REPRESENTASI INDEPENDENT WOMAN DALAM MUSIC VIDEO (G)-IDLE LIONS
A.
Representasi
Perempuan dalam Media
dan Citranya
Citra adalah proses atau upaya untuk menempatkan
produk, merk, perusahaan, individu, apapun dalam pikiran masyarkat yang dianggap sebagai sasaran sehingga selalu
ingat dengan produk yang dimaksud, dengan cara membuat kesan mental atau
bayangan visual yang ditimbulkan dari sebuah kata, frasa atau kalimat (Pardede,
2016:13). Citra tidak pernah lepas dari persepsi atau cara pandang seseorang
atau organisasi terhadap citranya dimata public sehingga melahirkan sebuah respon positif. Seperti yang diketahui, representasi
merupakan kajian penting dalam culture studies, dapat juga diartikan sebagai
jembatan antara kita dan dunia, dengan representasi kita dapat melihat
bagaimana dunia ditampilkan, baik dalam segi politik, ekonomi, sosial, budaya
dan ideologi (Alamsyah : 2020,
pp.92-99).
Representasi adalah proses symbolisasi makna dari
hasil menerima informasi (decoding). Dalam teori yang dikemukakan oleh Stuart
Hall, proses komunikasi (encoding-decoding), berlangsung lebih kompleks.
Khalayak tidak hanya menerima pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan
(pengirim-pesan-penerima), tetapi juga bisa mereproduksi pesan yang disampaikan
(produksi, sirkulasi, distribusi atau konsumsi-reproduksi).Menurut Struart
Hall, representasi adalah produksi makna mengenai konsep dan pemikiran kita
yang disampaikan oleh bahasa. Bahasa yang dimaksud bukan hanya melalui verbal
namun juga non-verbal. Secara sederhana, representasi dapat diartikan sebagai
kegiatan menampilkan kembali, mewakili sesuatu, pembuatan image atau sebuah
cara untuk memaknai apa yang diberikan pada benda atau pada teks yang
digambarkan pada objek apapun termasuk music yang mempresentasikan pemikiran
kita terhadap orang lain. Selanjutnya, representasi digunakan dalam proses
sosial pemaknaan melalui tanda-tanda yang tersedia dalam dialog, tulisan,
video, film, fotografi, dan sebagainya untuk memahami dan memaknai kode dan
tanda dalam video ( Putri, Ade, 2018 : 58).
Mengutip
Marshall McLuhan (dalam Ibrahim, 2004), media telah ikut memengaruhi perubahan
masyarakat. Media tidak hanya memenuhi kebutuhan manusia akan informasi atau
hiburan, tetapi juga fantasi yang mungkin belum pernah terpenuhi lewat
saluran–saluran komunikasi tradisional lainnya (Handoyo Pambudi : 139). Melalui
representasi, media punya andil dalam memproduksi
makna mengenai identitas gender (Gill, 2007). Representasi gender dalam media
masih menjadi permasalahan khususnya menyangkut representasi perempuan. Kualitas representasi perempuan mengarah
pada identitas perempuan tradisional dengan stereotip
peran domestik dan non-profesional (Collins, 2011).
Representasi berfungsi untuk mendefinisikan realita, sehingga tidak lepas dari
kuasa dalam produksi pesan. Media memang begitu mudah untuk mengkonstruksi
mengenai nilai-nilai, mitos dan kepercayaan pada perempuan. Perempuan dengan
berbagai aspek kodratnya selalu diposisikan dalam ruang privat atau domestic
dan laki-laki diposisikan dalam ruang publik. Perbedaan posisi telah
menyebabkan tumbuhnya nilai di masyarakat bahwa kodrat yang berperan dalam
ruang awam (public sphere) statusnya adalah sebagai warga negara kelas satu,
manakala yang berperanan dalam ruang privat (domestic) berstatus warga negara
kelas dua (Yanti Dwi Astuti, 2016 : 26). Konstruksi
media pada perempuan membuat tumbuhnya stereotip pada perempuan dan
ketidakadilan gender. Representasi
tak bisa direduksi hanya sebagai keterwakilan yang bisa diukur melalui angka
atau jumlah konten media yang menampilkan perempuan. Lebih dari itu,
representasi adalah penciptaan ruang inklusif yang demokratis untuk
berpartisipasi dan bersuara. Representasi pada perempuan dalam media
membuat citra perempuan dalam media tidak sesuai dengan realitas yang ada.
