax avoidance
mengingat tingginya angka penghindaran pajak
hadir di Indonesia
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
1. Firm size (Ukuran Perusahaan)
a. Pengertian Firm
Size (Ukuran Perusahaan)
Istilah
"Ukuran perusahaan" menggambarkan bagaimana suatu entitas bisnis
dikategorikan didasarkan pada total asetnya, ukuran logaritma, besaran saham,
taraf penjualan rata-rata, volume penjualan, serta pendapatan. Secara umum,
bisnis dengan aset signifikan (ukuran besar) lebih mampu serta andal dalam
menciptakan uang daripada bisnis dengan aset lebih kecil (Rachmawati et al., 2007:21). Posisi
ini sudah menyebabkan banyak bisnis, terutama mendapat keuntungan dari tarif
pajak lebih rendah, ikut serta dalam metode penghindaran pajak terkait bermacam
transaksi internal (Stawati, 2020). Ukuran perusahaan besar akan menarik
perhatian para pemangku kepentingan; akibatnya, agar operasinya selaras dengan
nilai dan norma berlaku di masyarakat, entitas bisnis harus beroperasi lebih
efisien agar memperoleh pengakuan ataupun penerimaan dari para pemangku
kepentingan. sebab Ukuran perusahaan, diukur dari total asetnya, jauh lebih
tinggi daripada faktor keuangan lainnya, pengelolaan entitas bisnis akan selalu
mengikuti regulasi perpajakan.
Keuntungan didapat
suatu bisnis punya dampak besar pada pajak dibayarkan setiap tahunnya.
didasarkan margin keuntungannya, entitas bisnis lebih tinggi biasanya
mendapatkan perhatian melampaui pemerintah, mendorong otoritas pajak untuk
memungut pajak selaras dengan undang-undang berlaku. Perusahaan bisa menurunkan
risiko audit ataupun denda lain dari otoritas pajak dengan mematuhi regulasi
ini, akan membantu mereka menjaga reputasi baik di mata investor.
b. Jenis-jenis Firm
Size (Ukuran Perusahan)
didasarkan pada Hartono (2007)
yakni sebagai berikut
:
1. Ukuran aktiva dipergunakan demi memperhitungkan besarnya entitas bisnis.
2. Ukuran aktiva tersebut
diukur sebagai
logaritma
dari total aktiva.
3. Ukuran
entitas bisnis diukur dengan logaritma natural (LN) dari ratarata total aktiva (total asset) entitas bisnis.
c. Firm Size (Ukuran Perusahan) biasa dipergunakan
demi menentukan
Tingkatan Perusahaan (Setiyadi, 2007) yakni :
1.Jumlah
total pekerja tetap serta kontrak terdaftar ataupun dipekerjakan oleh suatu
bisnis selama periode waktu tertentu disebut sebagai tenaga kerja.
2. Tingkat
penjualan mengungkapkan berapa banyak penjualan diupayakan suatu bisnis dalam
periode waktu tertentu.
3. Total utang
merupakan representasi dari total kewajiban entitas bisnis pada tanggal
tertentu.
4. Total
aset
merupakan keseluruhan aset
dipunyai entitas bisnis Ukuran perusahaan, sebagaimana
didefinisikan oleh Ana Meliyana (2017), yakni ukuran suatu bisnis, bisa
dinyatakan sebagai total aset ataupun total penjualan bersih. Sementara
kenaikan pendapatan dikaitkan dengan arus kas lebih baik di dalam organisasi,
total aset lebih tinggi menandakan jumlah modal dikeluarkan lebih tinggi.
Akibatnya, bisa dikatakan bahwasannya Ukuran perusahaan mengklasifikasikan
bisnis didasarkan pada total aset dimilikinya.
Firm Size =
Logaritma Natural × Total Asset
2. Leverage
Leverage keuangan merupakan indikator penting mencerminkan
sejauh mana entitas bisnis mempergunakan utang untuk membiayai aktivitas
operasionalnya. didasarkan pada Kasmir (2015), leverage yakni bagian dari rasio
solvabilitas dipergunakan demi menilai seberapa besar aset entitas bisnis
dibiayai lewat utang serta mengevaluasi kemampuan entitas bisnis dalam
menuntaskan kewajiban jangka pangjang serta jangka pendek, terutama apabila
terjadi likuidasi. Husnan (2006) mendefinisikan leverage sebagai pemakaian
utang untuk meningkatkan potensi pendapatan ataupun sebagai rela antara total
aset serta modal ekuitas. Winwell (2018) menambahkan bahwasannya leverage pula
melibatkan pemanfaatan aset sebagai sumber pembiayaan untuk meningkatkan laba
ataupun pendapatan entitas bisnis, jadi bisa dipergunakan demi mendanai peluang
investasi berpotensi menciptakan keuntungan lebih tinggi.
