Senin, Desember 19, 2022

REPRESENTASI INDEPENDENT WOMAN DALAM MUSIC VIDEO (G)-IDLE LIONS



REPRESENTASI INDEPENDENT WOMAN DALAM MUSIC VIDEO (G)-IDLE LIONS


A.    Representasi Perempuan dalam Media dan Citranya

Citra adalah proses atau upaya untuk menempatkan produk, merk, perusahaan, individu, apapun dalam pikiran masyarkat  yang dianggap sebagai sasaran sehingga selalu ingat dengan produk yang dimaksud, dengan cara membuat kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan dari sebuah kata, frasa atau kalimat (Pardede, 2016:13). Citra tidak pernah lepas dari persepsi atau cara pandang seseorang atau organisasi terhadap citranya dimata public sehingga melahirkan sebuah  respon positif. Seperti yang diketahui, representasi merupakan kajian penting dalam culture studies, dapat juga diartikan sebagai jembatan antara kita dan dunia, dengan representasi kita dapat melihat bagaimana dunia ditampilkan, baik dalam segi politik, ekonomi, sosial, budaya dan ideologi (Alamsyah : 2020, pp.92-99).

Representasi adalah proses symbolisasi makna dari hasil menerima informasi (decoding). Dalam teori yang dikemukakan oleh Stuart Hall, proses komunikasi (encoding-decoding), berlangsung lebih kompleks. Khalayak tidak hanya menerima pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan (pengirim-pesan-penerima), tetapi juga bisa mereproduksi pesan yang disampaikan (produksi, sirkulasi, distribusi atau konsumsi-reproduksi).Menurut Struart Hall, representasi adalah produksi makna mengenai konsep dan pemikiran kita yang disampaikan oleh bahasa. Bahasa yang dimaksud bukan hanya melalui verbal namun juga non-verbal. Secara sederhana, representasi dapat diartikan sebagai kegiatan menampilkan kembali, mewakili sesuatu, pembuatan image atau sebuah cara untuk memaknai apa yang diberikan pada benda atau pada teks yang digambarkan pada objek apapun termasuk music yang mempresentasikan pemikiran kita terhadap orang lain. Selanjutnya, representasi digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui tanda-tanda yang tersedia dalam dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya untuk memahami dan memaknai kode dan tanda dalam video ( Putri, Ade, 2018 : 58).

  Mengutip Marshall McLuhan (dalam Ibrahim, 2004), media telah ikut memengaruhi perubahan masyarakat. Media tidak hanya memenuhi kebutuhan manusia akan informasi atau hiburan, tetapi juga fantasi yang mungkin belum pernah terpenuhi lewat saluran–saluran komunikasi tradisional lainnya (Handoyo Pambudi : 139). Melalui representasi,  media punya andil dalam memproduksi makna mengenai identitas gender (Gill, 2007). Representasi gender dalam media masih menjadi permasalahan khususnya menyangkut representasi perempuan. Kualitas representasi perempuan mengarah pada identitas perempuan tradisional dengan stereotip peran domestik dan non-profesional (Collins, 2011). Representasi berfungsi untuk mendefinisikan realita, sehingga tidak lepas dari kuasa dalam produksi pesan. Media memang begitu mudah untuk mengkonstruksi mengenai nilai-nilai, mitos dan kepercayaan pada perempuan. Perempuan dengan berbagai aspek kodratnya selalu diposisikan dalam ruang privat atau domestic dan laki-laki diposisikan dalam ruang publik. Perbedaan posisi telah menyebabkan tumbuhnya nilai di masyarakat bahwa kodrat yang berperan dalam ruang awam (public sphere) statusnya adalah sebagai warga negara kelas satu, manakala yang berperanan dalam ruang privat (domestic) berstatus warga negara kelas dua (Yanti Dwi Astuti, 2016 : 26). Konstruksi media pada perempuan membuat tumbuhnya stereotip pada perempuan dan ketidakadilan gender. Representasi tak bisa direduksi hanya sebagai keterwakilan yang bisa diukur melalui angka atau jumlah konten media yang menampilkan perempuan. Lebih dari itu, representasi adalah penciptaan ruang inklusif yang demokratis untuk berpartisipasi dan bersuara. Representasi pada perempuan dalam media membuat citra perempuan dalam media tidak sesuai dengan realitas yang ada. Citra perempuan dipusatkan hanya sebagai pelengkap laki-laki dan pada ranah domestic dan membentuk citra pada standar-standar perempuan seperti harus tampil cantik, menawan, berkulit putih dan lain-lain. Minimnya representasi pada level pembuatan keputusan dan kepemimpinan berdampak langsung terhadap konten yang diproduksi, isu yang diangkat, suara-suara yang dimunculkan, dan bagaimana perempuan atau laki-laki digambarkan (North dalam Melki dan Farah, 2014). Sehingga pentingnya pelibatan perempuan dalam mengambarkan perempuan dalam media (Anatasya Lavenia : 2021 dalam Representasi perempuan dalam media : bukan token konten semata).