Citra perempuan dipusatkan hanya sebagai pelengkap laki-laki dan pada ranah
domestic dan membentuk citra pada standar-standar perempuan seperti harus
tampil cantik, menawan, berkulit putih dan lain-lain. Minimnya representasi
pada level pembuatan keputusan dan kepemimpinan berdampak langsung terhadap
konten yang diproduksi, isu yang diangkat, suara-suara yang dimunculkan, dan
bagaimana perempuan atau laki-laki digambarkan (North dalam Melki dan Farah,
2014). Sehingga pentingnya
pelibatan perempuan dalam mengambarkan perempuan dalam media (Anatasya Lavenia
: 2021 dalam Representasi perempuan dalam media : bukan token konten semata).
B.
Music
Video Sebagai Media Komunikasi Massa
Menurut Bittner komunikasi massa adalah pesan yang
dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (massa communication is messeges communicated
through a mass medium to a large number of people). Dari definisi tersebut
dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunkan media massa, meskipun komunikasi disampaikan
pada khalayak banyak jika tidak menggunakan media massa seperti televise,
radio, film, video, media cetak, dan media social bukan komunikasi massa. Ciri
dari komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik
media audio visual maupun media cetak (Khomsahrial Romli 2016:5).
Video sebagai media baru komunikasi massa merupakan
salah satu bagian dari media elektronik dan memiliki karakteristik seperti
film. Moller dalam tulisannya berjudul Redefining
Music menyatakan bahwa video klip merupakan film pendek yang
mengintegrasikan lagu dengan gambar yang diproduksi untuk tujuan promosi atau
artistic (Haqi Achmad : 2012). Video klip merupakan kumpulan dari sebuah
potongan-potongan visual yang dirangkai dengan atau tanpa efek yang disesuaikan
dengan lirik, irama, instrument dan penampilan band serta, video klip digunakan
untuk mempromosikan lagu. Dalam music video untuk menyampaikan sesuatu kepada
orang lain terdapat bahasa. Menurut Rabiger (2003: 58) Music Video mempunyai
lima bahasa universal, yaitu :
1. Bahasa Ritme (irama). Bahasa ritme yaitu bahasa
visual yang terdapat pada video dan disesuaikan dengan tempo dari sebuah lagu.
2. Bahasa Musikalisasi (instrument musik). Bahasa
musikalisasi dapat diartikan sebagai bahasa visusal yang terkandung pada video
klip yang ada kaitannya dengan nilai musikalisasi seperti jenis musik, alat
musik, atau profil band.
3. Bahasa Nada. Bahasa nada diartikan sebagai bahasa
visual yang tedapat pada video klip yang akan disesuaikan dengan aransemen nada
yang ada.
4. Bahasa Lirik. Bahasa lirik dapat diartikan sebagai
bahasa visual pada video klip yang berhubungan dengan lirik lagu. Jika ada
lirik yang mengungkapkan kata 'cinta' maka sebagai simbolisasi digambarkan
dengan bunga, warna pink, atau hati, akan tetapi bisa juga digambarkan seperti
kertas(surat), sepatu butut (cinta tanpa mengenal status sosial), bahkan dengan
air (cinta yang mengalir).
5. Bahasa Performance. Bahasa Performance sebenarnya
bisa disebut juga sebagai bahasa visual pada video klip yang berhubungan dengan
karakter pemusik, penyanyi, pemain band baik dari latar belakang bermusiknya,
hingga ke profil fisiknya (hidung, mata, style, fashion dan gerak tubuh).
Kelima unsur di atas seluruhnya masuk dalam satu lagu
dengan uraian nada dan instrument tertentu.
Media massa dianggap sebagai produsen kebudayaan yang
mampu memberikan berbagai informasi dan mudah diterima masyarakat, serta
memberikan pengaruh pada khalayak. Hal ini juga menunjukkan bahwa ada
keterkaitan antar video klip sebagai media komunikasi massa. Tujuan awal video
musik diciptakan untuk membawa musik ke televisi dan diciptakan untuk mempromosikan
dan meningkatkan penjualan lagu. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman,
video musik diciptakan sebagai karya kreatif untuk menyampaikan beberapa pesan
lagu (Oktavyanthi & Kholiq, 2020).
Komunikasi massa merupakan penyampaian pesan verbal maupun
non verbal oleh komunikator melalui
saluran media massa yang mempunyai beberapa bentuk, seperti cetak dan
elektronik kepada komunikan dalam jumlah yang besar. Video klip dapat
dikategorikan sebagai bentuk media komunikasi massa, karena memiliki beberapa
unsur, karateristik, dan fungsi yang sama dengan komunikasi massa. Kreatifitas dalam pembuatan video klip akan
berpengaruh terhadap pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat, terutama
musisi independent biasanya lebih mengangkat pada kritik social dan
gejala-gejala social yang ada dimasyarakat. Maka dari itu video klip sebagai
media baru komunikasi untuk menyampaikan pesan yang ingin para pelaku musik
sampaikan lewat lagunya kepada pendengar.
C.
Independent Woman Dalam
Kajian Feminisme
Perempuan memiliki kebebasan penuh atas jalan
hidupnya, tidak membutuhkan perizinan untuk mencapai kesetaraan gender (Wolf :
1997). Sudah seharusnya perempuan memiliki potensi, bertindak agresif, dan
berani menghadapi segala tantangan. Pada titik ini, menuntut perempuan memiliki
potensi dan menolak untuk menggantungkan diri. Independensi adalah kebebasan
berpikir dan bertindak atas kemauan sendiri. Independensi perempuan merupakan
kemampuan dalam diri untuk memaksimalkan segala potensi dan pengalaman yang
dimilikinya (Saleh, 2018: 58-59). Independensi menolak atas segala
pengeksploitasian terhadap perempuan (Shihab, 2010: 119-121). Konsep
Independensi perempuan memang merupakan konsep feminisme lama yang sudah muncul
pada abad ke-20.
Secara etimologis feminisme berasal dari kata femme
yang artinya woman (Shintya, 2014: 144). Feminism merupakan ideology pembebasan
perempuan karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa
perempuan mengalami ketidakadilan disebabkan jenis kelamin yang dimilikinya
(Hidayatullah, 2010, p.5). Feminisme
merupakan perspektif atau cara pandang, cara pikir, dan ideologi untuk mencapai
keadilan gender (Murphy, 2004: 127). Perempuan memiliki stereotip negative di
kalangan masyarakat. Strereotip ini akibat bias gender karena masyarakat pada
umumnya selalu melabelkan identitas gender berdasarkan jenis kelamin, kondisi
ini merugikan kaum perempuan karena dalam bias gender terdapat pembagian posisi
tidak adil antara laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang mengakibatkan
lahirnya gerakan feminism dimana
perempuan menuntut kesetaraan hak antara kaum perempuan dan kaum laki-laki,
seperti fenomena feminism. Menurut
Sugihastuti dan Suharto (2002), Feminisme mempunyai dua tujuan utama dalam
pergerakannya, yaitu memperjuangkan persamaan derajat dengan laki-laki dan
otonomi untuk melakukan hal yang mereka inginkan secara pribadi. Gerakan ini
hadir untuk memperlihatkan pada dunia tentang keberadaan perempuan yang selama
ini kerap terstigma oleh sistem patriarki, baik dalam ranah publik maupun
privat.
Konsep independensi perempuan dalam feminisme
tersebut, juga disampaikan dalam buku Feminist Thought karya Rosemarie Putnam
Tong bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam aspek pendidikan,
ekonomi, politik, dan sosial dengan laki-laki, selain itu kemandirian perempuan
juga adalah terbebas dari segala sesuatu yang berhubungan dengan dominasi
laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan dan mendapatkan hak
kebebasannya. Menurut Tong ada beberapa sistem klasifikasi dan teori-teori
feminisme, salah satunya adalah yang dikembangkan oleh Rosemarie Putnam Tong.
Rosmarie Tong membagi aliran dan pemikiran feminis menjadi tujuh kelompok besar
yang terdiri dari feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme marxis,
feminisme sosialis, feminisme psikoanalisis, feminisme gender, feminisme
eksistensialis, feminisme posmodern, feminisme multikultural, feminisme global
dan ekofeminisme.
Factor-faktor domestic dan budaya atau paham yang
dianut tersebut, menjadikan banyak perempuan yang tidak bergantung pada orang
lain terutama pada laki-laki. Selain itu, independensi perempuan memiliki lebih
banyak kesempatan untuk dapat memilih keputusan apa pun untuk diri mereka
sendiri. Dengan cara ini, wanita dapat meningkatkan harga diri Ketika seorang
wanita memilih untuk mandiri baik secara finansial maupun sebaliknya, ini
secara langsung berdampak pada cara orang memandangnya.
D.
Perempuan
dalam Masyarakat Tradisional Korea Selatan
Dalam masyarakat
tradisional Korea, perempuan sebagian besar terbatas pada sector domestic (Women's Role in
Contemporary Korea). Sejak usia
muda, wanita diminta untuk mempelajari nilai-nilai Konfusianisme tentang
kepatuhan dan ketahanan untuk mempersiapkan peran masa depan mereka sebagai
istri dan ibu. Dalam sejarah Korea, terkait erat dengan tiga pilar utama ajaran, yaitu Buddhisme, Konfusianisme,
dan Taoisme. Ajaran Konfusianisme yang paling berpengaruh dalam segala aspek
kehidupan masyarakat Korea dulu hingga sekarang. Hal tersebut terlihat sejak
zaman dahulu ketika masa kerajaan sejak masa dinasti Joseon 1392-1897. Ideologi
konfusianisme ini melahirkan system patriarki di Korea.
Dalam system
patriarki, terdapat perbedaan peran antara anak laki-laki dan perempuan yang
salah satu contohnya adalah peran dan pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Hal tersebut mendorong pemisahan yang ketat antara
jenis kelamin. Garis keturunan ayah menentukan status seseorang saat lahir,
menjadikan kontrol seksual yang kaku sebagai kebutuhan sosial. Akibatnya,
wanita diajar untuk menjadi bajik dan patuh dan menghargai ahli waris laki-laki
di atas segalanya. Perempuan tidak memiliki posisi public dan dipaksa bersikap
pasif dan patuh pada lelaki (Cho, 1998:187). Perempuan ditempatkan ditempatkan
dibawah laki-laki dan menugaskan perempuan pada peran social dengan stereotip :
perempuan suci, istri yang berbakti, ibu yang berdedikasi (Kim, 1994 : 148).
Paham konfusianisme dan patriarki membatasi peran perempuan Korea terutama pada
sector public dan peran tersebut hanya terbatas berada dirumah tangga dengan
pekerjaan yang berada disektor domestic dan membentuk stereotype hingga saat
ini.
E. Teknik Pengambilan Gambar
Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa
Inggris ‘cinematography’ yang berasal dari bahasa Latin ‘kinema’ yang berarti
gambar. Sinematografi sebagai ilmu terapan merupakan bidang ilmu yang membahas
tentang teknik menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut
sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide atau dapat
mengemban cerita (Suwanto, 2020: 16). Dalam pembuatan film teknik-teknik
pengambilan juga diperlukan karena dengan menggunakan teknik sinematografi yang
berbeda dan pengambilan sudut pandang (angle) yang berbeda pula dapat
memberikan kesan, pemaknaan yang berbeda (Laminantang, 2013). Berdasarkan sudat
pandang (angle) dalam pengambilan gambar terdapat beberapa macam jenis, sudut
pandang (angle) yang sering digunakan istilah diantaranya yakni Low Angle
dimana pengambilan gambar dengan sudut pandang dari arah bawah objek sehingga
objek terlihat lebih besar dan menimbulkan kesan dramatis yang memiliki makna
dominan, High Angle, serta Eye Level dimana pengambilan gambar sesuai atau
sejajar dengan mata pandang kita sebagai objek (Laminantang, 2013). Berikut
adalah beberapa jenis shot dalam teknik pengambilan gambar (Semedhi, 2011:
55-56):
1.
Big Close Up
Ukuran shot terbesar yang
kita sebut sebagai big close up adalah gambar yang menonjolkan detail atau
ekspresi, misalnya gambar mata yang sedang berkedip-kedip dan lain-lain.
2.
Close Up
Ukuran shot close up
biasanya untuk menjelaskan detail wajah seseorang sehingga ekspresinya akan
tampak. Gambar close up untuk benda dimaksudkan untuk menonjolkan detailnya.
3.
Medium Close Up
Medium close up dimaksudkan untuk menonjolkan mimik atau raut muka seseorang dan untuk
menampilkan wajah aktor/aktris secara utuh agar nampak rambut dan aksesorinya.
4.
Medium Shot
Medium shot digunakan untuk menekankan wajah seseorang dan gerakan tangannya
(gestur) biasanya untuk menampilkan orang yang sedang berbicara dengan
menggerak-gerakkan tangan sambil duduk (tidak berpindah-pindah tempat).
5.
Knee Shot
Knee Shot yaitu gambar yang diambil dengan ukuran dari lutut ke atas dimaksudkan
untuk menampilkan seseorang yang sedang berjalan dengan lambat dengan harapan
ekspresi wajahnya tetap terlihat demikian juga dengan gerakan tangannya atau
mungkin apa yang dibawa di tangannya.
6.
Full Shot
Full shot adalah ukuran gambar yang menampilkan seluruh tubuh manusia secara utuh
dengan maksud untuk tetap bisa memperlihatkan wajah, mungkin ekspresi dan
seluruh gerakan tubuhnya. Full shot diambil ketika seseorang bergerak dengan
relatif cepat.
7.
Long Shot
Long shot adalah ukuran pemandangan alam terbatas yang dimaksudkan untuk
menggambarkan pergerakan objek seperti orang, binatang atau benda bergerak
lainnya. Dengan ukuran long shot, berarti ekspresi tidak bisa dilihat dengan
jelas. Motivasi pengambilan gambar long shot memang hanya untuk menunjukkan
pergerakan objek.
8.
Extreme Long Shot
Extreme long shot adalah ukuran shot untuk menunjukkan pemandangan alam secara luas atau
untuk memperlihatkan kepada penonton suatu objek yang bergerak secara cepat dan
posisinya di alam atau tempat yang dilaluinya. Sudah pasti penonton tidak bisa
menyaksikan ekspresi bahkan sulit mengidentifikasi objek kecuali digunakan
tanda-tanda tertentu.
Dalam teknik pengambilan gambar juga perlu
diperhatikan pencahayaannya. Lighting atau pencahayaan ialah komponen utama dan
mempunyai peran yang sangat penting di
dalam produksi sebuah film atau video. Dengan pengaturan lighting yang tepat,
kita bisa memberi efek positif atau negatif terhadap sebuah objek yang kita
ambil. Bahkan dengan lighting tertentu kita bisa membuat efek sedih, gembira,
takut, berani, suram, cerah dan lain sebagainya (Semedhi, 2011: 69). Sehingga
cahaya dapat digunakan untuk menambah efek mendramatisasi gambar-gambar yang diambil
sesuai dengan tuntutan ceritanya.
F.
Analisis
Semiotika Roland Barthes
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis yang
digunakan untuk mengkaji tanda. Dalam ilmu komunikasi “tanda” adalah interaksi makna yang disampaikan kepada orang
lain melalui tanda. Semiotika berasal
dari kata Yunani: Semeion, yang berarti tanda. Dasar semiotika
adalah konsep tentang
tanda, lalu ilmu
ini juga berkaitan
dengan seluruh pikiran
manusia tentang tanda-tanda
yang membuat manusia
dapat menghubungkannya dengan
realitas (Sobur, 2006:13-17).
Sedangkan semiotika digunakan dalam hubungannya dengan karya Charles Sanders
Peirce dan Charles Morris. Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih
dapat saling menggantikan karena keduanya digunakan untuk menunjukkan ilmu tentang tanda. Dalam pengertian Saussure
(Sobur: 2006), semiologi merupakan “studi yang mengkaji kehidupan tanda-tanda
di tengah masyarakat” dan dengan demikian menjadi bagian dari disiplin
psikologi sosial. Sementara itu, istilah semiotika yang diciptakan pada akhir
abad-19 oleh filsuf aliran pragmatis Amerika Charles Sander Peirce, mengacu pada
“doktrin formal tentang tanda”. Yang menjadi dasar semiotika adalah konsep
tentang tanda: tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh
tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri pun-sejauh terkait dengan pikiran
manusia-seluruhnya terdiri atas tanda-tanda, karena jika tidak, manusia tidak
akan mampu berhubungan dengan realitas.
Roland Barthes dikenal sebagai salah satu pemikir
strukturalis yang mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussuren.
Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang mempraktekkan model linguistik dan semiologi
Saussurean (Sobur, 2004: 63). Semiotika
dalam istilah Barthes semiology, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal
(things). Memaknai (to sinify) pada hal ini tidak bisa dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai, dalam hal ini tidak dapat
disamakan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana
objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusikan sistem
terstruktur dari tanda (Vera, 2014:26). Dari analisis Barthes konsep konotasi
dan denotasi menjadi kunci. Konsep ini disebut Two orders of signification (signifikasi dua tahapatau dua tatanan
pertandaan).
Barthes yang
terdiri dari first order of signification
yaitu denotasi, dan second orders of signification yaitu konotasi.
Denotasi merupakan signifikasi tahap pertama yang merupakan makna paling nyata
dari tanda. Sedangkan konotasi ialah signifikasi tahap kedua dimana makna yang
terbentuk dikaitkan dengan perasaan, emosi atau keyakinan. Pada signifikasi
tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Roland Barthes selalu membahas
mitologi, dimana sebagian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek denotative
tanda-tanda dalam budaya pop menyingkap konotasi yang pada dasarnya adalah mitos
yang dibangkitkan oleh system tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat
(Cobley & Jansz, 1999). Terdapat dua mitos yaitu mitos primitif misalnya,
mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa
dan mitos masa kini misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu
pengetahuan dan kesuksesan (Fiske, 1990:88 dalam Sobur, 2001:128). Barthes dalam studinya berpendapat bahwa
salah satu bidang penting yang tercakup dalam studinya tentang tanda
adalah peran pembaca (the
reader). Konotasi, merupakan sifat asli tanda yang memerlukan keaktifan
pembaca agar dapat berfungsi.
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan, tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin (Cobley & Janz dalam Sobur, 2006 : 69). Alex Sobur (2006: 70) menyatakan, denotasi dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya merupakan proses signifikasi tahap pertama lewat hubungan antara petanda dan penanda di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Hubungan antara petanda dan penanda tahap kedua adalah konotasi, namun justru denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna, yaitu dibalik denotasi masih terdapat makna yang tersembunyi dan dapat diungkap dengan mencari makna konotasinya.
Konotasi dalam semiologi Barthes adalah istilah yang
digunakan untuk menyebut signifikasai tahap kedua. Signifikasi tahap kedua ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembaca atau penonton serta nilai-nilai kebudayaannya. Berdasarkan
kerangka Barthes menurut Budiman dalam Alex Sobur (2006: 71), konotasi identik
dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk
mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku
dalam suatu periode tertentu. Pemahaman tentang mitos oleh Roland Barthes
bermula karena adanya persepsi dari Roland Barthes sendiri bahwa dibalik
tanda-tanda tersebut terdapat makna misterius yang pada akhirnya dapat memunculkan
sebuah mitos.
Selain teori signifikansi dua tahap dan mitologi,
Barthes mengemukakan lima jenis kode yang lazim beroperasi dalam suatu teks
yaitu :
1.
Kode Hermeuneutik ialah
dibawah kode hermeuneutik, orang akan mendaftar beragam istilah (formal) yang berupa sebuah teka-teki (enigma) dapat dibedakan, diduga,
diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disikapi. Kode ini disebut sebagai suara kebenaran (the voice of truth).
2. Kode
Proairetik merupakan tindakan naratif dasar (basic
narrative action) yang tindakan-tindakannya dapat terjadi dalam berbagai
sikuen yang mungkin diindikasikan. Kode ini disebut sebagai suara empirik.
3. Kode
Budaya sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga ilmu pengetahuan. Kode
ini disebut sebagai suara ilmu.
4. Kode
Semik merupakan sebuah kode relasi-penghubung (medium-relatic code) yang
merupakan konotasi dari orang, tempat, obyek yang pertandanya adalah sebuah
karakter (Sifat, atribut, predikat).
Kode Simbolik merupakan suatu yang bersifat tidak stabil dan tema ini dapat ditentukan dengan beragam bentuk sesuai dengan pendekatan sudut pandang (Prespektif) pendekatan yang digunakan (Kurniawan, 2001:69).
0 komentar:
Posting Komentar