Leverage
mencerminkan taraf risiko dihadapi entitas bisnis dengan membandingkan
kewajibannya atas total aset. makin tinggi taraf utang, makin besar risiko harus
ditanggung entitas bisnis, sebab pemakaian utang memengaruhi kewajiban pajak ditanggung.
Hal ini berakibat pada berkurangnya laba sebelum pajak, pada akhirnya
menurunkan jumlah pajak harus dibayarkan (Purnama, 2020). Beban utang besar
pula menyebabkan beban bunga tinggi, bisa dikurangkan dari pendapatan kena
pajak jadi menurunkan laba fiskal. Pembayaran pajak menurun seiring dengan
penurunan laba fiskal. didasarkan pada Setyaningsih dkk. (2022), leverage
ditujukan demi memperhitungkan sejauh mana modal pinjaman dipergunakan demi menciptakan
laba serta memperjelas rela antara total aset serta saham biasa. Dalam hal ini,
modal utang dipergunakan demi meningkatkan profitabilitas, di mana dividen dari
laba ditahan tidak bisa menurunkan laba, tetapi kewajiban berupa biaya bunga
bisa menurunkan pendapatan kena pajak.
didasarkan pada Martono serta Harjito
(2010), terdapat dua jenis leverage dalam suatu bisnis, yakni financial
leverage serta operating leverage
1.
. Kemampuan suatu bisnis
untuk mempergunakan biaya operasional konstan guna meningkatkan dampak variasi
volume penjualan atas laba sebelum bunga serta pajak (EBIT) dikenal sebagai
operating leverage (Syamsuddin, 2007).
2. Financial
Leverage merupakan
proksi dipergunakan demi mengambil keputusan
terkait pendanaan entitas bisnis.
Ada 3 jenis pendekatan biasa dipergunakan untuk menghitung
Leverage antara lain :
a. Debt to Asset Ratio
(Rasio Utang) mendeskripsikan rasio kewajiban
jangka panjang serta kewajiban jangka pendek. makin besar rasio
utang jadi makin besar
pula entitas bisnis tersebut didanai oleh kreditur.
b. Debt to Equity Ratio, mengungkapkan suatu
upaya untuk memperlihatkan
proporsi dari pemberi pinjaman
atas hak-hak kepemilikan
serta dipergunakan sebagi ukuran peranan kewajiban
c. Debt to Total Capitalization,
mendeskripsikan analisis
proporsi kewajiban
melibatkab rasio kewajiban janga
panjang atas kapitalisasi.
Komposisi modal lebih tinggi dikomparasikan utang merupakan citra entitas bisnis baik (Irham Fahmi, 2011). Secara
umum rasio leverage hadir delapan yakni Debt to Total Assets (DAR), Debt to Equity Ratio (DER), Times Interest Earned, Cash Flow Coverage, Long-term
debt to Total capitalization, Fixed Charge Coverage, serta Cash Flow
Adequency.
a.
Debt to Total
Assets (DAR)
Rasio
ini, dikalkulasi dengan membagi jumlah total utang dipunyai entitas bisnis
dengan total asetnya, pula dikenal sebagai rasio perbandingan utang. Berikut
ini yakni definisi rasio utang, pula dikenal sebagai rasio utang atas total
aset:
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠
DAR =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
b.
Debt to Equity Ratio (DER)
Salah
satu statistik dipergunakan demi menganalisis akun keuangan berfokus pada
jumlah jaminan tersedia bagi kreditor yakni rasio utang atas ekuitas. Rumus
berikut bisa dipergunakan demi memperoleh rasio utang atas ekuitas:
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠
DER =
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦
c.
Times Interest Earned
Arus kas keluar dalam laporan laba rugi ditunjukkan dalam
teks, berkaitan dengan biaya pinjaman selama periode berjalan. Lyn M. Fraser
serta Aileen Ormiston mengklarifikasi bahwasannya rasio times interest earned lebih
tinggi bermakna pembayaran bunga akan meningkat sehubungan dengan rasio ini.
Namun, arus kas ini mungkin menipu apabila suatu bisnis menciptakan laba signifikan
tanpa mencocokkan arus kas serta aktivitas operasional. Untuk membayar bunga,
harus hadir cukup uang di tangan. Lyn M. Fraser serta Aileen Ormiston
menyatakan bahwasannya berikut ini yakni perhitungan untuk times interest
earned:
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖
![]() |
𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎
d.
Cash Flow Coverage
Rumus cash flow coverage
yakni :
𝐴𝑙𝑖𝑟𝑎𝑛 𝐾𝑎𝑠 𝑀𝑎𝑠𝑢𝑘 + 𝐷𝑒𝑝𝑟𝑒𝑠𝑖𝑎𝑠𝑖 + 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑇𝑒𝑡𝑎𝑝
𝐷𝑖𝑣𝑖𝑑𝑒𝑛 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑃𝑟𝑒𝑓𝑒𝑟𝑒𝑛
+
(1 − 𝑇𝑎𝑥)
𝐷𝑖𝑣𝑖𝑑𝑒𝑛 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚 𝑃𝑟𝑒𝑓𝑒𝑟𝑒𝑛
+
(1 − 𝑇𝑎𝑥)
e.
Long-tern debt to Total capitalization
Pendanaan
dari kewajiban jangka panjang, termasuk obligasi serta surat berharga sejenis
lainnya, disebut sebagai utang jangka panjang ataupun total kapitalisasi. Rumus
berikut dipergunakan demi menentukan rasio utang jangka panjang atas total
kapitalisasi:
𝐿𝑜𝑛𝑔 − 𝑡𝑒𝑟𝑚 𝑑𝑒𝑏𝑡
![]() |
𝐿𝑜𝑛𝑔 − 𝑡𝑒𝑟𝑚 𝑑𝑒𝑏𝑡 + 𝐸𝑘𝑢𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑃𝑒𝑚𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑎ℎ𝑎𝑚
f.
Fixed Charge Coverage
sebab memperhitungkan pembayaran bunga tetap terkait
dengan kewajiban sewa guna usaha, cakupan biaya tetap, terkadang disebut
sebagai rasio biaya tetap, merupakan indikator lebih komprehensif berkenaan
dengan kapasitas entitas bisnis untuk membayar biaya tetapnya daripada rasio
cakupan bunga.
Rumus berikut dipergunakan demi menentukan cakupan
biaya tetap:
𝐿𝑎𝑏𝑎 𝑈𝑠𝑎ℎ𝑎 + 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎
![]() |
𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝐵𝑢𝑛𝑔 + 𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑆𝑒𝑤𝑎
g.
Cash Flow Adequency
Kapasitas entitas bisnis untuk membayar belanja
modal, utang jangka panjang, serta dividen tahunan dievaluasi mempergunakan
kecukupan arus kas, umumnya disebut sebagai rasio kecukupan arus kas. Bisnis kuat
bisa menciptakan uang tunai selaras dengan harapan sebab potensinya besar untuk
menciptakan arus kas. Di sisi lain, bisnis tersebut cenderung menghadapi
masalah, seperti masalah dalam menuntaskan tanggung jawabnya, apabila arus kas dihasilkan
tidak menuntaskan harapan ini. Adapun rumus Cash
flow adequency yakni :
𝐴𝑟𝑢𝑠 𝑘𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑎𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑜𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖
![]() |
𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑀𝑜𝑑𝑎𝑙 + 𝑃𝑒𝑙𝑢𝑛𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑈𝑡𝑎𝑛𝑔 + 𝐵𝑎𝑦𝑎𝑟 𝐷𝑖𝑣𝑖𝑑𝑒𝑛
h.
Rasio Utang atas Total Asset
Seperti
rasio utang, rasio ini mengungkapkan persentase total utang atas total aset,
menghadirkan data berkenaan dengan seberapa bergantung organisasi pada utang.
Secara
umum, bisnis mempergunakan pembiayaan utang serta ekuitas lebih memilih untuk
tidak menyumbangkan uang tanpa jaminan menyertai pembiayaan ekuitas. Jumlah
pembiayaan utang membentuk struktur modal entitas bisnis disebut sebagai
leverage keuangan; entitas bisnis punya leverage keuangan dianggap mengupayakan
perdagangan dengan ekuitas. Hal ini mengungkapkan bahwasannya untuk menciptakan
laba berlebih, entitas bisnis mempergunakan modal ekuitas sebagai dasar untuk
meminjam (Eva Musyarofa, 2016).
Penggunaan
utang jangka panjang mengharuskan entitas bisnis membayar bunga diklasifikasikan
sebagai beban, jadi menurunkan pendapatan kena pajak serta menghadirkan manfaat
pajak lewat pengurangan beban pajak (Eva Musyarofah, 2016). Dalam analisis
leverage, dipergunakan Debt to Equity Ratio (DER) sebagai ukuran mengevaluasi
rela antara utang serta ekuitas. didasarkan pada Kasmir (2014, 158), DER
dikalkulasi dengan membandingkan total utang, termasuk kewajiban lancar, atas
total ekuitas, menggambarkan proporsi dana dari kreditor dikomparasikan dengan
pemilik entitas bisnis.
Besarnya setiap rupiah
ekuitas dipergunakan sebagai agunan utang ditentukan oleh rasio ini.
𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑳𝒊𝒂𝒃𝒊𝒍𝒊𝒕𝒊𝒆𝒔
DER =
𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝑬𝒒𝒖𝒊𝒕𝒚
3. Audit Quality
(Kualitas Audit)
Ketika seorang auditor memeriksa laporan keuangan
klien, istilah "kualitas audit" menggambarkan kemungkinan bahwasannya
mereka akan mengidentifikasi pelanggaran ataupun kesalahan serta melaporkan
temuan ini (Damayanti et al., 2016). Memastikan transparansi sesungguhnya
merupakan pertimbangan terpenting saat menilai kualitas audit. Taktik pajak agresif
dianggap berdampak pada pemegang saham, serta membahas isu-isu terkait pajak di
pasar modal serta pada rapat pemegang saham bisa mendorong transparansi. Melaporkan
laporan keuangan klien serta mengungkapkan setiap ketidaksesuaian ataupun
kesalahan dalam laporan audit merupakan dua metode efisien untuk mencapai hal
ini (Sandy et al., 2015). Dengan menghadirkan kualitas audit luar biasa, audit kompeten
serta bermutu tinggi akan mempertahankan reputasinya serta memastikan
keakuratan data keuangan diberikan kepada investor (Sandy & Lukviarman,
2015). Taktik penghindaran pajak cenderung tidak dipergunakan oleh bisnis
dengan kualitas audit lebih baik. Metrik dari KAP (Kantor Akuntan Publik) bisa
dipergunakan demi mengevaluasi kualitas audit. Ukuran kantor akuntan publik ini
ditentukan oleh Big Four. Dibandingkan dengan diaudit oleh kantor akuntan
non-Big Four, laporan keuangan diaudit oleh Big Four dianggap punya kualitas lebih
unggul sebab independensinya lebih tinggi serta taraf kecurangan lebih rendah,
jadi memungkinkan penggambaran lebih akurat berkenaan dengan besaran sebenarnya
entitas bisnis (Christiani et al., 2014).
Indikator
kualitas audit sudah ditetapkab dalam S-253/PPPK/2019 KAP (Kantor Akuntan
Publik) serta diterbitkan oleh Institut Akuntan Indonesia (IAPI) lewat keputusan
Dewan Pengurus IAPI No 4 Tahun 2018. Adapun indikator kualitas audit antara lain :
4. Tax
Avoidance (Penghindaran Pajak)
Dalam
bukunya berkenaan dengan perencanaan pajak, Erly Suandy (2008:7) mendefinisikan
penghindaran pajak sebagai manipulasi disengaja atas masalah perpajakan dengan
tetap berada dalam batasan hukum. Ia melanjutkan bahwasannya penghindaran pajak
mengacu pada kegiatan melanggar hukum tetapi aman bagi wajib pajak serta tidak
melanggar undang-undang perpajakan saat ini. Strategi dipergunakan biasanya
mempergunakan kelemahan (ataupun "area abu-abu") dalam undang-undang
serta regulasi perpajakan untuk menurunkan jumlah pajak terutang. (Chairil Anwar Pohan, 2014:41).
Penghindaran pajak yakni praktik bisnis menurunkan kewajiban pajak
mereka tanpa melanggar undang-undang pajak saat ini untuk mendapatkan
keuntungan finansial. Salah satu aspek perencanaan pajak, berupaya menurunkan
kewajiban pajak, yakni penghindaran pajak. Semua tindakan berkaitan dengan
strategi pajak menjamin pembayaran pajak entitas bisnis seefisien mungkin
termasuk dalam perencanaan pajak. sebab tidak hadir ketentuan dalam
undang-undang pajak melarang kegiatan perencanaan pajak, perencanaan pajak
dianggap bisa diterima oleh bisnis selama mematuhi regulasi serta kebijakan
pajak berlaku. Tujuan utama tax planning
yakni mencari bermacam
celah bisa diupayakan dalam koridor regulasi
perpajakan (loopholes), agar entitas bisnis
bisa membayar pajak dalam jumlah
minimal.
Perencanaan
pajak mencakup dua kategori: penggelapan pajak, melibatkan tindakan melawan
hukum oleh wajib pajak untuk menyembunyikan keadaan keuangan sebenarnya demi
menurunkan kewajiban pajak, serta penghindaran pajak, merupakan strategi legal
untuk meminimalkan kewajiban pajak dengan mempergunakan kelemahan dalam
regulasi perpajakan tanpa melanggar undang-undang (Ardyaksa, 2014). Meskipun
sama-sama ditujukan menurunkan beban pajak, kedua konsep ini punya perbedaan
mendasar dalam legalitasnya.
Istilah "penghindaran pajak"
menggambarkan metode aman serta sah dipergunakan oleh wajib pajak untuk
menurunkan kewajiban pajak mereka selaras dengan regulasi perpajakan relevan.
Pendekatan ini memerlukan penerapan strategi serta taktik mempergunakan
kelemahan dalam undang-undang serta regulasi perpajakan. Tujuan utama
penghindaran pajak entitas bisnis yakni untuk memaksimalkan pendapatan entitas
bisnis sambil meminimalkan jumlah pajak dibayarkan. Akibatnya, penghindaran
pajak menjadi masalah khusus serta rumit sebab, meskipun tidak melanggar hukum,
pejabat pemerintah sering kali punya pendapat negatif tentangnya (Adhivinna,
2017).
Mardiasmo (2011:8)
mendefinisikan penghindaran pajak sebagai tindakan diupayakan untuk menurunkan
ataupun menghindari pembayaran pajak dengan tidak melanggar hukum.
Konsep ini sejalan
dengan riset Sinaga (2016:154) menyatakan bahwasannya penghindaran pajak yakni
taktik ataupun tindakan untuk menurunkan kewajiban pajak secara sah dengan
mempergunakan sepenuhnya regulasi perpajakan, seperti pengurangan serta
pengecualian diperbolehkan. Definisi penghindaran pajak lebih lanjut mencakup
tindakan membatasi serta menghindari kewajiban perpajakan kepada pemerintah
dengan cara aman bagi wajib pajak serta tidak melanggar regulasi perpajakan berlaku
(Pohan, 2013:14).
didasarkan pada Jacob (2016), penghindaran pajak
yakni praktik mempergunakan celah hukum secara strategis untuk menurunkan
ataupun meminimalkan kewajiban pajak, misalnya dengan berpartisipasi dalam
transaksi dikecualikan dari pajak. Misalnya, sebab hadiah non-moneter tidak
dikenakan pajak didasarkan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan, suatu
bisnis bisa mengubah tunjangan karyawan dari tunjangan tunai menjadi hadiah
non-tunai. Anderson (2017) menegaskan bahwasannya penghindaran pajak yakni
pengurangan tanggung jawab pajak dalam parameter undang-undang perpajakan, bisa
diterima, terutama apabila diupayakan lewat perencanaan pajak. Prosedur ini
pula bertindak sebagai cara untuk mengatur perilaku guna mencegah output pajak tidak
menguntungkan.
Dengan mempergunakan kelemahan ataupun celah dalam regulasi pajak suatu negara,
penghindaran pajak berupaya menurunkan kewajiban pajak. Hal ini memungkinkan
para ahli pajak untuk mengklaim bahwasannya kegiatan tersebut bisa diterima
sebab tidak melanggar undang-undang pajak.
Penghindaran
pajak didefinisikan oleh Balter (2017) sebagai tindakan diupayakan wajib pajak
untuk meminimalkan ataupun menghapus kewajiban pajak mereka tanpa melanggar
undang-undang pajak apa pun. Bisnis sengaja menghindari pajak untuk
meningkatkan arus kas mereka serta menurunkan jumlah pajak harus dibayarkan.
Suandy
(2011) menyatakan bahwasannya sejumlah variabel mendorong wajib pajak
mengupayakan penggelapan pajak yakni sebagai berikut:
a. Kewajiban pajak; ketika kewajiban pajak meningkat, jadi orang cenderung
mencari cara untuk menurunkan beban pajaknya.
b. Biaya penyuapan fiskus; makin rendah biaya penyuapan fiskus, jadi makin
besar kemungkinan wajib pajak akan berusaha menghindari pembayaran pajak.
c. Kemungkinan terdeteksi: Wajib pajak cenderung mengupayakan pelanggaran
hukum apabila risiko ditemukannya pelanggaran kecil.
d. Beratnya sanksi: Wajib pajak cenderung melanggar ketentuan perpajakan
apabila sanksinya relatif ringan.
Langkah-langkah
diupayakan entitas bisnis untuk meminimalkan pajak didasarkan pada Dewi
Putriningsih (2019) antara lain :
a. Perusahaan
berusaha untuk menghindari pajak baik secara legal
maupun illegal.
b. Mengurangi
beban pajak seminimal
mungkin baik secara legal
maupun illegal.
c. Apabila kedua langkah
sebelumnya tidak bisa diupayakan jadi wajib pajak akan membayar pajak
tersebut.
Perusahaan-perusahaan
di Indonesia kerap kali mengupayakan penggelapan pajak. Hal ini dibuktikan
dengan masih rendahnya penerimaan pajak diharapkan pemerintah, terutama akibat
strategi penggelapan pajak diupayakan oleh pemegang saham ingin memaksimalkan
laba atas aset entitas bisnis. didasarkan pada Budiasih dkk. (2019), penurunan
kewajiban pajak berdampak pada peningkatan laba entitas bisnis serta penurunan
penerimaan pajak negara. Sejumlah taktik diupayakan untuk menghindari,
menurunkan, ataupun meringankan kewajiban pajak, seperti:
1.
Memindahkan
subjek pajak dan/atau objek pajak ke negara menghadirkan bentuk pendapatan
tertentu (substantive tax planning) ataupun perlakuan ataupun pengecualian
pajak istimewa (tax haven countries).
2.
Proses
penghindaran pajak dengan membatasi kewajiban pajak sambil mempertahankan
esensi ekonomi dari transaksi (formal tax planning).
3.
pembatasan
atas transaksi tidak punya tujuan bisnis signifikan, kapitalisasi tipis, treaty
shopping, entitas asing dikendalikan, serta transaksi harga transfer (Aturan
Anti-Penghindaran Umum).
Kasus
transfer pricing terjadi di Indonesia melibatkan PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia mengupayakan penghindaran pajak dengan cara menjual barang ke entitas
bisnis afiliasinya di Singapura dengan harga tidak wajar serta tidak selaras
dengan kelaziman usaha (nasional.kontan.id, 2013). Selain itu, PT Bentoel
Internasional Investama pula ikut serta dalam penghindaran pajak dengan
memindahkan laba ke luar Indonesia lewat pinjaman intra entitas bisnis di
Belanda serta mengupayakan pembayaran ke Inggris untuk royalti, ongkos, serta
layanan (nasional.kontan.id, 2019).
2.1 Hubungan Antar Variabel
1.
Pengaruh Firm Size Terhadap Tax Avoidance
Ukuran perusahaan
biasanya dibagi menjadi tiga kategori: entitas bisnis kecil, menengah, serta
besar. Total aset serta pendapatan rata-rata entitas bisnis mengungkapkan
ukurannya, apakah besar ataupun kecil. Jika dikomparasikan dengan bisnis dengan
total aset lebih sedikit, bisnis dengan total aset lebih tinggi mengungkapkan
kemampuan lebih tinggi untuk mencapai stabilitas serta profitabilitas jangka
panjang. Seiring dengan meningkatnya laba didapat entitas bisnis, makin besar
pula keinginan untuk mengupayakan metode penghindaran pajak guna meminimalkan
beban pajak.
Penelitian
diupayakan oleh Saputri serta Sofianty (2020) mengungkapkan bahwasannya Ukuran
perusahaan punya dampak positif atas praktik penghindaran pajak. Temuan serupa
pula diungkapkan oleh Diantari, Mahaputra, dkk. (2021), menyatakan bahwasannya
makin besar Ukuran perusahaan, makin tinggi kemungkinan mereka ikut serta dalam
penghindaran pajak. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwasannya entitas bisnis
besar biasanya menciptakan pendapatan lebih tinggi, jadi menciptakan lebih
banyak peluang untuk mempergunakan celah dalam sistem perpajakan guna
menurunkan kewajiban pajak mereka.
2.
Pengaruh Leverage Terhadap Tax Avoidance
Utang
menjadi salah satu alternatif sumber pendanaan modal bagi entitas bisnis. Utang
tinggi mengungkapkan seberapa besar pemakaian dana eksternal entitas bisnis.
Perusahaan memilih pembiayaan utang sebagian sebab situasi pajak mereka, klaim
Weston serta Brigham (2005:105). Beban pajak harus dibayarkan kepada pemerintah
bisa dikurangi sebagai output dari pengurangan pajak untuk biaya bunga
pinjaman. Oleh sebab itu, bisnis bisa mempergunakan beban utang besar sebagai
cara untuk menghindari pembayaran pajak.
Leverage
secara signifikan memengaruhi penghindaran pajak, didasarkan pada riset
Pramesti (2019), meneliti rela antara keduanya. Hal ini mengungkapkan
bahwasannya peningkatan penghindaran pajak terkait dengan taraf leverage lebih
tinggi.
Leverage akan punya dampak atas tax avoidance, apabila mendapatkan
penilaian ataupun persepsi baik dari konsumen. Sehingga hal ini bisa
meningkatkan kualitas leverage (Ramadhan,
2020).
3.
Pengaruh Audit Quality
Terhadap Tax Avoidance
Semua
kemungkinan output bisa terjadi ketika auditor meninjau akun keuangan klien
serta menemukan adanya perbedaan kemudian dinyatakan dalam opini mereka
termasuk dalam kualitas audit. Auditor kompeten serta bermutu tinggi akan
mempertahankan reputasi mereka dengan menciptakan audit dengan kualitas
tertinggi. Bisnis bisa menjamin keakuratan data keuangan diberikan kepada
investor dengan memilih untuk mempekerjakan auditor terhormat. Oleh sebab itu,
investor mungkin akan lebih percaya pada data ini, pula bisa menurunkan
kemungkinan penghindaran pajak (Sandy serta Lukviarman, 2015).
Didasarkan pada riset oleh Sandy dkk. (2015)
serta Khairunisa dkk. (2017), kualitas audit punya efek merugikan pada
penghindaran pajak.
sebab empat firma akuntansi besar
PricewaterhouseCoopers, Deloitte Touche Tohmatsu, KPMG, serta Ernst & Young
umumnya menghadirkan audit bermutu tinggi, mungkin sulit untuk menemukan
potensi penghindaran pajak. Akibatnya, bisa dikatakan bahwasannya makin teliti
suatu firma mengaudit dirinya sendiri, makin kecil kemungkinan firma tersebut
akan memanipulasi labanya untuk perpajakan.
4.
Pengaruh Firm Size, Leverage, serta Audit Quality Terhadap Tax Avoidance
Ukuran perusahaan, terkadang disebut sebagai
ukurannya, yakni klasifikasi memisahkan bisnis besar serta kecil didasarkan
pada sejumlah kriteria, seperti total aset, kapitalisasi pasar, taraf penjualan
rata-rata, serta total volume penjualan. Nilai total aset lebih tinggi
mengungkapkan bahwasannya bisnis tersebut kemungkinan besar punya prospek
jangka panjang menjanjikan.
Salah satu rasio solvabilitas dipergunakan demi
mengevaluasi seberapa besar aset entitas bisnis dibiayai oleh utang yakni
leverage. Investasi serta aset entitas bisnis dibiayai lewat pemakaian kas
eksternal dalam bentuk utang. Biaya bunga dikeluarkan saat pembiayaan lewat
utang, terutama utang jangka panjang, menurunkan beban pajak harus dibayarkan
oleh bisnis.
Tingkat pembiayaan aset entitas bisnis oleh utang diukur dengan
kualitas audit, ataupun kualitas audit solvabilitas. Investasi serta aset
entitas bisnis dibiayai lewat pemakaian kas eksternal dalam bentuk utang.
Pembiayaan utang, terutama utang jangka panjang, memerlukan biaya bunga, selanjutnya
bisa menurunkan kewajiban pajak entitas bisnis.
0 komentar:
Posting Komentar