B.     Music Video Sebagai Media Komunikasi Massa

Menurut Bittner komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (massa communication is messeges communicated through a mass medium to a large number of people). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunkan  media massa, meskipun komunikasi disampaikan pada khalayak banyak jika tidak menggunakan media massa seperti televise, radio, film, video, media cetak, dan media social bukan komunikasi massa. Ciri dari komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik media audio visual maupun media cetak (Khomsahrial Romli 2016:5).

Video sebagai media baru komunikasi massa merupakan salah satu bagian dari media elektronik dan memiliki karakteristik seperti film. Moller dalam tulisannya berjudul Redefining Music menyatakan bahwa video klip merupakan film pendek yang mengintegrasikan lagu dengan gambar yang diproduksi untuk tujuan promosi atau artistic (Haqi Achmad : 2012). Video klip merupakan kumpulan dari sebuah potongan-potongan visual yang dirangkai dengan atau tanpa efek yang disesuaikan dengan lirik, irama, instrument dan penampilan band serta, video klip digunakan untuk mempromosikan lagu. Dalam music video untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain terdapat bahasa. Menurut Rabiger (2003: 58) Music Video mempunyai lima bahasa universal, yaitu :

1. Bahasa Ritme (irama). Bahasa ritme yaitu bahasa visual yang terdapat pada video dan disesuaikan dengan tempo dari sebuah lagu.

2. Bahasa Musikalisasi (instrument musik). Bahasa musikalisasi dapat diartikan sebagai bahasa visusal yang terkandung pada video klip yang ada kaitannya dengan nilai musikalisasi seperti jenis musik, alat musik, atau profil band.

3. Bahasa Nada. Bahasa nada diartikan sebagai bahasa visual yang tedapat pada video klip yang akan disesuaikan dengan aransemen nada yang ada.

4. Bahasa Lirik. Bahasa lirik dapat diartikan sebagai bahasa visual pada video klip yang berhubungan dengan lirik lagu. Jika ada lirik yang mengungkapkan kata 'cinta' maka sebagai simbolisasi digambarkan dengan bunga, warna pink, atau hati, akan tetapi bisa juga digambarkan seperti kertas(surat), sepatu butut (cinta tanpa mengenal status sosial), bahkan dengan air (cinta yang mengalir).

5. Bahasa Performance. Bahasa Performance sebenarnya bisa disebut juga sebagai bahasa visual pada video klip yang berhubungan dengan karakter pemusik, penyanyi, pemain band baik dari latar belakang bermusiknya, hingga ke profil fisiknya (hidung, mata, style, fashion dan gerak tubuh).

Kelima unsur di atas seluruhnya masuk dalam satu lagu dengan uraian nada dan instrument tertentu.

Media massa dianggap sebagai produsen kebudayaan yang mampu memberikan berbagai informasi dan mudah diterima masyarakat, serta memberikan pengaruh pada khalayak. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada keterkaitan antar video klip sebagai media komunikasi massa. Tujuan awal video musik diciptakan untuk membawa musik ke televisi dan diciptakan untuk mempromosikan dan meningkatkan penjualan lagu. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, video musik diciptakan sebagai karya kreatif untuk menyampaikan beberapa pesan lagu (Oktavyanthi & Kholiq, 2020).

Komunikasi massa merupakan penyampaian pesan verbal maupun non verbal  oleh komunikator melalui saluran media massa yang mempunyai beberapa bentuk, seperti cetak dan elektronik kepada komunikan dalam jumlah yang besar. Video klip dapat dikategorikan sebagai bentuk media komunikasi massa, karena memiliki beberapa unsur, karateristik, dan fungsi yang sama dengan komunikasi massa.  Kreatifitas dalam pembuatan video klip akan berpengaruh terhadap pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat, terutama musisi independent biasanya lebih mengangkat pada kritik social dan gejala-gejala social yang ada dimasyarakat. Maka dari itu video klip sebagai media baru komunikasi untuk menyampaikan pesan yang ingin para pelaku musik sampaikan lewat lagunya kepada pendengar.

C.     Independent Woman Dalam Kajian Feminisme

Perempuan memiliki kebebasan penuh atas jalan hidupnya, tidak membutuhkan perizinan untuk mencapai kesetaraan gender (Wolf : 1997). Sudah seharusnya perempuan memiliki potensi, bertindak agresif, dan berani menghadapi segala tantangan. Pada titik ini, menuntut perempuan memiliki potensi dan menolak untuk menggantungkan diri. Independensi adalah kebebasan berpikir dan bertindak atas kemauan sendiri. Independensi perempuan merupakan kemampuan dalam diri untuk memaksimalkan segala potensi dan pengalaman yang dimilikinya (Saleh, 2018: 58-59). Independensi menolak atas segala pengeksploitasian terhadap perempuan (Shihab, 2010: 119-121). Konsep Independensi perempuan memang merupakan konsep feminisme lama yang sudah muncul pada abad ke-20.

Secara etimologis feminisme berasal dari kata femme yang artinya woman (Shintya, 2014: 144).  Feminism merupakan ideology pembebasan perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang dimilikinya (Hidayatullah, 2010, p.5).  Feminisme merupakan perspektif atau cara pandang, cara pikir, dan ideologi untuk mencapai keadilan gender (Murphy, 2004: 127). Perempuan memiliki stereotip negative di kalangan masyarakat. Strereotip ini akibat bias gender karena masyarakat pada umumnya selalu melabelkan identitas gender berdasarkan jenis kelamin, kondisi ini merugikan kaum perempuan karena dalam bias gender terdapat pembagian posisi tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang mengakibatkan lahirnya gerakan feminism  dimana perempuan menuntut kesetaraan hak antara kaum perempuan dan kaum laki-laki, seperti fenomena feminism.  Menurut Sugihastuti dan Suharto (2002), Feminisme mempunyai dua tujuan utama dalam pergerakannya, yaitu memperjuangkan persamaan derajat dengan laki-laki dan otonomi untuk melakukan hal yang mereka inginkan secara pribadi. Gerakan ini hadir untuk memperlihatkan pada dunia tentang keberadaan perempuan yang selama ini kerap terstigma oleh sistem patriarki, baik dalam ranah publik maupun privat.

Konsep independensi perempuan dalam feminisme tersebut, juga disampaikan dalam buku Feminist Thought karya Rosemarie Putnam Tong bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam aspek pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial dengan laki-laki, selain itu kemandirian perempuan juga adalah terbebas dari segala sesuatu yang berhubungan dengan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan dan mendapatkan hak kebebasannya. Menurut Tong ada beberapa sistem klasifikasi dan teori-teori feminisme, salah satunya adalah yang dikembangkan oleh Rosemarie Putnam Tong. Rosmarie Tong membagi aliran dan pemikiran feminis menjadi tujuh kelompok besar yang terdiri dari feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis, feminisme sosialis, feminisme psikoanalisis, feminisme gender, feminisme eksistensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural, feminisme global dan ekofeminisme.

Factor-faktor domestic dan budaya atau paham yang dianut tersebut, menjadikan banyak perempuan yang tidak bergantung pada orang lain terutama pada laki-laki. Selain itu, independensi perempuan memiliki lebih banyak kesempatan untuk dapat memilih keputusan apa pun untuk diri mereka sendiri. Dengan cara ini, wanita dapat meningkatkan harga diri Ketika seorang wanita memilih untuk mandiri baik secara finansial maupun sebaliknya, ini secara langsung berdampak pada cara orang memandangnya.

D.    Perempuan dalam Masyarakat Tradisional Korea Selatan

Dalam masyarakat tradisional Korea, perempuan sebagian besar terbatas pada sector domestic (Women's Role in Contemporary Korea). Sejak usia muda, wanita diminta untuk mempelajari nilai-nilai Konfusianisme tentang kepatuhan dan ketahanan untuk mempersiapkan peran masa depan mereka sebagai istri dan ibu. Dalam sejarah Korea, terkait erat dengan tiga pilar  utama ajaran, yaitu Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme. Ajaran Konfusianisme yang paling berpengaruh dalam segala aspek kehidupan masyarakat Korea dulu hingga sekarang. Hal tersebut terlihat sejak zaman dahulu ketika masa kerajaan sejak masa dinasti Joseon 1392-1897. Ideologi konfusianisme ini melahirkan system patriarki di Korea.  

Dalam system patriarki, terdapat perbedaan peran antara anak laki-laki dan perempuan yang salah satu contohnya adalah peran dan pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Hal tersebut mendorong pemisahan yang ketat antara jenis kelamin. Garis keturunan ayah menentukan status seseorang saat lahir, menjadikan kontrol seksual yang kaku sebagai kebutuhan sosial. Akibatnya, wanita diajar untuk menjadi bajik dan patuh dan menghargai ahli waris laki-laki di atas segalanya. Perempuan tidak memiliki posisi public dan dipaksa bersikap pasif dan patuh pada lelaki (Cho, 1998:187). Perempuan ditempatkan ditempatkan dibawah laki-laki dan menugaskan perempuan pada peran social dengan stereotip : perempuan suci, istri yang berbakti, ibu yang berdedikasi (Kim, 1994 : 148). Paham konfusianisme dan patriarki membatasi peran perempuan Korea terutama pada sector public dan peran tersebut hanya terbatas berada dirumah tangga dengan pekerjaan yang berada disektor domestic dan membentuk stereotype hingga saat ini.

E.     Teknik Pengambilan Gambar

Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa Inggris ‘cinematography’ yang berasal dari bahasa Latin ‘kinema’ yang berarti gambar. Sinematografi sebagai ilmu terapan merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide atau dapat mengemban cerita (Suwanto, 2020: 16). Dalam pembuatan film teknik-teknik pengambilan juga diperlukan karena dengan menggunakan teknik sinematografi yang berbeda dan pengambilan sudut pandang (angle) yang berbeda pula dapat memberikan kesan, pemaknaan yang berbeda (Laminantang, 2013). Berdasarkan sudat pandang (angle) dalam pengambilan gambar terdapat beberapa macam jenis, sudut pandang (angle) yang sering digunakan istilah diantaranya yakni Low Angle dimana pengambilan gambar dengan sudut pandang dari arah bawah objek sehingga objek terlihat lebih besar dan menimbulkan kesan dramatis yang memiliki makna dominan, High Angle, serta Eye Level dimana pengambilan gambar sesuai atau sejajar dengan mata pandang kita sebagai objek (Laminantang, 2013). Berikut adalah beberapa jenis shot dalam teknik pengambilan gambar (Semedhi, 2011: 55-56):

1.      Big Close Up

Ukuran shot terbesar yang kita sebut sebagai big close up adalah gambar yang menonjolkan detail atau ekspresi, misalnya gambar mata yang sedang berkedip-kedip dan lain-lain.

2.      Close Up

Ukuran shot close up biasanya untuk menjelaskan detail wajah seseorang sehingga ekspresinya akan tampak. Gambar close up untuk benda dimaksudkan untuk menonjolkan detailnya.

3.      Medium Close Up

Medium close up dimaksudkan untuk menonjolkan mimik atau raut muka seseorang dan untuk menampilkan wajah aktor/aktris secara utuh agar nampak rambut dan aksesorinya.

4.      Medium Shot

Medium shot digunakan untuk menekankan wajah seseorang dan gerakan tangannya (gestur) biasanya untuk menampilkan orang yang sedang berbicara dengan menggerak-gerakkan tangan sambil duduk (tidak berpindah-pindah tempat).

5.      Knee Shot

Knee Shot yaitu gambar yang diambil dengan ukuran dari lutut ke atas dimaksudkan untuk menampilkan seseorang yang sedang berjalan dengan lambat dengan harapan ekspresi wajahnya tetap terlihat demikian juga dengan gerakan tangannya atau mungkin apa yang dibawa di tangannya.

6.      Full Shot

Full shot adalah ukuran gambar yang menampilkan seluruh tubuh manusia secara utuh dengan maksud untuk tetap bisa memperlihatkan wajah, mungkin ekspresi dan seluruh gerakan tubuhnya. Full shot diambil ketika seseorang bergerak dengan relatif cepat.

7.      Long Shot

Long shot adalah ukuran pemandangan alam terbatas yang dimaksudkan untuk menggambarkan pergerakan objek seperti orang, binatang atau benda bergerak lainnya. Dengan ukuran long shot, berarti ekspresi tidak bisa dilihat dengan jelas. Motivasi pengambilan gambar long shot memang hanya untuk menunjukkan pergerakan objek.

8.      Extreme Long Shot

Extreme long shot adalah ukuran shot untuk menunjukkan pemandangan alam secara luas atau untuk memperlihatkan kepada penonton suatu objek yang bergerak secara cepat dan posisinya di alam atau tempat yang dilaluinya. Sudah pasti penonton tidak bisa menyaksikan ekspresi bahkan sulit mengidentifikasi objek kecuali digunakan tanda-tanda tertentu.

Dalam teknik pengambilan gambar juga perlu diperhatikan pencahayaannya. Lighting atau pencahayaan ialah komponen utama dan mempunyai peran yang  sangat penting di dalam produksi sebuah film atau video. Dengan pengaturan lighting yang tepat, kita bisa memberi efek positif atau negatif terhadap sebuah objek yang kita ambil. Bahkan dengan lighting tertentu kita bisa membuat efek sedih, gembira, takut, berani, suram, cerah dan lain sebagainya (Semedhi, 2011: 69). Sehingga cahaya dapat digunakan untuk menambah efek  mendramatisasi gambar-gambar yang diambil sesuai dengan tuntutan ceritanya.

F.     Analisis Semiotika Roland Barthes

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis yang digunakan untuk mengkaji tanda. Dalam ilmu komunikasi “tanda” adalah  interaksi makna yang disampaikan kepada orang lain melalui tanda.  Semiotika berasal dari kata Yunani: Semeion, yang berarti tanda. Dasar   semiotika   adalah   konsep  tentang  tanda,  lalu  ilmu  ini  juga  berkaitan  dengan  seluruh  pikiran  manusia  tentang  tanda-tanda  yang  membuat  manusia  dapat  menghubungkannya  dengan  realitas  (Sobur, 2006:13-17). Sedangkan semiotika digunakan dalam hubungannya dengan karya Charles Sanders Peirce dan Charles Morris. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling menggantikan karena keduanya digunakan untuk menunjukkan  ilmu tentang tanda. Dalam pengertian Saussure (Sobur: 2006), semiologi merupakan “studi yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat” dan dengan demikian menjadi bagian dari disiplin psikologi sosial. Sementara itu, istilah semiotika yang diciptakan pada akhir abad-19 oleh filsuf aliran pragmatis Amerika Charles Sander Peirce, mengacu pada “doktrin formal tentang tanda”. Yang menjadi dasar semiotika adalah konsep tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun-sejauh terkait dengan pikiran manusia-seluruhnya terdiri atas tanda-tanda, karena jika tidak, manusia tidak akan mampu berhubungan dengan realitas.

Roland Barthes dikenal sebagai salah satu pemikir strukturalis yang mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussuren. Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang  mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean (Sobur, 2004: 63).  Semiotika dalam istilah Barthes semiology, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan  (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) pada hal ini tidak bisa dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai, dalam hal ini tidak dapat disamakan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek  tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusikan sistem terstruktur dari tanda (Vera, 2014:26). Dari analisis Barthes konsep konotasi dan denotasi menjadi kunci. Konsep ini disebut Two orders of signification (signifikasi dua tahapatau dua tatanan pertandaan).


 Barthes yang terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, dan second orders of signification yaitu konotasi. Denotasi merupakan signifikasi tahap pertama yang merupakan makna paling nyata dari tanda. Sedangkan konotasi ialah signifikasi tahap kedua dimana makna yang terbentuk dikaitkan dengan perasaan, emosi atau keyakinan. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Roland Barthes selalu membahas mitologi, dimana sebagian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek denotative tanda-tanda dalam budaya pop menyingkap konotasi yang pada dasarnya adalah mitos yang dibangkitkan oleh system tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat (Cobley & Jansz, 1999). Terdapat dua mitos yaitu mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa  dan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2001:128). Barthes dalam studinya berpendapat bahwa salah satu bidang penting yang tercakup dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca  (the reader). Konotasi, merupakan sifat asli tanda yang memerlukan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.

      Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan, tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin (Cobley & Janz dalam Sobur, 2006 : 69).  Alex Sobur (2006: 70) menyatakan, denotasi dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya  merupakan proses signifikasi tahap pertama lewat hubungan antara petanda dan penanda di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Hubungan antara petanda dan penanda tahap kedua adalah konotasi, namun  justru denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna, yaitu dibalik denotasi masih terdapat makna yang tersembunyi dan dapat diungkap dengan mencari makna konotasinya.

Konotasi dalam semiologi Barthes adalah istilah yang digunakan untuk menyebut signifikasai tahap kedua. Signifikasi tahap kedua ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca atau penonton serta nilai-nilai kebudayaannya. Berdasarkan kerangka Barthes menurut Budiman dalam Alex Sobur (2006: 71), konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Pemahaman tentang mitos oleh Roland Barthes bermula karena adanya persepsi dari Roland Barthes sendiri bahwa dibalik tanda-tanda tersebut terdapat makna  misterius yang pada akhirnya dapat memunculkan sebuah mitos.

Selain teori signifikansi dua tahap dan mitologi, Barthes mengemukakan lima jenis kode yang lazim beroperasi dalam suatu teks yaitu :

1.      Kode Hermeuneutik ialah dibawah kode hermeuneutik, orang akan mendaftar beragam istilah (formal) yang berupa sebuah teka-teki (enigma) dapat dibedakan, diduga, diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disikapi. Kode ini disebut  sebagai suara kebenaran (the voice of truth).

2.      Kode Proairetik merupakan tindakan naratif dasar (basic narrative action) yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam berbagai sikuen yang mungkin diindikasikan. Kode ini disebut  sebagai suara empirik.

3.      Kode Budaya sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu pengetahuan. Kode ini disebut sebagai suara ilmu.

4.      Kode Semik merupakan sebuah kode relasi-penghubung (medium-relatic code) yang merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek yang pertandanya adalah sebuah karakter (Sifat, atribut, predikat).

Kode Simbolik merupakan suatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan dengan beragam bentuk sesuai dengan pendekatan sudut pandang (Prespektif) pendekatan yang digunakan (Kurniawan, 2001:69).


Lokasi: Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar