Senin, Desember 19, 2022

KOMUNIKASI TUTUR BILINGUAL DALAM HUBUNGAN INTERPERSONAL

 




KOMUNIKASI TUTUR BILINGUAL DALAM HUBUNGAN INTERPERSONAL


1.         Hakikat Komunikasi

Komunikasi menjadi hal yang sangat penting dalam proses interaksi manusia sebagai makhluk sosial karena merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan. Komunikasi merupakan alat utama dalam melakukan interaksi sosial berkesinambungan sehingga pikiran, makna, atau pesan dapat dianut secara sama untuk berbagai tujuan menurut kepentingannya, yang terhubung dengan semua kegiatan yang dilakukan manusia (Maulidhina. 2019; Littlejohn & Foss. 2016; Furqon. 2003; Mulyana. 2016). Dalam hal ini, pikiran, makna, atau pesan, dapat dianut secara sama melalui sebuah proses pertukaran pesan. Komunikasi dapat terjadi saat seseorang atau lebih mengirimkan dan menerima pesan yang didistorsikan dengan gangguan (noise), terjadi dalam sebuah konteks tertentu, memiliki dampak, dan memberikan kesempatan yang sama untuk timbal balik atau feedback (DeVito. 2012). Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan sebuah pesan sebagai bentuk usaha penyamaan pikiran, gagaran, makna, dan informasi melalui sebuah pertukaran berbentuk interaksi.

 

2.         Tujuan Komunikasi

Setiap komunikasi yang ada pasti memiliki tujuan. Secara umum, tujuan utama dari komunikasi adalah mengharapkan tersampaikannya pesan yang disampaikan dan dapat diterima secara maksimal oleh penerima pesan, timbulnya efek yang terjadi setelah proses komunikasi, dan adanya umpan balik dari lawan bicara setelah melakukan komunkasi tersebut. Effendy (1984) dalam bukunya Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, menyatakan secara singkat beberapa tujuan dari sebuah proses komunikasi:

a.          Merubah sikap (to change attitude). Melalui sebuah pesan yang disampaikan oleh komunikator, diharapkan mampu merubah sikap komunikan sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka dalam konteks ini, maka pesan yang disampaikan oleh komunikator haruslah bersifat persuasif.

b.         Merubah opini/pandangan (to change opinion/point of view). Perubahan opini atau pandangan yang dimaksudkan di dalam diri penerima pesan atau komunikan adalah perubahan pendapat, opini, atau pandangan terhadap sesuatu hal, sesuai yang diharapkan oleh komunikator, berdasarkan penyampaian pesan oleh komunikator. 

c.          Merubah perilaku (to change behavior). Berdasarkan proses komunikasi yang dilakukan, diharapkan dapat merubah bagaimana komunikan berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator.

d.         Merubah sosial masyarakat (to change society). Perubahan yang dimaksud adalah dalam cakupan lebih luas, yakni dari segi sosial masyarakat. Diharapkan dengan adalanya proses yang dilakukan, dapat merubah pola kehidupan yang ada di masyarakat, sesuai dengan harapan komunikator.

 

A.       Komunikasi Interpersonal

1.         Hakikat Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang atau terkadang dalam satu kelompok kecil individu yang saling interdependen (DeVito. 2013). Sedangkan menurut Mulyana (2016), komunikasi antarpribadi (atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan interpersonal communication) adalah sebuah proses komunikasi antara orang – orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun non-verbal. Berdasarkan definisi yang dipaparkan tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara 2 orang atau lebih yang saling interdependen, yang dilakukan secara tatap muka, dengan menggunakan pesan baik verbal maupun non-verbal. Umumnya, komunikasi yang terjadi dalam komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang bersifat terus–menerus atau kontinyu antara individu yang memiliki kedekatan, teman, kekasih, keluarga, kolega, dan sebagainya. Hubungan–hubungan yang ada tersebut adalah hubungan – hubungan yang interdependen, atau terdapat hubungan saling mempengaruhi antara satu pelaku dengan pelaku komunikasi lainnya.

Komunikasi interpersonal terbagi ke dalam 2 bentuk khusus, yaitu komunikasi diadik, dan komunikasi triadic. Komunikasi diadik adalah komunikasi interpersonal yang hanya melibatkan 2 orang (Mulyana. 2016). Sedangkan komunikasi triadic adalah komunikasi interpersonal yang melibatkan lebih dari 2 orang di dalam sebuah kelompok kecil. Liliweri (2014) dalam bukunya Komunikasi Antar-personal juga menjelaskan ciri-ciri dari hubungan interpersonal, yaitu: Komunikasi terjadi dari satu orang ke orang lain, komunikasi terjadi secara tatap muka, dan karakteristik dan kepribadian dari masing-masing individu serta perannya dalam hubungan sosialnya dicerminkan melalui bentuk dan isi pesan yang disampaikan. Pesan yang disampaikan dalam komunikasi interpersonal dapat berupa pesan verbal maupun non-verbal. Pesan-pesan atau respons non-verbal yang disampaikan di dalam sebuah komunikasi interpersonal mencerminkan bagaimana kedekatan hubungan antara para pelaku komunikasi.

Komunikasi interpersonal dinilai sebagai dasar bagi memahami semua bentuk komunikasi manusia. Seorang individu tidak perlu menyandarkan kemampuannya pada kemampuan neurophysiological pada individu saja, tapi perlu menghubungkannya dengan aturan atau norma sosial yang berlaku dari komunikasi. Artinya dalam setiap praktik komunikasi, setiap manusia pasti membutuhkan manusia lainnya, yang berarti, orang lain yang paling pertama dan paling dekat adalah personal lain, sehingga komunikasi interpersonal menjadi hal yang paling utama dalam setiap bentuk komunikasi (Liliweri. 2014). Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa komunikasi interpersonal memiliki karakteristik yang unik. Hal ini sekaligus membuktikan bahwasanya semua bentuk komunikasi pasti terjadi antar manusia dengan manusia lain, dan sebagian besar berasal dari hubungan interpersonal.


2.         Sifat Komunikasi Interpersonal

Kembali kepada definisi dari komunikasi interpersonal bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara 2 orang atau lebih yang saling interdependen, dilakukan secara tatap muka, dengan menggunakan pesan baik verbal maupun non-verbal, dapat diambil makna tersirat yang menjelaskan mengenai sifat atau karakteristik dari komunikasi interpersonal. DeVito (2013) menjabarkan sifat atau karakteristik dari komunikasi interpersonal, yaitu:

a.          Komunikasi interpersonal melibatkan individu yang saling interdependen

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang terjadi antara individu yang saling memiliki hubungan satu sama lain. Hubungan tersebut tidak harus merupakan hubungan yang sederhana, melainkan interdependen. Interdependen memiliki pengertian bahwa setiap individu saling terikat dan mempengaruhi satu sama lain. Sehingga apa yang seseorang lakukan, pasti akan memberikan dampak kepada orang lain.

b.         Komunikasi interpersonal pada dasarnya bersifat relasional

Dikarenakan sifat interdependen antar individu pelaku komunikasi, dimana satu individu akan mempengaruhi individu yang lain, maka tidak dapat dihindari bahwa pada dasarnya komunikasi interpersonal memiliki sifat relasional. Relasional berarti komunikasi interpersonal ada di dalam sebauh hubungan. Komunikasi interpersonal memberikan dampak kepada sebuah hubungan, dan menegaskan hubungan tersebut. Maka, bagaimana cara berkomunikasi antara satu individu dengan individu lain ditentukan oleh jenis hubungan yang ada. Cara berkomunikasi dan berinteraksi pada dasarnya akan mempengaruhi jenis hubungan yang dikembangkan. 

 

c.          Komunikasi interpersonal terjadi secara kontinyu atau berkelanjutan

Komunikasi interpersonal dipandang sebagai sebuah proses yang berkelanjutan. Proses tersebut berkisar dari hubungan yang relatif tidak personal (impersonal) hingga hubungan yang sangat personal. Tingkatan proses tersebut pada akhirnya akan mempenagruhi informasi apa yang disampaikan, aturan yang dimainkan oleh para pelaku, dan pesan yang akan disampaikan. Semakin impersonal sebuah hubungan, maka informasi yang disampaikan akan cenderung general dan berbasis peranan sosial yang dimainkan. Semakin personal hubungan, maka informasi yang disampaikan akan cenderung bersifat personal. Apabila dilihat berdasarkan aturan yang digunakan, komunikasi impersonal akan cenderung menggunakan aturan sosial masyarakat, sedangkan komunikasi personal akan cenderung menggunakan aturan-aturan personal yang dibangun di antara pelaku komunikasi. Sedangkan apabila dilihat dari pesan yang disampaikan, komunikasi impersonal akan menggunakan pesan-pesan yang sempit dan general, sedangkan dalam komunikasi personal, akan cenderung bertukar pesan yang bersifat personal.

 

 

d.         Komunikasi interpersonal melibatkan pesan non-verbal dan verbal

 Komunikasi interpersonal selalu melibatkan pesan – pesan verbal dan non-verbal. Semua bentuk pesan tersebut tergantung dari faktor-faktor yang terlibat dalam sebuah komunikasi interpersonal. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat kedekatan, situasi, dan juga konteks. Salah satu mitos yang paling terkenal dalam komunikasi adalah bahwa sebagian besar bentuk pesan yang terjadi dalam proses komunikasi adalah pesan non-verbal. Hal ini belum tentu benar, karena semua itu tergantung dari faktor–faktor yang terlibat. Pada konteks berbahasa, sudah tentu bahwa keseluruhan pesan yang disampaikan berbentuk verbal.

 

e.          Komunikasi interpersonal terjadi dalam berbagai bentuk

Komunikasi interpersonal terjadi dalam berbagai bentuk. Dilihat dari segi waktu, komunikasi interpersonal terbagi ke dalam 2 bentuk, yaitu sinkronus dan asinkronus. Komunikasi sinkronus adalah komunikasi yang terjadi secara tatap muka, dan pada waktu yang sebenarnya. Sedangkan yang dimaksud komunikasi asinkronus adalah komunikasi yang terjadi tidak secara tatap muka secara langsung, tidak dilakukan pada waktu yang sebenarnya, sehingga pesan disampaikan dan diterima tidak pada waktu yang sama.

f.           Komunikasi interpersonal melibatkan pilihan

Salah satu sifat dari sebuah proses komunikasi interpersonal adalah bahwa komunikasi interpersonal melibatkan pilihan-pilihan bagi para pelakunya. Pemilihan dengan siapa komunikasi dilakukan, apa yang akan dikatakan, apa yang tidak dikatakan, bagaimana cara menyampaikan, bahasa atau varian bahasa apa yang akan digunakan, hingga kata apa yang akan diucapkan, merupakan beberapa contoh dari pilihan yang ada dalam sebuah komunikasi interpersonal.

 

3.         Prinsip Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal memiliki beberapa prinsip spesifik yang umum terdapat pada hampir semua bentuk interpersonal. DeVito (2013) menjabarkan prinsip – prinsip dalam komunikasi interpersonal antara lain:

a.          Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses transaksional

Berdasarkan perspektif transaksional, komunikasi interpersonal dilihat sebagai sebuah proses yang selalu berubah dan terus - menerus dengan elemen – elemen yang interdependen atau saling terkait. Semua pihak yang terlibat di dalam sebuah komunikasi interpersonal selalu mengalir. Hal ini berarti semua yang terlibat di dalam sebuah komunikasi interpersonal tidak pernah ada dalam keadaan yang sama: para pelaku, maupun lingkungannya dimana komunikasi interpersonal terjadi. Perubahan ini juga bermakna bahwa setiap orang berperan sebagai pengirim dan penerima pesan secara serentak. Maka dari itu komunikasi interpersonal dipandang sebagai sebuah proses yang interaktif.

b.         Komunikasi interpersonal selalu memiliki tujuan

Komunikasi interpersonal dipandang sebagai sebuah aksi yang selalu memiliki satu atau bahkan beberapa tujuan gabungan. Tujuan dalam komunikasi interpersonal antara lain; untuk belajar, berhubungan, mempengaruhi, bermain (menghibur), dan membantu.

c.          Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses komunikasi yang ambigu

Salah satu prinsip komunikasi interpersonal adalah, pada tingkatan tertentu, semua pesan dapat menjadi ambigu. Pesan yang ambigu adalah pesan yang yang bisa dimaknai secara berbeda, atau dalam artian lain, memiliki lebih dari satu pemaknaan. Keambiguan di dalam komunikasi interpersonal dapat terjadi dikarenakan penggunaan kata yang berbeda – beda, dimana kata tersebut bisa dimaknai secara berbeda pula. Salah satu bentuk keambiguan di dalam komunikasi interpersonal yang diakibatkan oleh faktor kebahasaan adalah keambiguan gramatika.

d.         Hubungan interpersonal bersifat simetris atau saling melengkapi

Sebuah hubungan interpersonal dapat dideskripsikan sebagai hubungan yang simetris atau saling melengkapi. Hubungan interpersonal yang simetris adalah hubungan dimana dua individu saling menirukan perilaku masing-masing. Sedangkan yang dimaksud dengan hubungan yang saling melengkapi adalah dimana 2 individu mengikutsertakan perilaku yang berbeda satu sama lain. Perilaku yang dilakukan oleh salah satu pihak, berperan pula sebagai stimulus bagi pihak lainnya, yang mana responsnya akan sangat berbeda, menyesuaikan dengan pihak lain, dan akan saling melengkapi.

e.          Komunikasi interpersonal mengacu pada konten dan hubungan

Sebuah pesan dalam komunikasi interpersonal selalu memiliki 2 aspek, yaitu aspek konten dan aspek hubungan. Aspek konten mengacu pada respon yang diharapkan, sedangkan aspek hubungan menjelaskan mengenai status dari para pelaku komunikasi. Kedua aspek tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana proses komunikasi tersebut ditangani. Dalam beberapa komunikasi interpersonal, aspek konten bisa jadi sama, sedangkan aspek hubungan akan berbeda, begitu juga sebaliknya.

f.           Komunikasi adalah sebuah rangkaian tanda baca

Seperti yang sudah diketahui bahwa komunikasi adalah sebuah proses transaksi yang berlangsung secara terus menerus. Hal ini menyebabkan sebuah komunikasi tidak memiliki awalan dan akhiran yang jelas. Maka dari itu pelaku komunikasi harus membagi proses terus – menerus tersebut ke dalam segmen – segmen yang lebih kecil. Segmen – segmen itulah yang kita sebut dengan stimulus dan respons. Kecenderungan untuk membagi transaksi komunikasi menjadi urutan – urutan stimulus dan respons disebut dengan tanda baca/punctuation.

g.         Komunikasi interpersonal tidak dapat dihindari, diubah, ataupun diulang

Pada banyak kesempatan, komunikasi terjadi tanpa disadari atau diinginkan. Inilah yang dimaksud dengan komunikasi interpersonal tidak dapat dihindari. Sedangkan yang dimaksud komunikasi interpersonal tidak dapat diulang adalah bahwa apa yang sudah disampaikan dan diterima dalam sebuah proses komunikasi, tidak dapat ditarik kembali. Komunikasi interpersonal tidak dapat diubah karena pada akhirnya para pelaku komunikasi tidak bisa merekonstruksi ulang situasi, kerangka pikiran, dan dinamika hubungan menjadi sama persis seperti proses komunikasi sebelumnya.

 

4.         Kompetensi Komunikasi Interpersonal

Kompetensi dalam komunikasi interpersonal mengacu pada pengetahuan dan pemahaman mengenai bagaimana proses komunikasi bekerja secara menyeluruh dan kemampuan dalam menjalankan proses komunikasi secara efektif. Pemahaman mengenai komunikasi mencakup pemahaman mendalam terhadap elemen yang ada dalam komunikasi, bagaimana memahami situasi dan beradaptasi dalam perubahannya, kemampuan dalam memilih dan mengimplementasikan pilihan – pilihan terbaik dalam melakukan komunikasi, serta  kemampuan dalam membaca dan memaknai timbal balik yang diberikan, dan bagaimana memberikan respons yang tepat terhadap timbal balik yang diberikan (DeVito. 2013). Maka dari itu, pemilihan kata dan pembahasaan yang tepat juga merupakan kompetensi dalam komunikasi interpersonal.

 

5.         Pola Komunikasi Interpersonal

Definisi dari kata ‘pola’ adalah struktur yang tepat atau sesuai (Hambali et al. 2018). Pola komunikasi adalah suatu gambaran sederhana dari sebuah proses komunikasi yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya (Soejanto. 2001). Seperti yang sudah dipahami sebelumnya bahwa komponen dalam sebuah proses komunikasi bersifat interdependen, atau saling teerkait dan berhubungan satu sama lain. Pemahaman akan keterkaitan antara komponen dengan komponen lainnya juga merupakan salah satu bentuk kompetensi dari komunikasi, khususnya komunikasi interpersonal. Maka dari itu, pola komunikasi juga dapat membantu menggambarkan proses pengiriman dan penerimaan pesan yang tepat sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami agar komunikasi menjadi efisien. Komunikasi interpersonal mempunyai pola yang menghubungkan antara pengirim pesan atau komunikator dengan penerima pesan atau komunikan.

 

6.         Hambatan Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal dapat dikatakan efektif apabila komunikan atau penerima pesan mampu memahami arti atau makna dari pesan yang disampaikan. Efektivitas dalam penyampaian pesan dapat ditingkatkan melalui pemahaman mengenai kendala atau hambatan dalam komunikasi interpersonal. Burhanudin (2018) dalam bukunya Komunikasi Bisnis memaparkan hambatan-hambatan dalam sebuah komunikasi interpersonal, antara lain:

a.         Bypassing, adalah ketika seseorang saling salah dalam menanggapi arti dari pesan orang lain, yang tentu saja dapat mengakibatkan kegagalan dalam komunikasi karena orang menganggap bahwa makna sepenuhnya terkandung dalam kata-kata. Padahal, makna yang sesungguhnya berada di dalam pikiran seseorang.

b.         Perbedaan frame of reference dan field of experience. Kegagalan dalam komunikasi sering kali terjadi karena perbedaan frame of reference dan field of experience antara komunikator dan komunikan. Frame of reference dan field of experience terbentuk dari kombinasi antara kepribadian, pengalaman, pendidikan, budaya, harapan, dan sebagainya.

c.          Kurangnya kemampuan bahasa. Kemampuan dalam berbahasa juga memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan dalam sebuah proses komunikasi. Setiap pelaku komunikasi memerlukan perbendaharaan kata, pemahaman akan tanda baca dan tata bahsa dasar, serta keterampilan menyampaikan pesan.

d.         Gangguan emosional dan gangguan fisik adalah gangguan lain dalam proses komunikasi. Maka untuk meningkatkan keberhasilan komunikasi, pengaruh atau dampak dari gangguan emosional dan fisik harus lah dikurangi. Untuk menguarangi dampak atau pengaruh gangguan emosional, para pelaku perlu memusatkan perhatian pada isi pesan dan sebisa mungkin untuk objektif.


B.        Bahasa dan Komunikasi

1.         Hakikat Bahasa

Sebagai makhluk sosial, manusia tentu harus terus bersosialisasi dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Kebutuhan itu sudah menjadi kebutuhan mutlak yang tidak dapat ditawar yang dimiliki manusia. Dalam melakukan interaksi dan komunikasi, bahasa menjadi alat yang sangat penting. Bahasa juga merupakan bentuk yang hakiki yang ada di dalam kehidupan manusia. Bahasa itu sendiri memiliki beberapa tataran, yaitu tataran fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana (Sari & Ajeng. 2017). Kemampuan berbahasa adalah sebuah kemampuan yang dimiliki manusia dan membedakannya dari makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Dengan adanya bahasa kita dapat berinteraksi dengan mudah dengan manusia lainnya. Bahasa itu sendiri juga tidak dapat lepas dari masyarakat. Hal ini disebabkan bahwa melalui bahasa, sebuah masyarakat dapat menunjukkan identitasnya, dan dapat membedakan antara satu komunitas masyarakat yang satu dengan komunitas masyarakat yang lain (Laiya. 2015). Hal ini menunjukkan bahwasanya bahasa memiliki sifat inequality, karena tidak semua bahasa dapat disamakan dan mampu memerankan fungsi yang sama dalam masyarakat.

Definisi bahasa itu sendiri sangat beragam, tergantung dari bidang yang mengkajinya. Namun, secara umum bahasa adalah sebuah alat komunikasi yang terorganisasi dalam bentuk satuan – satuan kata, kelompok kata, klausa, dan kalimat yang diungkapkan dan disampaikan baik secara lisan maupun tulisan (Wiratno & Santosa. 2014). Sebagai alat yang digunakan di dalam sebuah proses komunikasi, bahasa digunakan di dalam masyarakat. Penutur suatu bahasa pada hakikatnya terikat dengan aturan – aturan sosial yang berlaku di dalam masyarakat tutur. Masyarakat tutur atau speech community adalah masyarakat yang memiliki kaidah atau aturan yang sama untuk berkomunikasi (Kuswarno. 2009). Bahasa sebagai alat utama dalam sebuah proses komunikasi, memiliki beberapa ciri. Ciri-ciri bahasa tersebut seperti dijelaskan oleh Wicaksono (2016) adalah: Bahasa bersifat simbolik, makna terdapat pada orang dan bukan kata – kata yang disampaikan, membentuk persepsi individu, dan mencerminkan sifat individu.

Definisi bahasa dalam studi antropologi adalah sandi konseptual sistem pengetahuan, yang memebrikan kesanggupan kepada para penuturnya guna menghasilkan dan memahami ujaran atau ucapan. Sedangkan definisi bahasa dari sudut pandang ibu bahasa, yaitu ilmu linguistik, menganggap bahwa bahasa adalah sebuah sistem komunikasi dengan menggunakan simbol, melalui organ-organ indera pendengaran dan bicara di antara manusia dari suatu komunitas masyarakat tertentu, menggunakan simbol berbentuk vocal yang memproses makna konvensional yang arbitrer atau disepakati (Kuswarno. 2009).

 

Bidang studi linguistik, sebagai ibu dari bahasa, sudah memberikan dasar – dasar dari sebuah bahasa. Dasar – dasar tersebut adalah (Kuswarno.2009):

a.          Bahasa sebagai langueparole, serta tautan sintagmatik – paradigmatic

Langue adalah kumpulan seluruh fakta – fakta kebahasaan yang dimiliki oleh seseorang. Sedangkan yang dimaksud dengan parole adalah tindak kebahasaan di dalam suatu masyarakat itu sendiri.Langue memiliki sifat abstrak yang berada di dalam pikiran, dan memiliki kadar sosial yang tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa langue adalah hal yang mendasari parole.

b.         Sifat bahasa

1)         Bahasa adalah entitas yang sistematis, yaitu memiliki pola atau aturan yang jelas

2)         Bahasa itu arbitrer. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan arbitrer adalah sewenang – wenang atau manasuka.

3)         Bahasa itu berbentuk ujaran atau ucapan. Hal ini berarti bahasa selalu dinyatakan meskipun hanya di dalam hati.

4)         Bahasa adalah kesatuan simbol yang kompleks

5)         Bahasa mengacu pada dirinya sendiri, yakni mampu menjelaskan aturan – aturan untuk mempergunakan dirinya senidiri.

6)         Bahasa berasal dari akal budi manusia, sehingga bersifat manusiawi.

7)         Bahasa ekuivalen dengan komunikasi. Hal ini dikarenakan bahasa adalah alat komunikasi dan juga interaksi.

 

2.         Bahasa dalam Komunikasi

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwasanya bahasa ekuivalen dengan komunikasi, karena bahasa adalah alat yang digunakan dalam proses komunikasi dan juga interaksi. Maka dapat disimpulkan bahwa bahasa dan komunikasi adalah dua bagian yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa dan komunikasi saling melengkapi satu sama lain, dan akan membuat sulit dipahami apabila terpisah antara satu dengan yang lainnya (Kuswarno. 2009). Dalam proses komunikasi, bahasa berperan sebagai simbol. Peristiwa komunikasi tidak akan terjadi tanpa adanya bahasa sebagai sebuah alat yang dipertukarkan. Demikian juga sebaliknya, bahasa juga tidak akan memiliki makna apabila tidak dipertukarkan melalui sebuah komunikasi. Ketika bahasa dipertukarkan dengan komunikasi, manusia akan membentuk masyarakat dan kebudayaannya sendiri. Setiap masyarakat yang terbentuk memiliki sistem komunikasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, demi keberlangsungan hidup, setiap masyarakat tersebut dapat membentuk kebudayaannya sendiri (Susanto & Astrid. 1976). Bahasa yang digunakan dalam sebuah proses komunikasi sangat membantu mengenali budaya yang melatari tindak – tanduk seseorang karena budaya itu diciptakan, dinegosiasi, dan didefinisikan secara kontinyu di antara orang – orang yang berpartisipasi di berbagai situasi interaktif (Juanda & Azis. 2018). Maka dapat dikatakan, secara tidak langsung bahasa turut membantu membentuk kebudayaan melalui proses komunikasi. Dari kebudayaan yang sudah terbentuk itu pulalah, masyarakat akan menentukan bahasa yang paling tepat di dalam masyarakat tersebut melalui proses komunikasi. Hal ini yang juga membuat bahasa akan membawa nilai – nilai budaya dari masyarakat tutur. Hal ini membuat bahasa adalah inti dari peristiwa dan proses komunikasi. Selain itu bahasa juga dapat membawa perubahan yang baik bagi seluruh unsur yang ada di dalam komunikasi (Purwanti. 2020).

Devitt & Hanley (2006) menjelaskan bahwasanya bahasa adalah pesan yang disampaikan dalam bentuk ekspresi sebagai alat dalam melakukan proses komunikasi pada situasi tertentu dalam berbagai aktivitas sehari – hari manusia. Ekspresi, dalam hal ini juga berkaitan dengan unsur segmental dan juga suprasegmental, baik itu kinesik ataupun lisan, sehingga sebuah kalimat akan dapat berfungsi sebagai alat komunikasi. Dapat disimpulkan bahwa ekspresi yang berbeda dapat menciptakan pesan yang berbeda pula. Implementasi dari kemampuan berbahasa adalah kemampuan retorika, baik secara lisan maupun tertulis. Retorika yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kemampuan dalam mengolah bahasa secara efektif dan juga efisien, sehingga mempengaruhi penerima pesan yang disampaikan (Noermanzah et al. 2017).

3.         Bilingualisme

Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, dimana batasan budaya dan bahasa dihilangkan, membuat proses komunikasi menjadi semakin kompleks. Manusia dituntut untuk dapat berinteraksi dengan manusia lain dari latar belakang budaya dan bahasa yang bisa dikatakan sama sekali berbeda. Untuk membantu proses komunikasi tersebut, manusia dituntut untuk mempelajari bahasa lain serta nilai budaya yang dibawanya. Semakin banyak seseorang menguasai bahasa asing, maka juga akan semakin mudah dalam berinteraksi dengan seseorang dari latar belakang bahasa dan budaya lainnya (Hasbullah, M. 2020). Maka dari itu, tidak mengherankan apabila komunikasi dalam iklim bilingual sering dijumpai pada masa kini. Bilingualisme menurut Luna dan Perachio (2001) adalah kemampuan untuk berbicara, memahami, membaca, dan menulis dalam dua bahasa.

Fenomena bilingualisme di Indonesia sendiri menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Banyaknya suku bangsa yang terdapat di Indonesia, membuat Indonesia sangat kaya akan budaya dan bahasa daerah yang mana masing – masing mewakili masyarakat tutur suku bangsa tersebut, termasuk penggunaan Bahasa Indonesia itu sendiri sebagai lingua franca. Jumlah Bahasa Daerah di Indonesia berjumlah lebih dari 700 bahasa daerah (Darmojuwono. 2011). Dari sekian banyaknya suku bangsa yang terdapat di Indonesia, Suku Jawa merupakan suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dengan jumlah penutur di Indonesia sebanyak 84 juta jiwa lebih (Laila. 2016).  Bahasa Jawa itu sendiri dituturkan oleh masyarakat Indonesia yang berada di pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dengan begitu, dapat dikatakan pula bahwa penutur bilingual Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa merupakan penutur bilingual dengan jumlah terbanyak di Indonesia.

Para penutur bilingual Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa sudah tentu tidak hanya memahami kedua bahasa tersebut secara fisik saja, tapi juga ikut membawa nilai – nilai budaya yang dibawa oleh kedua bahasa. Karena pada hakikatnya, fenomena bilingual tidak dapat dipisahkan dari fenomena multikultural. Oleh karena itu, pada komunikasi iklim bilingual terjadi sebuah proses komunikasi multibudaya. Komunikasi multibudaya adalah sebuah proses komunikasi yang melibatkan proses interaksi individu dari sebuah kebudayaan dengan individu dari kebudayaan lain sehingga melahirkan sebuah kultur atau subkultur baru (Rosi. 2017). Dengan adanya perbedaan struktur budaya yang dimiliki oleh masing – masing bahasa tersebut pula, para penutur menggunakan baik Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Jawa untuk tujuan yang berbeda, domain kehidupan yang berbeda, dan juga orang – orang yang berbeda pula menyesuaikan dengan kelompok sosial masyarakat. Perbedaan domain dan konteks yang ada akan mendorong terjadinya perubahan impresi, sikap, dan perilaku dalam kepribadian seorang individu sebagai usahanya dalam memposisikan dirinya dengan lingkungan sosialnya (Grosjean, 2011).

4.         Diglosia Bahasa

Dalam sebuah masyarakat tutur terkadang terdapat sebuah bahasa yang memiliki ragam bahasa yang ditinggikan (High Variation) atau ragam H, dan juga ragam lain yang dianggap lebih rendah (Low Variation) atau ragam L. Fenomena dimana sebuah bahasa tersebut memiliki ragam bahasa yang dianggap lebih tinggi dibanding ragam bahasa lainnya itulah yang disebut bahasa dengan iklim diglosia. Fenomena diglosia pada umumnya hanya terdapat pada masyarakat tutur bilingual (Supiastutik & Rudianto. 2014). Iklim diglosia terdapat dalam sebuah masyarakat ketika masyarakat itu memiliki dua kode berbeda yang memperlihatkan perbedaan penggunaan fungsi yang jelas; satu kode digunakan dalam suatu keadaan tertentu, dan kode lain digunakan dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Di Indonesia, fenomena diglosia dijumpai pada Bahasa Indonesia itu sendiri dan pada banyak bahasa daerah, salah satunya adalah Bahasa Jawa. Di Jawa terdapat bahasa ngoko, krama, dan krama inggil. Menurut Ferguson (1959) diglosia memiliki memiliki beberapa ciri, yaitu:

a.          Fungsi. Fungsi dalam iklim diglosia memainkan peran penting dalam penggunaannya. Penggunaan ragam H dan L masing – masing memiliki fungsi yang berbeda–beda. Secara umum, ragam H digunakan dalam komunikasi dengan konteks formal. Sedangkan ragam L digunakan dalam komunikasi dengan konteks informal.

b.         Prestise. Pada masyarakat tutur bilingual, umumnya sangat menghargai dan mengagumi ragam H meskipun secara umum lebih sulit dipahami. Ragam H lebih cenderung dihargai dan dikagumi karena dianggap sebagai ragam bahasa yang elit serta mencerminkan status penutur yang tinggi dibandingkan ragam L sebagai ragam inferior.

c.          Tradisi kesastraan. Karya sastra masa lalu banyak yang menggunakan ragam H. Maka dari itu, penggunaan ragam H dianggap sebagai kelanjutan dari tradisi besar di masa lalu.

d.         Pemerolehan bahasa. Berdasarkan pemerolehan bahasa, ragam L adalah ragam bahasa yang lebih dulu didapatkan dan dikuasai oleh penuturnya secara tidak sadar tanpa kaidah yang mengikat. Sedangkan ragam H adalah ragam bahasa yang didapatkan setelah ragam L dari pendidikan formal.

e.          Standarisasi. Ragam H dinilai merupakan ragam bahasa yang memiliki standard yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan ragam L. Hal ini disebabkan karena pemerolehan ragam H yang hanya melalui pendidikan formal karena mengalami pembakuan, sedangkan tidak setiap orang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal.

f.           Stabilitas. Keberadaan baik ragam H dan ragam L dalam sebuah masyarakat tutur selalu dijaga dan dipertahankan. Maka dari itu, diglosia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat stabil.

g.         Tata bahasa. Ditinjau dari tata bahasanya, ragam bahasa H cenderung memiliki kaidah tata bahasa yang lebih kompleks dan rumit apabila dibandingkan dengan ragam L.

h.         Leksikon. Pada fenomena diglosia umumnya terdapat perbedaan padanan kosakata pada masing – masing ragam. Terdapat kosakata ragam H yang tidak terdapat padanannya pada ragam L, dan begitu juga sebaliknya.

i.           Fonologi. Fonologi dalam ragam H merupakan bentuk umum yang ada dalam satu bahasa dan merupakan sistem dasar bahasa tersebut. Sedangkan ragam L merupakan sub-sistem yang memiliki keberagaman.

 

Fasold (1984) dalam bukunya The Sociolinguistics of Society mengembangkan konsep diglosia bahasa lebih luas, yang disebut dengan broad diglossia. Di dalam konsep yang dikembangkan, ditemukan perbedaan antara dua bahasa atau dua dialek. Konsep ini secara khusus diimplementasikan pada komunitas bilingual dan/atau multilingual, dimana Fasold menyebutnya sebagai double diglossia. Double diglossia menurut Fasold dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu double overlapping diglossia, double nested diglossia, dan linear polyglossia:

a.      Double overlapping diglossia

Double overlapping diglossia adalah sebuah situasi dimana terdapat beberapa tingkatan dan fungsi dari bahasa – bahasa yang digunakan di dalam masyarakat. Double overlapping diglossia hanya terdapat pada masyarakat dengan iklim multilingual (multibahasa), atau iklim dengan lebih dari 2 bahasa. Contoh fenomena double overlapping diglossia yang dipaparkan oleh Fasold (1987) terdapat pada masyarakati Tanzania. Masyarakat di Tanzania adalah masyarakat multilingual, dimana mereka menggunakan 3 bahasa dalam kehidupan sehari – hari, yaitu, Bahasa Inggris, Swahili, dan bahasa daerah. Ketiga bahasa tersebut memiliki tingkatan yang berbeda – beda, dimana Bahasa Inggris adalah bahasa dengan ragam H, dan Bahasa Swahili adalah bahasa dengan ragam L. Namun, Bahasa Swahili sendiri akan menjadi bahasa dengan ragam H jika dibandingkan dengan bahasa daerah yang digunakan masyarakat. Fenomena ini yang disebut dengan double overlapping diglossia.

 

b.      Double nested diglossia

Double nested diglossia adalah sebuah situasi di dalam masyarakat bilingual dimana terdapat 2 bahasa yang terpisah derajatnya menjadi ragam H dan ragam L. Fenomena inilah yang terjadi pada masyarakat bilingual Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Dimana secara umum, Bahasa Indonesia menjadi bahasa dengan ragam H dan Bahasa Jawa menjadi bahasa dengan ragam L. Namun, di dalam kedua bahasa tersebut juga terdapat ragam H sebagai bahasa formal, dan ragam L yang digunakan dalam situasi informal.

 

c.       Linear polyglossia

Linear polyglossia adalah sebuah penstrukturan banyak bahasa di dalam sebuah masyarakat. Fenomena ini terjadi pada masyarakat multilingual di mana penggunaan berbagai bahasa dengan segala ragam bahasanya tidak terpisah secara terstruktur tingkat derajatnya. Contoh fenomena ini seperti yang dipaparkan oleh Fasold (1987) adalah masyarakat Chinese Malaysia yang berbahasa Inggris yang tinggal di Malaysia. Pada masyarakat tersebut, ragam tertinggi adalah Bahasa Inggris Malaysia dengan ragam formal (H1). Namun, ragam di bawahnya (H2) bukanlah Bahasa Inggris Malaysia dengan ragam informal, namun Bahasa Melayu. Bahasa Inggris Malaysia dengan ragam informal berada pada posisi 4 sebagai Middle Variant 1 (M1), dengan Bahasa Mandarin sebagai ragam pada urutan ke-3 sebagai ragam yang disebut Fasold sebagai dummy high (DH). Variasi Bahasa China lainnya berada dibawahnya sebagai M2, L1, dan L2. Dimana ragam bahasa terendah adalah bahasa yang disebut dengan Informal Bazaar Malaysian (L-).

C.       Komunikasi dan Kebudayaan

1.         Hakikat Kebudayaan

Budaya, berasal dari bahasa sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang memiliki arti budi atau akal (Koentjaraningrat. 1985). Sedangkan dalam bahasa inggris disebut dengan culture dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem kompleks dari nilai, ciri, adat istiadat, dan moral yang dimiliki dalam sebuah komunitas masyarakat (Burhanudin. 2015). Sedangkan menurut Tubss dan Moss (2001) dalam bukunya Human Communication Konteks-Konteks Komunikasi, budaya dianggap sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sebuah kelompok orang secara bersama-sama, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya adalah sebuah pola hidup yang menyeluruh dan bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Budaya juga merupakan proses pemahaman bukan hanya untuk memahami alam atau realitas, namun juga sistem sosial di mana proses itu mengambil bagian, serta identitas sosial dan aktivitas sehari-hari manusia di dalam sebuah sebuah sistem sosial tertentu. Pemahaman terhadap diri sendiri, relasi sosial yang dimiliki, dan realitas eksternal merupakan hasil dari proses kultural yang sama (Fiske. 2012).

Banyak faktor yang mempengaruhi manusia dalam berperilaku, antara lain jenis kelamin, ras, agama, usia, dan budaya. Maka dari itu ketika seseorang dengan sebuah latar belakang budaya tertentu, akan mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan orang lain dengan latar belakang kebudayaan yang sama sekali berbeda dikarenakan setiap orang tidak selalu bertindak sesuai denga napa yang diharapkan. Dalam fenomena seperti itu, menunjukkan bahwa budaya itu dipelajari. Rentang perbedaan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain berkisar pada perbedaan yang kecil hingga perbedaan yang besar (Tubbs & Moss. 2001). Selain itu, sebuah budaya akan selalu berubah dan berevolusi seiring berjalannya waktu. Namun, seperangkat karakteristik dimiliki bersama oleh sebuah kelompok secara keseluruhan masih dapat dilacak meskipun telah berubah banyak dan signifikan dari generasi ke generasi.

Secara umum, kebudayaan dibagi ke dalam 2 kelompok berdasarkan konteksnya. Definisi dari konteks adalah segala bentuk informasi yang mengelilingi sebuah peristiwa (Hall & Hall. 2001). Pembagian kebudayaan menurut Hall berdasarkan konteks adalah budaya konteks tinggi (High Context Culture) dan budaya konteks rendah (Low Context Culture). Budaya konteks tinggi adalah konteks budaya dimana sebagian besar dari informasi yang ingin disampaikan sudah berada di dalam individu. Sehingga dapat dipahami bahwa komunikasi dalam budaya konteks tinggi tidak berpusat pada bahasa secara lisan melainkan secara implisit implisit. Sedangkan komunikasi yang terjadi di dalam budaya konteks rendah masih cenderung terfokuskan pada penggunaan bahasa melainkan secara eksplisit. Contoh budaya konteks rendah adalah budaya Indonesia dan budaya Jawa.

 

2.         Karakteristik Kebudayaan

Budaya dibentuk oleh sikap yang dipelajari oleh manusia sedari kecil, dan diperdalam hingga mereka dewasa. Burhanudin (2018) menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki beberapa karakteristik yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam beradaptasi dalam sebuah lingkungan multicultural. Karakteristik – karakteristik tersebut adalah:

a.          Kebudayaan dapat dipelajari

Aturan, nilai, dan sikap yang dimiliki suatu budaya bukan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari dan diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Aturan perilaku dari sebuah kebudayaan yang dipelajari dari tahap keluarga dan masyarakat menjadikan seseorang terkondisikan sejak masa kanak – kanak.

b.         Kebudayaan bersifat logis

Aturan – aturan dalam sebuah budaya merupakan paksaan yang normative, dalam artian, bahwa pada awalnya dibuat untuk memaksakan keyakinan dan nilai – nilai dari kebudayaan tersebut. Hal yang harus dipahami adalah bahwasanya setiap nilai – nilai dan norma yang ada dalam sebuah kebudayaan memiliki alasan – alasan tertentu yang menjadikannya harus diikuti. Mengakui logika yang terkandung di dalam sebuah kebudayaan merupakan hal yang sangat penting dalam menerima perilaku yang berbeda dari perilaku budaya seseorang.

c.          Kebudayaan merupakan dasar dari identitas individu dan masyarakat

Bagaimana seorang individu berperilaku pada dasarnya membawa seperangkat aturan, cara, tata tertib, keyakinan, bahasa, dan nilai – nilai yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan yang ada.

d.         Kebudayaan menggabungkan yang tampak dan tidak tampak

Bagaimana manusia bertindak dan berperilaku dalam kesehariannya merupakan bagian dari kebudayaan yang tampak. Sedangkan bagian dari kebudayaan tidak tampak adalah apa yang diyakini oleh manusia, tetapi pada akhirnya akan memperngaruhi bagaimana manusia bertindak dan berperilaku dalam kesehariannya.

e.          Kebudayan bersifat dinamis

Kebudayaan akan selalu berubah seiring berjalannya waktu. Perubahan tersebut terjadi tak lain dikarenakan perkembangan teknologi dan komunikasi, bahkan perang, migrasi, serta bencana alam.

 

3.         Unsur – unsur dan konsep perbedaan kebudayaan

Meskipun terdapat banyak kebudayan yang berbeda-beda, dimana kubdayaan tersebut selalu berubah dan berevolusi seiring berjalannya waktu, namun masih terdapat unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal dan dapat ditemui di dalam kebudayaan manapun di seluruh dunia. Koentjaraningrat (1985) menyebutkan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia, yaitu Bahasa, Sistem pengetahuan, Organisasi sosial, Sistem peralatan hidup dan teknologi, Sistem mata pencaharian, Sistem religi/keagamaan, dan Kesenian.

Dewasa ini, terutama di era globalisasi, proses interaksi dan komunikasi dengan individu lain dari latar belakang berbeda semakin sering terjadi. Perbedaan latar belakang tersebut antara lain dari segi budaya, bahasa, agama, suku, tingkat pendidikan, pekerjaan, status, jenis kelamin, dan sebagainya. Perbedaan latar belakang ini yang tentunya akan memperngaruhi cara orang mengirim, menerima, dan memaknai pesan kepada orang lain. Perbedaan budaya khususnya, dapat dilihat dari berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut adalah nilai sosial, peran dan status, pengambilan keputusan, konsep waktu, konsep jarak komunikasi, konteks budaya, bahasa tubuh, perilaku sosial, perilaku etis, dan perbedaan budaya organisasi/kelompok spesifik di dalam suatu masyarakat (Burhanudin. 2018)

 

4.         Kebudayaan dan Komunikasi

Pada hakikatnya, tidak akan ada dua masyarakat yang sama persis di dunia ini. Lingkungan dimana manusia berada, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan psikis akan membantu manusia dalam menyesuaikan diri dan yang pada akhirnya membuatnya berbeda satu sama lain. Hal ini juga berimplikasi pada sistem komunikasi yang hidup pada masyarakat tersebut. Peristiwa ini menyebabkan setiap kelompok masyarakat akan memiliki sistem komunikasi yang berbeda – beda pula. Perbedaan sistem komunikasi tersebut akan mendorong manusia untuk dapat membentuk kebudayaannya demi keberlangsungan hidupnya (Susanto & Astrid. 1976). Pembentukan kebudayaan yang dilakukan dengan sebuah sistem komunikasi tersebut sudah tentu menggunakan bahasa sebagai alat

Melihat pengertian kebudayaan dalam ilmu antropologi seperti yang dipaparkan Koentjaraningrat (1984) bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Proses belajar yang dimaksud tentu berbentuk interaksi dengan lingkungan sosialnya dalam bentuk komunikasi. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa hampir semua tindakan yang dilakukan manusia dalam kesehariannya adalah kebudayaan, karena pada dasarnya hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan proses belajar. Tindakan – tindakan manusia yang tidak memerlukan proses belajar adalah tindakan yang berlandaskan naluri seperti gerakan refleks, gerakan fisiologis, atau kelakuan pada saat membabi buta.

 

5.         Komunikasi Multibudaya

Konsep multikultural secara epistemologis berasal dari kata multi yang berarti banyak, dan kultur yang berarti budaya. Maka secara harfiah multibudaya dapat diartikan sebagai keberagaman budaya yang berada dalam satu daerah atau lingkungan (Fitria. 2017). Pada konsep kajian multibudaya, setiap individu memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan bertransaksi meskipun latar belakang kultur masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya. Konsep multibudaya berbeda dengan konsep antarbudaya. Konsep Multibudaya terjadi pada satu masyarakat atau lingkungan dengan beragam budaya yang ada di dalamnya. Dalam model multibudaya, sebuah masyarakat dipandang mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku secara umum di dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik (Suparlan. 2002).

Berdasarkan penjelasan mengenai konsep multibudaya tersebut dan digabungkan dengan konsep komunikasi yang sudah dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa komunikasi multibudaya adalah sebuah pengiriman dan penerimaan sebuah pesan sebagai bentuk usaha penyamaan pikiran, gagaran, makna, dan informasi dikarenakan perbedaan latar belakang budaya yang dimiliki oleh para pelaku, melalui sebuah pertukaran berbentuk interaksi. Adanya perbedaan latar belakang di antara pelaku komunikasi, menyebabkan proses komunikasi yang terjadi menjadi semakin kompleks. Maka dari itu dibutuhkan sebuah strategi komunikasi yang baik sehingga dapat melampaui batasan-batasan kebudayaan., agar persepsi dan makna yang disampaikan dapat disamakan. Strategi tersebut yang nantinya akan mengikuti pola komunikasi diantara pelaku komunikasi, sehingga pesan yang diterima dapat dengan mudah dipahami (Fitria. 2017).

 

D.       Kedudukan Frame Switching, Code Switching, dan Code Mixing dalam Kajian Etnografi Komunikasi[ME1] 

1.         Etnografi Komunikasi

Studi bahasa, komunikasi, dan budaya menjadi tiga ilmu besar dan penting dalam ilmu sosial. Ketiga isu tersebut dewasa ini berkembang menjadi sebuah cabang kajian keilmuan baru dalam khasanah pengetahuan manusia yang bekerja sama dalam satu perspektif. Kepaduan tiga kajian ilmu ini disebut dengan etnografi komunikasi. Studi etnografi komunikasi merupakan salah satu studi penelitian kualitatif dengan paradigma interpretif atau konstruktivis yang mengkhususkan kajiannya pada penemuan berbagai pola komunikasi (hubungan bentuk dan fungsi komunikasi) manusia dalam suatu masyarakat tutur (Kuswarno. 2009).

Etnografi komunikasi merupakan sebuah pendekatan dalam analisis wacana yang didasarkan pada antropologi yang memusatkan perhatian pada penjelasan holistik dari makna dan juga tingkah laku (Juanda & Azis. 2018). Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa etnografi komunikasi merupakan kajian ilmu yang melihat penggunaan bahasa secara umum dan bukan hanya menyorot bahasa secara fisik (fonologi dan gramatika), dan dihubungkan dengan nilai – nilai sosial dan budaya yang melatarbelakanginya. Etnografi komunikasi melihat bahasa dalam konteks sosial yang melatar belakangi dan kebudayaan dalam kosa kata bahasa, sehingga memerlukan analisis mengenai sistem kode bahasa tersebut, dan proses kognitif dari manusia yang menghasilkannya. Etnografi komunikasi digunakan sebagai pendekatan yang melihat bahasa, komunikasi, dan kebudayaan secara bersamaan, tidak secara terpisah.

Saville-Troike (2003) dalam bukunya The Ethnography of Communication: An Introduction menjelaskan mengenai subjek dan fokus dari studi etnografi komunikasi. Subjek permasalahan yang diangkat dalam studi etnografi komunikasi menurut Saville-Troike secara spesifik adalah communicative competence. Apabila dijabarkan, yang dimaksud dengan communicative competence adalah:

a.       Pengetahuan tentang kaidah – kaidah dalam berkomunikasi, baik secara linguistic dan sosiolinguistik.

b.      Pengetahuan mengenai kaidah – kaidah interaksi yang berlaku.

c.       Pengetahuan tentang kaidah – kaidah kebudayaan yang menjadi dasar sebuah peristiwa komunikasi

Melanjutkan penjelasannya, yang menjadi fokus kajian etnografi komunikasi adalah masyarakat tutur (speech community), yang mana terdiri dari:

a.       Bagaimana komunikasi dipola dan diorganisasikan sebagai sebuah sistem di dalam proses komunikasi

b.      Bagaimana pola komunikasi hidup di dalam interaksi dengan komponen kebudayaan yang lain.

 

Sedangkan fokus dari studi etnografi adalah particularistic dan generalizing:

a.       Particularistic menjelaskan perilaku komunikasi dalam sebuah kebudayaan tertentu, yang mana berarti hanya melihat pada satu konteks tempat dan waktu tertentu.

b.      Generalizing momfosmulasikan konsep – konsep dan teori untuk kebutuhan pengembangan metateori global komunikasi antar manusia.

 

Istilah etnografi komunikasi pertama kali diperkenalkan oleh Hymes pada tahun 1962 dengan istilah etnography of speaking (etnografi berbahasa), yang kemudian berkembang menjadi ethnography of communication (etnografi komunikasi). Hymes menjelaskan ruang lingkup dalam kajian etnografi komunikasi sebagai berikut:

a.          Pola dan fungsi komunikasi (patterns and functions of communications)

b.         Hakikat dan definisi masyarakat tutur (nature and definition of speech community)

c.          Cara – cara dalam berkomunikasi (means of communication)

d.         Komponen – komponen kompetensi komunikatif (components of communicative competence)

e.          Hubungan bahasa dengan pandangan dunia dan organisasi sosial (relationship of language to world view and social organization)

f.           Semesta dan ketidaksamaan linguistic dan sosial (linguistic and social universals and inequality).

 

Hymes (1962) mengemukakan unit-unit dalam sebuah aktivitas komunikasi dalam perspektif etnografi komunikasi antara lain: situasi atau konteks komunikasi, peristiwa komunikasi atau keseluruhan perangkat komponen yang utuh, serta tindak komunikasi. Selain itu Kuswarno (2009) juga menyebutkan komponen-komponen komunikasi dalam kajian etnografi komunikasi, antara lain: Genre atau tipe peristiwa komunikasi, Topik peristiwa komunikasi, Tujuan dan fungsi peristiwa komunikasi, Setting, Partisipan, Bentuk pesan, Isi pesan, Urutan tindakan, Kaidah interaksi, dan Norma – norma interpretasi.

Selanjutnya Kuswarno (2009) juga mengemukakan unsur – unsur dalam kompetensi komunikasi dalam lingkup etnografi komunikasi:

a.          Pengetahuan linguistic:

                                                           i.               Elemen – elemen verbal

                                                         ii.               Elemen – elemen non-verbal

                                                       iii.               Pola elemen – elemen dalam peristiwa tutur tertentu

                                                       iv.               Rentang varian yang mungkin

                                                         v.               Makna varian – varian dalam situasi tertentu

b.         Keterampilan interaksi

                                                           i.               Persepsi ciri – ciri penting dalam situasi komunikatif

                                                         ii.               Seleksi dan interpretasi bentuk – bentuk yang tepat untuk situasi, peran, dan hubungan tertentu

                                                       iii.               Norma – norma interaksi dan interpretasi

                                                       iv.               Strategi untuk mencapai tujuan

c.          Pengetahuan kebudayaan

                                                           i.               Struktur sosial

                                                         ii.               Nilai dan sikap

                                                       iii.               Peta atau skema kognitif

                                                       iv.               Proses enkulturasi

 

Meskipun menggabungkan antara isu bahasa, komunikasi, dan kebudayan, namun objek penelitian dalam penelitian etnografi komunikasi menggunakan istilah yang berbeda.  Berikut ini akan diuraikan objek – objek penelitian etnografi komunikasi menurut Kuswarno (2009):

 

1.         Masyarakat tutur

Masyarakat tutur atau speech community adalah masyarakat yang memiliki kaidah atau aturan yang sama untuk berkomunikasi. Hymes (1962) beranggapan bahwa semua anggota masyarakat tutur selain memiliki kaidah berbicara yang sama, tetapi juga satu variasi linguistic. Sedangkan Seville-Troike (2003) menyatakan bahwa masyarakat tutur tidak harus mempunyai satu bahasa, tetapi mempunyai kaidah yang sama dalam berbicara. Masyarakat tutur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat tutur bilingual Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.

2.         Aktivitas komunikasi

Proses atau aktivitas komunikasi dalam kajian etnografi komunikasi adalah khas, atau berbeda dengan proses komunikasi pada konteks komunikasi yang lain. Hal ini dikarenakan etnografi komunikasi memandang sebuah proses komunikasi sebagai sebuah proses yang sirkuler dan dipengaruhi oleh sosiokultural dimana komunikasi tersebut berlangsung. Aktivitas komunikasi yang diteliti dalam penelitian ini adalah aktivitas komunikasi interpersonal yang terjadi antara penutur bilingual Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.

3.         Komponen komunikasi

Komponen komunikasi menjadi bagian yang sangat penting dalam studi etnografi komunikasi, karena melalui komponen komunikasi sebuah peristiwa komunikasi dapat diidentifikasi. Komponen komunikasi yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: tipe peristiwa komunikatif, topik komunikasi, tujuan dan fungsi komunikasi, setting, partisipan, bentuk pesan, isi pesan, urutan tindakan, kaidah interaksi, dan norma – norma interpretasi.

4.         Kompetensi komunikasi

Tindak komunikasi yang dilakukan individu sebagai bagian dari suatu masyarakat tutur lahir dari integrasi tiga kompetensi komunikasi. Kompetensi komunikasi yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah keterampilan berbahasa para pelaku, keterampilan interaksi, dan keterampilan atau pemahaman terhadap kebudayaan yang dibawa oleh bahasa yang digunakan dalam interaksi (Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa).

5.         Varietas bahasa

Hymes (1962) menjelaskan bahwasanya di dalam setiap kelompok masyarakat terdapat varietas bahasa dan cara – cara berbicara yang bisa dipakai oleh anggota masyarakat tersebut. Pilihan varietas yang dipakai akan menggambarkan pemolaan komunikasi yang terjadi pada hubungan interpersonal antara penutur bilingual Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.

2.         Frame Switching

Pada masyarakat tutur bilingual, terdapat sebuah fenomena di mana para penutur bilingual mengekspresikan kepribadian yang berbeda saat berbicara dengan bahasa – bahasa yang berbeda (Ramirez-Espanza. 2004). Penjelasan teoritis yang paling menarik dari fenomena ini disebut dengan frame switching, dimana para penutur bilingual mengalami pergeseran nilai dan atribusi dirinya dengan adanya rangsangan yang relevan dengan budaya pada saat berbicara dengan bahasa yang berbeda. Seperti yang sudah diketahui bahwasanya fenomena bilingual tidak bisa dipisahkan dari fenomena multikultural, karena pada hakikatnya setiap bahasa membawa nilai budaya yang sudah ada dan diturunkan dari generasi ke generasi. Maka dapat disimpulkan, bahwa fenomena frame switching hanya terjadi pada individu penutur bilingual yang tidak hanya mengetahui dan memahami sebuah bahasa secara fisik saja, tapi juga sudah mampu menginternalisasikan nilai kebudayaan yang dibawa oleh bahasa tersebut ke dalam dirinya. Nilai budaya tersebut yang nantinya akan memandu perasaan, pikiran, dan aksi mereka. Individu bilingual yang sudah mampu menginternalisasi nilai budaya dari bahasa yang mereka tuturkan disebut dengan bikultural (Hong et al. 2000; LaFromboise et al 1993). Namun dalam makalah ini, akan tetap menggunakan istilah penutur bilingual, sebagai individu yang menguasai dan mampu memaknai 2 bahasa (dan budaya).

Frame switching dapat terjadi sebagai respons terhadap isyarat-isyarat yang ada di lingkungan sekitar seperti konteks dan simbol – simbol terkait dengan suatu budaya tertentu secara psikologis (Hong et al. 2000). Frame switching, dalam praktiknya, membantu penutur bilingual untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan di sekitar dan juga menentukan aksi atau perilaku yang tepat pada saat berpindah antar konteks yang utamanya terkait dengan salah satu budaya bahasa tertentu. Dengan kata lain, para penutur bilingual mungkin beralih ke strategi yang sesuai dengan kelompok dimana mereka berinteraksi. Mereka tidak hanya sekedar berbaur, tapi juga mempertahankan strategi yang berbeda sehingga mereka dapat beralih di antara strategi-strategi yang ada tersebut sehingga mereka dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan situasi (Briley at al. 2005). Dengan adanya perbedaan struktur budaya yang dimiliki oleh masing-masing bahasa, para penutur bilingual menggunakan bahasa-bahasa tertentu untuk tujuan yang berbeda, domain kehidupan yang berbeda, dan juga orang – orang yang berbeda pula menyesuaikan dengan kelompok sosial. Perbedaan domain dan konteks akan mendorong terjadinya perubahan impresi, sikap, dan perilaku dalam kepribadian seorang individu sebagai usahanya dalam memposisikan dirinya dengan lingkungan sosialnya dimana ia berada (Grosjean. 2011).

Terkait derngan penelitian terdahulu, sudah terdapat beberapa penelitian yang mengkaji mengenai frame switching terhadap individu multilingual saat mereka berinteraksi dengan menggunakan bahasa berbeda. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh David Luna dari Baruch College, New York, Amerika Serikat, dan Torsten Ringberg dan Laura Perachio dari University of Winconsin – Mulwaukee, Amerika Serikat pada tahun 2008 terhadap beberapa wanita hispanik berbahasa inggris di Amerika yang diminta untuk menonton iklan dalam 2 bahasa yang berbeda, yaitu Bahasa Spanyol dan Bahasa Inggris. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tersebut, menunjukkan bahwa para wanita hispanik penutur bilingual mendeskripsikan pikiran dan perasaan saat menonton iklan secara berbeda pada tiap sesi tergantung dari bahasa yang sedang digunakan. Meskipun iklan yang dipertontonkan adalah sama meskipun terpaut waktu 6 bulan antara sesi pertama dengan sesi berikutnya, dan yang berbeda hanya bahasa yang digunakan, namun impresi, nilai, dan atribusi yang didapat dari para wanita dalam penelitian tersebut adalah sama sekali berbeda.

 

3.         Code Switching dan Code Mixing

Penggunaan sebuah bahasa dengan iklim diglosia memungkinkan terjadinya sebuah fenomena peralihan atau penggabungan variasi atau kode yang ada di dalam bahasa tersebut, atau penggabungan dengan bahasa lain yang sama sekali berbeda. Fenomena peralihan atau penggabungan kode yang terjadi disebut dengan code switching dan juga code mixing. Kode dalam sosiolingustik adalah sebuah simbol nasionalisme yang digunakan oleh orang-orang untuk berbicara atau berkomunikasi di dalam bahasa tertentu, termasuk di dalamnya adalah penggunaan dialek, aksen, atau gaya bahasa pada kesempatan serta tujuan berbeda (Yuliana et al. 2015). Kode adalah sebuah bahasa, beberapa bahasa, atau bahkan variasi-variasi di dalam sebuah bahasa atau dialek (Wajdi. 2009). Dalam sebuah komunikasi iklim bilingual dimana para penuturnya memungkinkan penggunaan 2 atau lebih jenis kode di dalam satu proses komunikasi. Dalam komunikasi di dalam iklim tersebut juga memungkinkan terjadinya fenomena code switching dan code mixing. Yang dimaksud oleh code switching adalah penggunaan sebuah bahasa dengan menyisipkan elemen atau unsur bahasa atau ragam bahasa lain yang berlangsung tanpa adanya paksaan (Andriani et al. 2021). Code switching didefinisikan sebagai pergantian dua bahasa dalam suatu wacana tunggal, kalimat, atau konstituen (Kim. 2006). Maka dapat dipahami bahwa code switching tidak harus terjadi dalam satu kalimat. Code switching pada hakikatnya adalah sebuah fenomena kebahasaan yang muncul karena terdapat berbagai macam bahasa yang dimiliki oleh individu. Hal tersebut merupakan fenomena umum yang terjadi di dalam masyarakat bilingual atau multilingual (Mahalli et al. 2021). Dalam praktiknya, fenomena code switching dapat terjadi di manapun dan kapanpun. Fenomena code switching adalah fenomena peralihan di dalam bahasa karena berubahnya situasi dari formal ke situasi informal atau santai.

Chaer (2010) menyatakan bahwa code switching terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu internal code switching dan external code switching:

a.         Internal code switching

Mahalli et al (2021) menjelaskan bahwa internal code switching adalah fenomena code switching yang terjadi pada iklim antarbahasa di dalam satu bahasa nasional, atau antar dialek dalam satu bahasa daerah, atau antar beberapa ragam dan gaya bahasa yang terdapat dalam satu dialek bahasa. Internal code switching terjadi antara satu bahasa dengan bahasa lainnya yang masih serumun (Andriani. 2021). Para penutur dapat memilih bahasa atau variasai atau ragam bahasa tertentu yang akan digunakan untuk tujuan tertentu, situasi tertentu, tempat tertentu, kepada lawan tutur tertentu (Wajdi. 2009). Pilihan kode yang akan digunakan oleh seseorang bergantung pada latar belakang etnik, jenis kelamin, umur, status sosial, dan lain sebagainya.

b.         External code switching

External code switching terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing atau bahasa yang tidak serumpun (Andriani. 2021). Mengenai definisi external code switching, Mahalli (2021) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan external code switching adalah campur kode dimana aspek bahasa asal ataupun elemen bahasa lain dalam kalimat atau klausa dapat diterima dan digunakan.

 

Sedangkan yang dimaksud dengan code mixing adalah sebuah pencampuran kode sebuah bahasa ke dalam bahasa utama tanpa memenuhi syarat sebagai sebuah kalimat yang utuh (Chaer. 2010). Kim (2006) juga menyatakan mengenai pengertian code mixng sebagai kasus – kasus dimana item – item leksikal dan fitur gramatika dari dua bahasa atau rumpun bahasa yang berbeda muncul dalam satu kalimat.

Code switching dan code mixing dinilai menjadi sebuah fenomena dalam komunikasi yang terjadi karena berbagai faktor seperti faktor situasi, sosial, dan bahkan budaya (Santoso et al. 2021). Baik code switching maupun code mixing merupakan salah satu bentuk ketergantungan bahasa (language dependency) dalam sebuah masyarakat tutur bilingual. Yang artinya, dalam masyarakat tutur bilingual, hampir pasti terjadi fenomena code switching ataupun code mixing (Djarot. 2020). Code switching dan code mixing pada hakikatnya akan sangat mempengaruhi bagaimana proses komunikasi dalam iklim bilingual khususnya dalam konteks interpersonal. Hal ini dikarenakan keadaan berbahasa menjadi berbeda saat seseorang mencampurkan dua bahasa atau ragam bahasa dalam sebuah situasi berbahasa (Nababan. 1984).

 

E.     Komunikasi Interpersonal Iklim Bilingual dalam Konteks Public Relations

Seiring dengan semakin interaktifnya komunikasi public relations, maka kegiatan public relations tidak lagi dipandu oleh konsep model komunikasi massa, melainkan oleh prinsip hubungan interpersonal (Bruning.2001). Manajemen hubungan antar individu dianggap sangat memungkinkan di ranah public relations. Maka dari itu, pada publik yang multibudaya dan bilingual para praktisi public relations perlu beradaptasi dalam berkomunikasi dengan public utamanya untuk menciptakan sebuah hubungan interpersonal daripada membentuk interaksi komunikasi massa. Salah satu bentuk adaptasi yang dapat dilakukan adalah pemahaman pola penggunaan bahasa yang terjadi pada masyarakat multibudaya dan bilingual tersebut. Fenomena lingkungan multibudaya dan bilingual seperti ini juga terjadi di lingkungan Kota Malang yang berpredikat sebagai kota pelajar. Banyak mahasiswa di Kota Malang yang merupakan penutur bilingual Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Mahasiswa, sebagai publik utama dari instansi perguruan tinggi dan juga bagian dari masyarakat, memiliki pola komunikasi interpersonal tertentu yang harus dipahami. Pemahaman pola komunikasi interpersonal pada mahasiswa penutur bilingual Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa akan dapat membantu manajemen hubungan dalam konteks public relations instansi perguruan tinggi, sesuai dengan konsep komunikasi interpersonal dalam konteks public relations.

 

F.     Model Interaksional

Berbeda dengan model-model linear lain seperti stimulus–respons (S – R), model interaksional menganggap bahwa manusia sebagai peserta komunikasi merupakan komunikator yang aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, dan menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan (Mulyana, 2016). Peserta komunikasi itu sendiri menurut model ini adalah orang-orang yang mengembangkan potensi manusiawinya melalui interaksi sosial, atau lebih tepatnya pengambilan peran (role taking). Dari perspektif pengambilan peran ini, komunikator memandang dirinya sendiri dari perspektif orang lain serta memandang orang lain dari perspektif dirinya. Oleh karena itu, komunikator mampu menyesuaikan perilaku dengan orang lain dengan menyelaraskan tindakan tersebut dengan tindakan orang lain. Model interaksional memiliki karakter yang kualitatif, non-sistemik, dan non-linier. Karakter-karakter ini yang menyebabkan model interaksional sangat sulit untuk digambarkan dengan model diagram 2 dimensi. Model ini menggambarkan kemanunggalan yang unidimensional dari diri, orang lain, objek, dan konteks kultural, yang sudah tentu tidak mencerminkan realitas. Selain itu, model ini tidak menggambarkan tindakan dalam sebuah proses interaksi. Fisher (1978) dalam bukunya Teori-teori Komunikasi mencoba menggambarkan model

Model interaksional mengemukakan adanya pemisahan diri, orang lain, dan objek, yang pada kenyataannya, ketiga aspek tersebut bersifat stimultan, saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain, dan tidak dapat dipisahkan (Fisher,1978). Pada hakikatnya, model interaksional tidak mengklasifikasikan fenomena komunikasi menjadi berbagai unsur atau fase. Model ini menggambarkan komunikasi sebagai sebuah proses pembentukan makna oleh peserta komunikasi. Apa yang dimaksud dengan pembentukan makna itu sendiri adalah penafsiran pesan atau perilaku peserta komunikasi lain (Mulyana, 2016). Komunikator dalam model ini dianggap sedang melakukan peran. Mulyana (2016) juga menyebutkan beberapa konsep penting dalam model interaksional, yaitu: diri (self), diri yang lain (other), simbol atau lambang, makna, penafsiran, dan tindakan. Terdapat 3 premis yang menjadi dasar model interaksional yang dikemukakan oleh Blumer (1969) dalam bukunya Symbolic Interactionism Perspective and Method. Pertama, manusia selalu bertindak berdasarkan makna. Kedua, makna tersebut berhubungan langsung dengan interaksi sosial yang dilakukan dengan lingkungan sosial dimana individu berada.

Lokasi: Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar